Monday 5 August 2002

Suara yang memanggil

Gadisku sudah terlelap. Senyum masih menghias di bibirnya yang kecil. Rambutnya tergerai di atas bantal. Ujung bajunya sedikit tersibak. Aku merapikannya, dan memberi selimut, yang merangkul hangat.

“Hmm…. selamat tidur sayang, dewi mimpi akan mengajakmu terbang ke peraduannya.” Dan aku beranjak menuju kamarku. Yang sepi dan tak ada gairah. Kekosongan yang terhampar, sedingin kasur yang terbentang.

* * * * *
“Semua sudah siap? Makan yang banyak ya sayang. Jangan takut gemuk, itu ketakutan milik orang dewasa,” kataku di meja makan pagi itu. Aku memandang lahapnya bidadari kecilku. Kecantikannya sedikit terusik dengan noda makanan di pipi. Aku menyingkirkannya dengan ujung sapu tangan.

Seperti biasa setelah makan, aku membiasakannya untuk menyambut pagi dengan keceriaan. Dan gadisku pun mulai bernyanyi,

“Dikepak-kepakkan tanganku. Digoyang-goyangkan badanku. Agar tubuh sehat dan kuat. Untuk dapat memuji Tuhan. Digoyang-goyangkan kakiku. Digeleng-gelengkan kepalaku. Agar tubuh sehat dan kuat. Untuk dapat memuji Tuhan. Goyang kiri, goyang kanan. Putar kiri, putar kanan.”

Tawanya berbinar. Aku terkekeh sendiri memandang badannya yang sedikit gemuk berlenggak-lenggok ke sana kemari. Aku rasa sudah cukup olahraga paginya, sebelum isi perutnya akan tersedak ke luar. Dan selanjutnya seperti biasa aku mengantarnya pergi, ke tempat tuntutan ilmu yang bermuara.

* * * * *
“Pa aku takut sendiri tidur di kamar,” katanya sambil merapatkan tubuh di pinggangku. Seperti biasa aku selalu memberinya dongeng sebelum matanya redup terpejam.

“Takut pada apa? Tuhan akan menjaga mu. Kan kamu selalu berdoa sebelum tidur,” kataku menenangkannya.

“Suara-suara yang memanggilku. Sudah seminggu begini terus Pa,” katanya sambil menatapku. Ada ketakutan di bening bola matanya yang kecil itu. Matanya tak menipu.

“Itukan hanya mimpi. Tuhan memberimu bunga-bunga malam. Sungguh indah teman yang diberikannya,” kataku menjelaskan, mengusap keningnya. Mencubit pipinya yang bulat. Dan bibirnya mengingatkanku pada seseorang yang meninggalkanku, yang mencari jawab atas segala keresahan. Aku mengajarkannya sebuah lagu lagi.

“Dengar Dia panggil nama saya. Dengar Dia panggil namamu. Dengar Dia panggil nama saya. Juga Dia panggil namamu. O…giranglah. O…giranglah. Tuhan amat cinta pada saya.. O…giranglah. Ku jawab ya, ya, ya. Ku jawab ya, ya, ya. Ku jawab ya Tuhan, Kujawab ya Tuhan, Ku jawab ya, ya, ya.”

Gadisku tertawa senang mendapatkan lagu barunya. Dia terpingkal manja, sambil duduk di pangkuanku.

“Kalau ada yang memanggilmu, kau harus ingat itu. Nyanyikan. Mungkin Tuhan memanggilmu dan kau belum menjawabnya,” kataku sambil tersenyum. Gadisku menganggukkan dagunya yang indah. Kuncirnya bergoyang. Dan matanyapun mulai redup.

* * * * *
“Pa aku sudah menjawabnya,“ suara kecil itu membangunkanku. Rambutnya mengenai muka dan jalan nafasku. Aku mengangkat badannya tinggi-tinggi, dia menjerit manja dan terpingkal-pingkal. Aku terbangun olehnya.

“Dia bilang apa?” tanyaku mencoba menanggapi celotehnya.

“Hanya tersenyum, tapi indaahhh bangett…. Papa mesti menjumpainya.”

Aku coba menyimak isi mimpinya, tapi yang pasti tak ada lagi ketakutan itu di matanya. Dan kami pun seperti biasa menyambut pagi dengan ritual yang sama.

* * * * *
Setiap kali aku menemukan gadisku, dia tak lelah menceritakan mimpinya. Keceriannnya makin bertambah, milik wajah-wajah lugu. Tak ada lagi ketakutan akan malam. Sungguh aku telah memberikannya keberanian. Tidak seperti yang aku alami di masa kecil. Aku selalu ketakutan akan malam. Pada bayangan di kaca luar kamarku. Dibawah kolong tempat tidur. Seakan-akan ada makhluk malam yang memperhatikanku. Akan menculikku ke dalam mimpi hingga tak bangun lagi. Dan ibu hanya bisa menjagaku hingga aku lelap, tanpa bisa membuatku percaya akan penjelasannya.

“Pa, sepertinya papa harus bertemu dengannya,” kata gadisku, menyentakkan lamunan.


“Pada siapa? Apakah kamu punya teman baru di sekolah?” tanyaku sambil mendudukkan putriku di samping.

“Orang yang menemani mimpiku. Baiiikkk bangeeettt….” ucapnya manja

“Sebaik papa?”

“Hmm….lebih baik papa dong. Tapi dia tak pernah marah padaku, walau aku terkadang nakal.”

“Emang papa suka memarahimu?” kataku sedikit cemburu.

“Kadang sih, hehhee…..Tapi pa, dia selalu membawaku ke tempat yang paling indah.”

“Seindah apa?”

“Ke taman dengan bunga yang selalu bernyanyi. Sungai mengalir tenang di dalamnya. Dan ada banyak binatang yang hidup tak gaduh.”

“Seperti taman Eden?” tanyaku. Gadis kecilku mengangguk. Aku tersenyum padanya, begitu menyimaknya putriku akan cerita-cerita yang aku berikan sebagai pengantar tidurnya. Cerita tentang Adam dan Hawa, tentang bapak segala bangsa Abraham, tentang Musa yang membelah laut, tentang Yusuf dan saudaranya, tentang Simson di kandang singa. Tentang Yesus sang Jurus selamat yang sayang pada anak-anak kecil dan tentang yang lainnya

Bibirnya terkuak sedikit, menguap. Sepertinya dia mengantuk. Aku membaringkan dan memberi bantal pada kepalanya. Gadisku tersenyum di tepi mimpinya.

Aku meneguk secangkir kopi di meja kerja. Tumpukkan kertas menanti, tugas untuk kolom majalah masih belum selesai.Aku ingin menyelesaikannya sambil menatap putriku terlelap. Malam ini aku membaringkannya di kamarku. Rasanya sepi tanpa dia. Kesendirian akan pudar bila mendengar bibirnya yang selalu berceloteh dan bertanya. Akan semua yang dilihatnya, akan teman-temannya yang nakal di sekolah. Walau baru duduk di kelas 2 SD, badannya termasuk bongsor di antara temannya, tapi ada saja anak nakal yang berani menggodanya. Mungkin karena dia perempuan.

Aku tertawa waktu gadisku bercerita tentang ulah temannya yang selalu mengangkat rok belakangnya, dan meneriaki akan warna celana dalamnya. Bibirnya manyun menceritakan kekesalannya itu. Atau ejekan “si bengkak” yang diberikan temannya. Menarik rambutnya yang kukepang dua. Mengambil bekal roti selai coklat di tasnya. Malah ada yang nekat menyembunyikan tasnya. Untuk yang satu ini, putriku tak takut mengadu pada gurunya. Dan temannya yang nakal harus berdiri di depan kelas sepanjang pelajaran.

Putriku menggeliat di kasur, masih memeluk gulingnya. Untungnya dia sudah tidak punya kebiasaan ngompol, kalau tidak malam ini aku mungkin akan dibauinya. Tetapi dekat dengannya aku memperoleh ketenangan, seperti yang diberikan ibunya. Wanita bertubuh ramping yang selalu cerewet akan kebersihan, akan keteraturan. Seperti ibuku yang selalu menyediakan makanan ketika aku belum lapar. Sayang kedua wanita ini tak punya titik temu, yang memaksa kami harus pergi jauh dari kota kelahiranku.

Perkawinan yang tak direstui hingga kini gadisku telah beranjak besar. Hanya berbekal ijasah diploma, aku bertahan menghidupi mereka, menjadi kuli tinta dengan mengandalkan hobi baca dan istrikulah yang memberikan keberanian itu padaku. Sedangkan dia berjualan koran di depan rumah kontrakan kami yang kebetulan ada di muka gang. Begitu naifnya perjuangan kami sampai di titik sombongku ketika istriku menderita kanker di paru-parunya, dan aku malu untuk meminta bantuan ibu.

Untuk pengangkatan penyakitnya atau dengan kemoterapi aku tak sanggup. Dan disaat itu pula istriku mengandung, sementara tak ada pilihan bayiku harus digugurkan, atau kanker itu akan lebih cepat menjalar. Dan dia memaksa harus memeliharanya hingga saatnya tiba kami memiliki putri. Katanya salah seorang harus diselamatkan, dan itu adalah anak kami.

Untuk persalinanya, aku harus meminjam pada saudara-saudara angkatku di terminal bis. Pada lae Marbun, pada si Ginting, pada ruben Nainggolan dan lain-lainnya, orang-orang yang ku kenal di perantauan sebagai putra Medan. Mereka hanya tertawa ketika melihat bayiku, mereka bilang bayiku tak seperti wajah gadis batak yang berhidung bangir dan berdagu petak seperti batu bata. Mungkin karena terbiasa makanan lalap di tanah jawa.

Dan kami menikmati kebersamaan akan kehadiran si buah hati, hari-hari seperti tak mengecap susah. Direpoti urusan popok basah yang harus diganti, memberi susu dan makannya, atau terjaga di malam hari oleh tangisnya. Semua kebersamaan itu kami kecap hanya 6 bulan lamanya, hingga ajal menjemput istriku. Aku tak mengira akan secepat dan separah itu penyakitnya. Kecantikannya yang lambat laun menguap bersama lekuk tubuhnya yang selalu kubanggakan itu menghilang. Dan istriku pergi di tengah malam.

Lamunanku tersentak ketika gadisku berceloteh, sepertinya dia mengigau, atau mungkin bernyanyi,

“Tanda paku di kaki dan tangan
Tanda cinta, tanda cinta
Tanda tombak, menusuk di pinggang
Tanda cintanya Tuhan
Itu semuanya Tuhan sudah terima
Guna semua yang mengikuti Dia
S’lamat orang yang tidak melihat
Tapi percaya juga.”


Bukankah itu bukan lagu yang ku ajarkan, benakku melayang akan celoteh mimpinya selama ini. Ohh….jangan.

Aku menggocang-goncang tubuh gadis kecilku, menepuk pipinya, membangunkannya.

“Jangan tinggalkan papa. Jangan anakku,” suaraku memburu mengisi gendang telinganya. Ku peluk erat, aku tak mau kehilangan lagi. Jangan pesona taman Eden (Firdaus) menawanmu, aku akan beri sejuta bunga di ladang kasihku, aku akan beri mata sungai yang bening di setiap waktumu, aku akan beri kedamaian di setiap perhatianku. Aku menangis memeluknya, erat tak mau lepas.

Dan gadisku tersenggal, kepalanya bergerak di himpitan dadaku. Aku meregangkan pelukan. Dan matanya mulai terbuka memandangku, ada binar ketakutan, ada sukacita ada keheranan.

“Pa, aku punya lagu baru.”

“Papa sudah dengar, jangan tinggalkan papa. Jangan sayangku…..” aku menangis menatapnya lekat.

“Dan lelaki yang selalu tersenyum itu memberiku teman baru, sepertiku, wajahnya cantik, bersinar memandangku dan dia memelukku. Katanya itu ibu.”

Oh… anakku telah menjawab sapaanNya.

(Buat wanita muda di kursi roda dengan tabung udara. Ketika seorang ibu harus berjuang menghadapi penyakitnya demi pilihan memiliki buah hati. Selamat jalan menuju sang khalik)

No comments: