Sunday 25 August 2002

Aku Menggugat Tuhan

Aku menatap gedung itu, mereka berteduh di sana. Bersenda gurau sambil merogoh kantong, jemarinya tak cukup menggenggam segala keping keberuntungan. Beratus juta nyawa bergayutan dileher mereka, tapi wangi parfum mereka menutupi bau keringat dan mulut dari perut yang lapar. Kuping mereka tersumbat dengan segala negosiasi kapitalisasi dan globaliasi, dering tiada henti. Mereka makelar kehidupan, sementara kami hanya coba untuk memperpanjang hidup. Untuk detik-detik nanti.

Aku hanya seorang nyawa yang mencari hidup. Bagian dari jutaan korban pembangunan, keberhasilan dari meningkatnya angka yang melek huruf. Tercampak dari gerbang pendidikan diterlantarkan pada ladang tandus, dipagari konglomerasi. Lahan subur hanya milik mereka dengan segala kemudahan fasilitas. Kami bukan pemalas, tapi hawa panas mengeringkan keringat. Dan tanah itu tak lagi bersahabat. Bukankah telah didongengkan bahwa negeri kami subur makmur, kaya raya.

Aku tak membawa massa, mereka telah terbeli. Oleh janji-janji partai. Oleh hasutan kaum agamawan bahwa semua ini takdir, ini cobaan Tuhannya. Mereka telah dihasut oleh janji-janji revolusi mereka menyembah berhala demokrasi. Bukankah ketika demokrasi lahir menumbalkan kematian, sebuah kepala yang terpenggal. Bukankah Jesus Kristus disalibkan oleh karena tuntutan suara terbanyak. Mereka membebaskan Barabas. Mereka semua berseru “Ia harus disalibkan”. Namun Pilatus, wali negeri, mengambil air dan membasuh tangannya di hadapan banyak orang dan berkata “Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini………”

Kinipun tak ada ubahnya, mereka mencuci tangan dengan tameng atas nama rakyat. Bukankah ini tindakan yang tidak ksatria. Ksatria akan bertarung oleh keyakinan yang benar, bukan oleh hasutan diri. Sekali pedang keadilan terhunus, kebenaran akan tegak pada mereka yang berdiri terakhir. Tapi mereka telah tuli, buta, bisu, tak punya nurani. Apakah mereka bukan manusia lagi?
Dan aku berdiri di sini, menantang untuk itu. Suaraku mungkin tak kan terdengar, tapi keyakinanku akan menjadi gunung es bagi waktunya nanti. Sebuah poster kecil bertuliskan:

“ENYAHLAH SETAN YANG MENGATAS NAMAKAN RAKYAT!!!. 
Sebuah perjalanan menggugat Tuhan.”

Aku meneguk racun itu, pelan terasa pahit. Panas menjalar tubuhku, menggelepar.

Aku terbawa terbang, terangkat dari jasadku. Jauh dibawah, keduniawianku tergeletak dikerubungi oleh pemburu berita yang menemaniku selama 3 hari sebelumnya. Tangan-tangan merengkuhku, membawa ketepian perhentian. Mereka tersenyum, ruh-ruh itu. Dan yang berwajah bercahaya menyambutku “Selamat datang anakku. Damai sejahtera dibumi dan di surga”. Aku ingin protes untuk persamaan kalimat terakhir itu, tapi tak elok untuk sebuah awal perjumpaan.

“Aku ingin bertemu Tuhan. Aku menggugatNya” kataku tegas, seakan tiada waktu lagi.

“Bukankah kasihNya melingkupi kita semua disini, di surga. Berbahagialah orang percaya tapi tak melihat” Dia sepertinya mencoba mensugestiku.

“Aku hanya ingin memuaskan Nietzsche, tentang pendapatnya bahwa Tuhan sudah mati,” aku coba berkelit.

“Justru Tuhan sangat ingin berjumpa dengannya, agar ia tahu bahwa Tuhan itu hidup”

“Ajak aku menuju taman di Eden ketika sang tukang kebun hidup”

Dan kami berpindah ke sebuah waktu yang berjalan, pelan dan indah. Kedamaiaan yang mengalir menghanguskan segala gelisah dan pada cahaya yang berpendar ada sejuta garis-garis pengharapan yang menembus segala pikiran dan hati. Kami berhenti diatas sebuah taman. Disebelah timur Eden. Ada suatu sungai mengalir dari Eden membasahi taman. Berbagai pohon tumbuh indah. Sesubur negeriku. Hewan-hewan hidup damai tiada kebuasan. Apakah tidak ada hewan pemakan daging? Sebuah tanya yang urung aku tanyakan, ketika aku melihat sebuah pohon ditengah taman. Mungkin itu pohon yang memikat Hawa. Dimanakah kau ular? Aku mencari dengan sudut mata.

“Apa yang ingin kau tanyakan anakku?”, ia menatapku lembut.

“Aku ingin bertanya tentang penciptaan manusia. Sepertinya Tuhan salah memilih tanah yang menjadi bahan pembentuk manusia. Kini manusia tak ubahnya dengan setan. Semakin berkuasa semakin biadab. Semakin bersenjata semakin buas. Mungkinkah tanah itu telah tercemar sebelumnya oleh kotoran setan atau Singa atau binatang buas lainnya?”

Dia tersenyum, “Tidak anakku, Tuhan itu benar adanya. Allah melihat segala yang dijadikanNya dan semua itu sungguh amat baik”

“Tapi mengapa Hawa begitu gampangnya dihasut oleh ular. Bukankah tak ada teori-teori kehidupan yang telah menyesatkannya.”

“Ular adalah hewan yang paling cerdik dari segala binatang darat dan setan berada padanya. Setan memberinya janji untuk menjadi sama dengan Allah. Bukankah Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk yang tertinggi. Mempunyai akal.”

“Bagaimana dengan malaikat dan setan?”

“Malaikat melayani Tuhan, hidupnya selalu melakukan hal yang benar. Setan jatuh ke dalam dosa, hidupnya menghasut manusia untuk menemaninya nanti di neraka.”

“Sungguh yang terjadi di negeriku, para politikus itu ingin menjadi Tuhan. Mereka memaksa rakyat untuk menjadi malaikat. Mereka ingin membuat aturan agama menjadi aturan politik, undang-undang. Mungkin suatu saat akan mengundang-undangkan agama. Karena agama sendiri telah dipolitisir. Bukankah manusia diberi akal untuk memilih yang benar dan salah. Menjadi pengikut setan atau Tuhan. Tuhan bisa membinasakan manusia bila terlalu kotor seperti Sodom dan Gomora. Atau menghancurkan menara Babel untuk mimpi berlebihan internationale atau globalisasi”

Dia hanya tersenyum.

“Sepertinya buah itu telah menjadi mimpi nyata bagi mereka. Keinginan menjadi sama dengan Allah. Dan mereka terpengaruh oleh mimpi Hawa. Sungguh wanita telah menggodanya.”

“Tapi Adam tak mencegahnya, bukankah mereka menginginkan. Dan Adam mempersalahkan Hawa untuk dosanya. Hawa mempersalahkan setan. Begitulah keturunannya. ”

“Seperti suatu saat nanti, dengan gampangnya akan mempersalahkan bujukan bantuan asing itu, padahal mereka telah lama tahu akibatnya. Mereka mengatakan suara rakyat adalah suara Tuhan, tapi mereka sendiri menjadi Tuhan bagi mereka. Sesungguhnya aku ingin menggugat kembali, tidakkah Tuhan salah mengambil tanah untuk menjadi pembentuk manusia? Mungkin tanah itu telah terkontaminasi kotoran setan atau singa buas.”

“Tidak anakku. Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, Tuhan mengutuk tanah. Manusia dengan bersusah payah akan mencari rezeki dari tanah seumur hidup, dengan berpeluh akan mencari makanan, sampai kembali ke tanah, karena dari situlah manusia diambil, sebab engkau debu dan akan kembali menjadi debu”

“Dan kami adalah tubuh yang terkutuk. Seperti ada tanah yang subur, ada yang gersang. Tapi tanah kami subur, mengapa rezeki kami tidak subur pula?”

“Tuhan menghembuskan nafas hidup yang sama ke pada manusia.”

“Seperti panas yang dimiliki oleh bumi, seperti dingin dimiliki bumi, hidup kami tidak damai lagi. Mungkinkah tanah-tanah itu telah dikontaminasi oleh kesuburan, oleh minyak yang melimpah, oleh emas yang tertanam, oleh perak yang terpendam, oleh air yang mengalir. Atau oleh dendam mayat-mayat mati tak bersalah, tak jelas kuburannya. Atau oleh jerit darah yang terkucur deras dari perang saudara. Tanah kami yang subur telah dikutuk kembali. Oleh keserakahan, oleh pembangunan, oleh air liur yang menetes, oleh dendam, oleh kebiadaban sepatu berderap, oleh bayi-bayi tercekik, oleh mani-mani kaum sundal. Oleh decak kagum kepongahan akan masa lalu”

Dia hanya kembali tersenyum.

“Kami tak lagi memelihara tanah kami, dan tubuh kami menjadi jahat, terkutuk kembali. Dan kembali berlipat peluh ditulahkan pada kami. Tiada lagi damai. Oleh karena apa yang kami miliki, mereka menjadi serakah karena mereka punya kuasa. Sungguh mereka menikmati semua itu. Dan nun jauh di negeri lain, mereka menatap segala kesuburan dan kekayaan tanah dan air kami. Dengus rakusnya panas terasa. Tapi mengapa politisi itu mau menjadi budaknya?”

“Anakku, Adam dan Hawa telah memakan buah itu. Engkaupun menjadi tahu mana yang baik dan jahat”

“Kembalikan aku ke tubuhku, aku akan mengatakan pada bangsaku untuk memelihara tanah agar tak terkutuk ketiga kalinya. Aku ingat sesuatu, hmm…..apa yang terjadi dengan ular setelah ia berhasil membujuk Hawa?”

“Ular menjadi terkutuk. Manusia akan meremukkan kepala ular, dan keturunan ular akan meremukkan tumit manusia.”

“Baiklah. Kembalikan aku ke tubuhku”

Aku kembali menjadi cahaya yang terbang, melayang menghinggapi tubuhku. Meregang dan menyatu. Sedikit bergoncang.
Suara-suara itu menyentuh telinga, menampar ketidaksadaran. Mereka masih berkerumun, menatapku penuh tanya. Mulutnya membentuk kata-kata.

“Apa yang anda dapatkan di sana?”. Mereka menantikan hasil perjalananku. Seperti janjiku pada mereka untuk keinginanku menggugat Tuhan.

“Mari kita remukkan kepala ular di parlemen, sebelum tumit kita diremukkan mereka. Sebelum kita tak dapat lagi berjalan, berdiri pada hidup kita. Aku tak lagi melihat ular di sana. Ia telah diusir dari Eden. Mungkin ada di gedung itu, dikantung baju mereka, di mulut mereka, di hati mereka, di kelamin mereka”

Pkl 2.30 wib, 23 Agustus 2002

No comments: