Saturday 3 August 2002

Kau Memikirkanku?

Selama aku menatapnya, senyum itu masih bergayutan di bibir. 

“Kau memikirkan ku?”

Dia menatap, seperti semula aku menjumpai dan menyapa, hanya tersenyum. Kali ini aku tidak menanti senyuman, tapi kata yang terkuak dari bibirnya.

“Bukan….. Dia “, kata itu tertahan. Kau menggigit pelan bibirmu.

“Begitu berartikah dia, hingga kau tak putus tersenyum”

Dia gugup, disibakkan anak rambutnya. Jari mungilnya usap bibir yang basah. Sedikit ragu dia menatapku pelan, hanya dengan sudut mata. Kembali tertunduk.

Aku mendesah panjang. Menghadapi keheningan aku jadi gila.

“Terserah kamu. Kalau itu yang terbaik, aku tak memaksa mu”

Aku berlalu. Gadisku diam menatap langkahku, menjauh. Tak ada panggilan yang kuharap, walau itu sayup-sayup.

Sudah tiga bulan aku tinggalkan desaku, jalan yang berdebu. Kakiku menapak ditanah,perjalananku tiba dari kota. Aku menatap pohon nangka itu, ada kerinduan. Apa kabar gadisku? 

Di sudut yang sedikit tertutup, masih dengan rambut yang dikepang dan anak rambut yang jatuh, aku mengenal pemiliknya. 

Tersenyum di pojok teras depan, di kursi rotan tua.

“Kau memikirkan ku?” sapaku dengan kerinduan.

Tak berubah, bibirnya masih disitu, sedikit terbuka. Hanya tersenyum.

“Bukan…..Dia”. Kali ini bibirnya tak lagi basah dan merah. Mengering dijilat angin.

“Dia siapa?” aku menatapnya lekat.

”Dia yang tersenyum pada suatu malam”, senyumannya memastikan sebuah ketakjuban.
Aku cemburu. Kaki ku gemetar dan tanganku terkepal.

“Apa yang tidak aku ketahui tentangnya?” nada suaraku sedikit meninggi.

“Sebuah janji yang pasti. Tidak diucapkan. Karena dia tak berkata-kata. Hanya tersenyum.”. Dia berucap pelan, tak terusik marahku. Matanya menatap langit, memeluk hangat.

“Apa janjiku bukan kepastian. Perantauanku demi kita. Aku akan menikahimu secepatnya”, aku mengikatnya dengan kata.

“Tak mungkin. Dia telah memilihku, aku mempelai wanitanya. “ gadisku menatap tajam.

“Sehebat apa dia hingga bisa mengikatmu” aku balas menatap tajam, mencari kebenaran pada matanya yang membesar.

“Dia yang sanggup memberi malam dan siang”

“Pertemukan aku dengan dia “

“Jangan kau cari dia. Dia tidak kemana-mana” ejek nya

Aku bangkit beranjak. Batinku terusik.

Sebelum aku melangkah jauh aku bertanya “Sehebat apa dia? Lebih menarikkah dari aku?”

“Dia lebih menarik dari mu. Sangat tampan”. Ada sebuah kebanggaan diujung ucapannya.

Pekerjaan menyebabkan aku hanya mampir untuk beberapa saat. Ekspedisi barang antar pulau yang memakan waktu berbulan-bulan. Tak selalu pasti yang dituju, sesuai dengan keinginan Babah Acong. Tapi aku masih memikirkan mu, disetiap perhentianku, bayangmu tameng godaan dari sundal-sundal instan. Aku harus meminta ijin untuk cuti beberapa lama, kembali ke desaku. Desa yang tandus, yang dipenuhi oleh wanita dan anak kecil. Para pria pergi merantau untuk mengasapi dapurnya.

Kali ini aku tak menjumpainya di teras depan. Rumahnya seperti tak berpenghuni, tak ada yang menjawab.

Pada wanita yang menjinjing ember aku bertanya keberadaan gadisku. Gadis yang akhir-akhir ini selalu tersenyum di teras depan rumah itu. Dia menujuk ke ujung sana, dibalik bukit.

Aku berlari. Segunung rindu akan meletus. Apa kabar gadisku?

Di balik bukit, ditepi sungai aku menatapmu. Punggungmu putih terbuka, kakimu yang indah dijilati air yang mengalir. Impian banyak pria pada lekuk yang semakin jelas dibalik kain tipis basah pembalut tubuhmu. Ingin aku memelukmu dan memagut dadamu yang bulat. Siapa yang berani marah, karena kau memang calon istriku. Semua orang tau tentang hubungan kita. Tapi yang ku takutkan justru kamu, kau menolak setiap aku ingin melumat bibirmu. Katamu kesucian indah dimalam pertama.

“Apa kabar gadisku?” aku menyapa.

Dia berbalik, terkejut. Segera diselesaikannya ritual mandi.

“Aku bukan gadismu lagi. Itu sudah aku katakan dulu” katanya ketus berlalu tinggalkanku, membawa perlengkapan mandinya.

Kegembiraan ku mencair. Rinduku menguap pada didih amarahku. Hasratku melayang jauh.

Pada ibuku aku bertanya tentang kelakuan gadisku. Dia diam. Tangannya sibuk menyumpal ranting kering, mulutnya meniup bara api. Asap perapian menyesakkan mengalahkan isi dadaku yang telah terburai.

“Bu, semua tahu dia milikku. Pemuda mana yang berani mendekatinya?” tanyaku

Ibuku menatap, sedikit termangu, susah berucap. Dia menghampiri, duduk disamping. Sambil membetulkan letak kainnya.

“Sudahlah. Dia bukan milik mu lagi “ nafasnya berat, ada nada sayang milik seorang ibu.

“Siapa pemuda itu?” tanyaku menyelidik penasaran

“Kau sudah mengenalnya. Yang datang pada malam dan memberi mimpi. Gadismu hamil” ucap ibu pelan.
Aku tercengang, bibirku berat.

“Sayang bayinya gugur. Tapi itu sudah ditakdirkan. Dan pada kuburannya mengalir kembali kesuburan desa. Tidakkah kau lihat, padi sudah hijau, cabai mulai memerah, bunga kol mengeluarkan wanginya.” Ibuku tersenyum, sebuah kerinduan yang berabad-abad.

“Bukankah itu zinah?” aku coba mengetuk mata keberadaban ibu.

“Sungguh kemuliaan yang ada pada gadismu diantara gadis yang lain. Zinah melekat pada kemolekan tubuh mereka, pada dada yang ranum terpaksa, pada bibir yang merah oleh pagutan kekasihnya. Pada bokong yang rata, serata peraduan oleh tubuh yang menghimpit. Pada vagina yang kosong ” ibu sedikit berang oleh gugatanku.

“Kemana akan kucari pemuda itu?” ucapku tak tertahan

“Jangan kau cari. Dia tidak pernah pergi ke mana-mana”

“Apakah dia lebih tampan dariku?”

“Ya. Dia maha tampan”

“Seperti apa dia?”

“Kau tercipta segambar denganNya. Dan Dia pencemburu”

Tubuhku lunglai tak bertungkai.

No comments: