Thursday 22 August 2002

Bulang

Kakiku menapak pada aspal , sedikit gamang dan telinga masih berdengung. Ada sedikit efek yang timbul dari penerbangan kali ini, yang memakan waktu berkisar dua jam kurang. Landasan telah menguap tampak dikejauhan. Udara panas kota ku kembali menyengat. Untuk sepuluh tahun lamanya aku telah tinggalkan. 

Bandara ini tak mengalami perubahan yang amat berarti, hanya polesan cat-cat ditembok dan jeruji pagar yang makin kekar. Aku ingat, dulu ada anak kebun di Dolok Masihul yang coba melihat Jakarta dengan menumpang pada sebuah pesawat udara. Bersembunyi pada ruangan roda dibawah badan pesawat. Dan dari ujung parit dekat tepi pagar sana, mereka berdua mengendap-endap ditengah malam. Sungguh perjuangan yang sulit dan berbahaya, tapi keingin tahuan mereka terpuaskan. Tipikal anak batak umunya. Dan jelas terlihat betapa rapuhnya pengamanan pada sebuah bandara sebesar ini. 

Aku tak perlu harus menunggu ngantri mengambil bagasi, karena bawaanku hanyalah tas koper kecil ini. Pakaian seadanya, karena memang itu yang ku perlukan. Aku mencari taksi yang akan mengantarkanku menuju kota di luar Medan. Kabanjahe, ibukota kabupaten Karo. Tak ada yang menjemputku, aku tak mau merepotkan kolega-kolegaku. Untuk memberitahukan kedatangan pun aku tak lakukan, hanya seorang wanita tua yang menantiku. 

Kota Medan masih tetap sama, tiada yang berubah selain makin banyaknya rumah toko (ruko) dibangun, tiada keindahan dari segala bangunan itu. Tidak ada mempertimbangkan nilai estetis lagi, hanya fungsi belaka. Malahan kerangkeng besi memagari jendela-jendela dari luar, seperti ketakutan yang berlebihan ataukah mungkin teraumatik dibulan Mei tahun 1998 dulu. Ketika melewati Padang Bulan, memancing lamunan melayang belasan tahun silam, saat aku masih menjadi mahasiswa di kota ini, masyarakatnya begitu menyatu dengan mahasiswa, karena mereka memang hidup dari kehidupan kampus. 

Itu sebabnya daerah ini tak pernah terjamah oleh para penjarah, karena semua ruko-ruko itu dihuni anak kost dan malahan banyak mahasiswa atau para pengangguran yang patungan mendirikan usaha kecil-kecilan. Biasanya rental, warnet atau photo copy. Dan ketika di bulan Mei itu juga, mahasiswa menyatu dengan penduduk setempat mengusir aparat yang coba menyerbu kampus untuk meredam aksi yang telah berlangsung berhari-hari. Perlawanan berlangsung makin memanas ketika kampus dikepung dan mahasiswa terpaksa harus tidur dikampus, sementara para pemilik kost kesepian di rumah, khawatir akan keselamatan mereka. Dan pengusiran pada aparat terjadi, membuahkan pemandangan baru di simpang kampus, dua motor polisi dibakar dan dipajang diatas pos kecil milik polisi di sudut perempatan jalan itu. Sebuah saksi.


Wanita tua menunggu di depan pintu, bibirnya masih mengunyah, berwarna merah oleh daun sirih. Irama yang berjalan lambat memelihara tubuhnya yang memang jelas-jelas sudah usang Wanita tua itu memiliki nada tanya.. Bangkit berdiri pada tulang punggung yang jelas-jelas telah rapuh, seakan tahu irama akan kedatangan. Sepertinya kami mempunyai getar yang sama, kerinduan akan tertumpah. Aku memeluknya, badan yang cukup ringkih itu. Bibirnya mengecup pipiku, kebiasaan lamanya. Mengusap bekas merah hasil kunyahannya.

“Mejuah-juah, apa kabar yang di Jakarta?” senyumnya sungguh tua sekali. 

“Baik. Nini (nenek) sehat-sehatkan?” aku menggamit lengannya mengajak masuk menuju rumah, setelah aku menyelesaikan pembayaran pada pengemudi taksi itu.

“Sehat, badanmu masih seperti dulu, kurus. Kapannya kau kawin?” dia tak putusnya menatapku. Seperti merayuku. Atau ingin mengunyahku.

“Hehehe…kalau soal yang satu itu, jangan lagi ditanyakan. Aku masih ingin sendiri untuk beberapa lama” aku coba berkelit.

“Kau cucu lelaki tertuaku. Kebahagiaanku adalah melihat keturunan mu”, ucapan yang telah biasa ku dengar dari mulutnya di setiap perjumpaan tiba.

“Akan ku beri semua tanah ku bila kau kawin. Anak-anaku tak akan berani meminta warisan itu, bila aku beri padamu” dia memberi aku janji atau sekedar basa-basi.

“Wah…. nyogok nih. Sejak kapan kebahagiaan ditukar dengan lembaran tanah. Dan lagian aku belum siap menyepi di desa, mungkin suatu saat kelak ketika aku tak punya nyali lagi di Jakarta “ kataku sambil merebahkan diri di kursi yang cukup tua itu. Kursi ini melebihi usiaku dan udara dingin desa ini telah mengawetkannya.

Wanita tua itu menyemburkan isi mulutnya ke dalam kaleng susu bekas itu. Mengambil yang baru dan membuat ramuann berikutnya. Kecanduan yang tak jauh beda dengan kebiasan merokok ku. Tapi sungguh nikmat, hangat asap rokok yang kurasakan di udara sedingin ini. Dengan secangkir kopi pahit tentunya.

“Kau bawa yang aku pesan itu” tagihnya


“Oh, kalung ini yang nenek maksud?”tanyaku sambil menunjuk.

“Iya. Itukan pemberian Bulang (kakek) mu dulu” dia menatap lekat pada dadaku, pada kalung perak yang tergantung di leherku.

“Besok itu akan dibutuhkan”

“Apa yang akan kita lakukan?”

“Lihat saja besok, sekarang kamu jalan-jalan saja dulu melihat kebun jeruk kita. Atau mungkin di tengah jalan akan kau jumpa gadis desa yang bisa menahanmu disini. Lumayan bakal ada yang menemani menuju kematianku” katanya menggodaku, tangannya merogoh benda dibalik kain sarung yang dikenakannya. Mengambil sebuah benda dari sela kantung celana karung tepungnya. Sebuah kunci.

Aku meninggalkannya sendiri. Memang hidupnya sudah lama begini, sejak ditinggalkan Bulang lima tahun lalu, sejak kelima anaknya merantau ke Jakarta menjadi pedagang puluhan tahun lalu. Masuk ke Jakarta sejak tahun tujuh puluhan. Dan kunjungan ke desa ini hanya pada momentum tertentu, tahun baru atau kerja tahun. Pesta yang selalu diadakan tiap tahunnya oleh setiap desa di Tanah Karo, ucapan syukur akan hasil panen yang mereka dapatkan. Itu yang diajarkan oleh tetua-tetua sejak dulu. Pada kesuburan tanah desa, mereka berbagi rezeki dengan menjamu setiap sanak saudara yang datang, dan pesta rakyat berlangsung untuk tiga hari tiga malam lamanya. Walau hidup mereka susah, tapi tak ada keserakahan, karena semua diberi oleh alam, maka akan kembali ke alam. Tak ada kelaparan untuk tiga hari tiga malam lamanya, setelah itu mungkin mereka akan hidup pas-pasan. Ritme hidup yang keras, sekokoh gunung Sinabung dan Sibayak yang mengelilinginya. Tapi disela pesta kerja tahun itu, sejuta mimpi bernyala-nyala dari mata pemuda yang mencari pemudi impiannya. Alam sekali lagi memberikan wadahnya.

Pagar itu tak layak disebut pengaman, sekali tendang mungkin akan terbuka, tapi siapa yang mau mencuri karena semua memiliki kebun dan tanaman jeruk seragam tumbuh. Aku mendapati batang-batang jeruk yang berbaris, tapi ini mungkin bukan saat yang tepat dari batangnya aku bisa memetik buah jeruk. Sungguh nikmat mendapati kesegarannya. Buah-buah nya masih kecil dan hijau, ada bercak buruk dikulitnya. Mungkin sedang kena penyakit. Dan pada batang-bantangnya tumbuh lumut-lumut hijau. Mungkinkah Nini telah tak sanggup lagi mengurus kebunnya?

Aku hampiri tanah yang menggunduk. Bunga yang aku beli di desa dekat kedai kopi, aku tata pada pusara. Tidak terlalu rapi, karena yang mati juga tak kan mungkin protes. Tak ada rumput yang tumbuh, jelas Nini memeliharanya. Hanya ini yang tersisa dari yang dikasihinya di desa ini, kekasih purbanya. Bulang berhenti bekerja diladang ini sejak lima tahun yang lalu. Ketika kebiasaan merokoknya merenggut hidup. Lelaki yang batuk-batuk ditengah malam yang hanya tidur menjelang pagi. Karena memang ia tidak suka tidur berlama-lama, kematian datang ketika kita tidak terjaga katanya. Tapi nafasnya hilang ketika dia baru menghisap asap rokok itu.

Dan Bulang adalah lelaki yang tak pernah pergi lama-lama dari desa ini. Untuk seumur hidupnya dia hanya pergi untuk beberapa jam, itupun menjual hasil kebun atau membeli sesuatu di kota, selebihnya mengunjungi sana famili yang sakit, atau menghadiri pesta-pesta perkawinan atau penguburan. Untuk menghadiri wisudaku, ia tak bisa ditahan untuk menginap di kamar kostku, bukan karena sesaknya buku dikamar atau berisiknya nyayian anak kost kamar sebelah, tapi memang dia tak bisa. Dia telah jatuh hati pada tanahnya kata ayahku.

Mungkin yang masih merasa sakit hati adalah Bapak Udaku, anak bungsunya. Sebuah kebanggaan baginya memiliki rumah yang besar sekarang dan mobil buatan Jerman telah mengisi garasi rumahnya. Tapi Bulang tak mau pergi meninggalkan desa ini untuk berlama-lama. Hingga dua tahun berikutnya Bapak Uda terpaksa membawa keluarganya jalan darat dengan mobil Jermannya ke kampung ini. Dan Bulang tak bisa menikmatinya, karena dia suka mabuk bila berlama-lama terkurung di mobil, udara di dalam mobil tak sehat katanya dan dinginnya membuat ngilu tulang tuanya.

Yang masih menjadi perdebatan bagiku adalah cerita masa kecil, perdebatan dengan teman sebayaku di sekolah minggu di sebuah gereja yang komunitasnya terdiri dari suku Karo. Andi Ginting bersikukuh kalau kakeknya adalah pejuang, bersama-sama pejuang lainnya ikut berperang, dan dengan bangganya ia bilang kalau negara berhutang budi pada kakeknya dengan membayar uang pensiun hingga kini. Beragam gelar penghargaan diterimanya. Termasuk bersalaman dengan Soeharto. Walau itu bukan lagi kebanggaan kini, tapi aku sempat sakit hati. Dari cerita-cerita ayah, katanya Bulang juga pejuang. Dia yang paling pemberani, ketika semua penduduk desa harus mengungsi ke Sernembah, Bulang tetap tinggal di desa. Dia tak bersembunyi karena dia bukan penakut dan tentara Jepang itu memasuki desa yang senyap. Semua telah lari bersembunyi di Sernembah, disana ada hutan yang lebat dan jurang yang dalam, takkan terlihat oleh pesawat Jepang dan tak bisa dijelajahi truk-truk mereka.

Tapi Nini bilang Bulang itu paling penakut walau ia pria yang paling dicintainya. Nini yang ketika itu baru memiliki dua anak ikut mengungsi bersama penduduk desa lainnya. Dan untungnya sanak saudara yang lain mau melindungi mereka dalam perjalanan. Tapi sampai sekarang tak ada yang pernah tahu, bagaimana Bulang bisa selamat, ketika dengan buasnya tentara Jepang menggeledah rumah-rumah dan ladang-ladang dan membakar yang berdiri. Dibumi hanguskan. Dan berbulan-bulan pula Nini harus menghidupi anaknya di pengungsian, wabah penyakit merajalela. Ayahku, anak pertama yang baru berumur lima tahun telah demam berhari-hari, korengan dan bisul banyak tumbuh. Nini hanya bisa menangis menunggu saatnya persembunyian ini berakhir.

Dan seseorang lelaki menunggu di gerbang desa, menatap gerombolan memasuki desa, ke arahnya. Matanya mencari-cari, akankah kekasihnya telah mati? Pada gerombolan yang terakhir, diatas kereta (sado) lembu itu, gadisnya memeluk ke dua anaknya. Mereka telah kurus dan kumal. Tangisnya tak terbendung, memeluk mereka memasuki desa. Dan penduduk yang lainnya, tak ada yang berani menatap Bulang atau mengatakannya pengecut, karena ia adalah dewa bagi mereka. Sang penunggu desa. Hingga kini aku tak tahu bagaimana ia bisa selamat dari kejamnya Jepang, tapi aku berani bertaruh pada Andi Ginting bahwa Bulang adalah juga pejuang. Walau dia memaksaku memperlihatkan foto Bulang dengan pakaian tentara, aku hanya mengatakan bahwa Bulangku adalah pasukan khusus yang dirahasiakan identitas dirinya. Untungnya si Anto sedikit percaya, kalau tidak mungkin dia akan menuduh Bulang sebagai mata-mata Jepun. Dan sekali lagi aku tak bisa mengalahkan kebanggaan Andi.

Tapi kekecewaan masih terus membekas pada Nini, di balik semua kekagumanku. Sudah jadi kebiasaan lelaki desa ini untuk menghabiskan waktu dikedai kopi, bermain catur dan kartu joker Karo. Para wanita dan anak-anak sibuk diladang dan sawah mengais makan. Mungkin ini akan menjadi makanan bagi kaum jender, tapi itu sebuah kebiasaan seperti genjer yang tetap tumbuh dimanapun. Tak ada yang mempersoalkan, karena memang wanita menjadi pekerja yang tangguh dan tetap mengurusi rumah walau penat masih bergayut selepas kerja siangnya di ladang.

Dan Bulangku adalah penjudi yang handal, tapi ia takkan mempertaruhkan segala miliknya. Termasuk mengambil hasil penjualan tanaman dan ternak Nini. Bila uangnya habis, ia akan berjualan ke desa-desa sebelah. Ia berdagang kain dan selalu mengatakan bahwa kain batik ini adalah bantuan dari pusat dan hanya boleh dibeli satu saja. Kontan penduduk merasa bahwa kain itu sungguh tinggi nilainya dan sangat berharga. Dagangannya cepat habis, ditambah lagi ada penduduk yang menitipkan pada anaknya atau orang lain untuk membelikan agar dia bisa punya lebih dari satu. Bulang memang pedagang ulung.

Pernah ia berdagang sepeda, angkutan yang hanya dimiliki masa itu. Ia membelinya jauh di sana, di kota Binjai dekat Medan. Ketika itu angkutan truk atau penumpang membelah hutan, turun ke kota, tak ada. Bulang terpaksa mengendarainya. Untuk saat ini saja memerlukan waktu tiga jam dengan mobil, kebayang saat itu dengan jalan yang sangat jelek dan mendaki bila kita dari Medan. Tapi demi dagangan, Bulang terpaksa melakukannya. Kebetulan lewat truk yang berisi tentara Jepang yang akan membuka markas awalnya di Kabanjahe. Melihat Bulang dijalan, mereka menghentikan kenderaannya. 

Bulang berdiri gemetar, tak terbayang nyawanya akan hilang jauh dari istri dan anaknya ditengah hutan. Mereka menanyakan jalan ke Kabanjahe dan bersedia memberikan tumpangan. Dengan bahasa tubuh bulang menyanggupinya. Selamatlah ia sampai di Kabanjahe, tapi ia tak mau selanjutnya diantar menuju desa, ia memutuskan melanjutkan dengan sepeda saja. Kegembiraan tampak pada wajahnya, walau masih ia ingat sepanjang jalan penduduk menatap kasihan padanya malah ada yang mengejek, menganggap Bulang telah jadi tawanan perang. Atau mungkin ada juga yang menganggap Bulang adalah pahlawan. Tapi sejak itu ia tak mau melakukannya lagi, karena ia tak menyangka perjalanannya sangat panjang, dan dia tak bisa meninggalkan desa ini lama-lama. Ini mungkin hukuman baginya.

Walau dikatakan Nini bahwa Bulang penakut, tapi itu ada gunanya. Ketika memasuki tahun enam puluhan, PKI memberikan cangkul-cangkul gratis. Dan Bulang menolaknya, walau Nini marah atas sikapnya itu. Bulang bilang tak ada di dunia yang gratis, pasti mereka ada maunya. Dan memang PKI membodohi penduduk dengan pemberiannya itu, mencoba membuat barisan tani. Sebuah pemberian memang terkadang susah ditolak apalagi mereka sungguh membutuhkannya, bukan sekedar hanya janji. Untunglah itu tak lama ketika PKI diganyang dan penduduk desa selamat sebelum barisan tani dibentuk. Dan sekali lagi Bulang benar untuk sikapnya.

Dan pagi ini kami berkumpul di pusara ini. Dihadapan kuburan Bulangku. Nini duduk ditanah memperhatikan kedua pemuda itu menggali tanah. Mereka adalah anak Kila (paman) ku. Tak ada kekhawatiran di muka mereka. Pelan dan pasti tanah dicangkul keluar dari liangnya. Menggali kabar yang telah usai, mencari tahu akan cerita lama. Sebuah perjumpaan akan membangkitkan kenangan. Karena kenangan memang untuk dicicipi, ketika kebosanan menghadapi keseharian yang jauh dari kesadaran. Semakin dalam dan dalam. 

Terdengar benturan keras pada kayu lapuk yang tertanam. Mereka menggalinya keliling, agar peti bisa terangkat keluar. Seperti penggali harta karun mereka bekerja ekstra hati-hati, terbayang berharganya benda yang tertanam ini. Diusahakan peti tidak rusak dan robek, diangkat keluar, ke sisi kanan. Papan penutup dicongkel paksa, pada setiap sisinya terpaku mati. Dan tutup pun disingkirkan. 

Terlihat Bulang tersenyum. Rambutnya masih memutih, hanya itu yang tersisa selain tulang-tulang penyangga tubuh. Bau itu tak begitu mengganggu, kerinduan yang justru menyembul. Nini menangis, dia menyanyi. Sebuah kebiasaan bagi suku Karo dalam meratap dan dikenal sebagai ngandung. Alunannya mengantar mimpi kami ke masa silam. 

Cerita lama terucap, ketika seorang pemuda mendapati gadis cantik disudut malam. Pemuda manja, anak lelaki satu-satunya, dengan seorang gadis putri pedagang cabai. Kesuburan desa menyambut perkawinan mereka, sebuah takdir yang digariskan berabad-abad. Walau sang gadis masih terlalu muda untuk harus mencari makan pada ladang dan sawah mereka. Dan dia anak pedagang kaya yang terbiasa dilayani. Ketika waktu berjalan, kembang-kembang kol tetap membaui pagi ketika kaki-kaki kecil berlari lincah ditengah ladang. Keturunan telah lahir sudah dan tanah desa makin subur. 

Gadis muda itu kini telah punya lima anak, dan kesuburan makin tak terbendung. Mereka bisa berangkat dengan modal yang ada ke kota, turun malam membawa sayur mayur ke kota. Tidur diatas karung-karung yang tergeletak pada mobil bak terbuka sewaan, merayu pembeli dengan kemolekan kulit-kulit tomatnya, merahnya cabai harumnya jeruk-jeruk. Dan kelimanya melirik Jakarta ingin mencari lebih lagi. Tinggallah yang tua menjadi penunggu tanah menanti ajal berdua. 

Tapi doa-doa tetap hadir disaat sepi, berdua berbulan madu kembali seperti dulu. Dan sang penunggu desa telah mati. Meninggalkan kami, meninggalkan embun pagi. Meninggalkan malam yang tiada teman karena penghuninya lelap tapi kaulah yang hanya setia terjaga. Ditanah ini kau masih berjaga, karena kaulah penjaga kami. Penjaga kesuburan tanah ini. 

Tapi kini tanah kami tidak subur lagi. Bukan karena kami malas atau karena telah muak bekerja. Punggung kami masih terbakar, jidat kami masih terus dijilat matahari. Dan embun-embun melekat dikaki kami. Keringat kami masih asin. Tapi kini akal kami telah mati, kami sadar sang penjaga kesuburan sudah pergi, jangan tinggalkan kami sedih yang berkepanjangan. Banyak yang menjerit menatap baho (hujan es) yang tak henti pergi. 

Jeruk-jeruk rusak, batang cabai patah, putik-putik hilang. Hama merajalela, mereka sangat lapar memakan tanaman. Sungguh karma apa yang berlaku. Dan kami masih berharap walau ladang kami hanya cukup untuk makan sehari-hari karena pupuk dan obat-obat terlalu mahal. Tanaman telah manja, tidak seperti dulu lagi tanah bisa menyediakan semua. Dari pupuk dan obat itu, benih-benih penyakit baru timbul. Kembalikan kesuburan yang dahulu. Kemakmuran yang abadi. 

Lalu Nini menatapku, matanya masih berkaca-kaca, meminta kalung di dadaku. Itu pemberian Bulang. Dan mengalungkannnya di tengkorak kepala Bulang. Mengusap tulang-tulang itu semua dengan minyak kelapa muda, membersihkannya. Aku membantunya, kasihku membaluri belulang milik sang tua. 

Tangis masih berlanjut, hingga peti ditutup. Dipaku kembali ke setiap sisi, walau tepian telah hancur dimakan tua. Setua pesan yang melekat padanya. Bukankah kematian menjadi teman liang kubur dan peti mati. Setelahnya semua yang hidup akan pergi, dan sejarah menjadi ziarah masa lalu. Semua terkubur rapi tak lagi berbau. Walau betapa kelamnya masa lalu yang pasti pernah ada mengisi hari-hari. 

Kami meninggalkan tanah yang kembali merekah, basah oleh tangis dan kenangan masa lalu. Semoga lelaki tua itu tak kesepian di sana, masih banyak kematian-kematian yang menanti menemanimu menunggu penghakiman tiba. Niniku berjalan tertatih, nafasnya satu-satu. Aku memegang pundaknya, dadanya masih sedikit berguncang, sisa nafas yang tadi meratap. Tapi pipinya tak lagi basah, airmatanya telah kering. Dan jejak kami jelas tertinggal bersama mimpi tadi.

Malam itu, ketika para penduduk telah pulang, ketika ternak-ternak kembali ke kandang, ketika matahari meninggalkan gelap, kabut turun, dingin menggerayangi desa. Masuk melalui celah-celah kecil diantara dinding-dinding papan, menjilati tubuh. Aku menarik kakiku, menekuknya didalam selimut tebal. Rokok ku tertarik dalam, mencari kehangatan. 

“Ni, apakah tidak ada kebanggaan Nini pada Bulang dari semua cerita Nini tentang Bulang yang penakut, pemalas?”aku mencoba membuka keheningan, karena kami memang hanya berdua di detik ini.

“Memang itu kenyataan yang ada. Gambaran yang tak mungkin berubah, walau waktu kita paksa memutar mundur ke belakang. Aku tak benci dia, tapi memang dia harus melakukan semua itu.”

“Maksud Nini?

“Ketika kami harus menyingkir meninggalkan desa saat Jepang marah, Bulang tidak mau pergi, dia tinggal sendiri didesa. Aku marah, aku ketakutan dengan dua anak kecil dihutan. Wajar bila aku katakan dia penakut”

“Apakah Bulang mata-mata Jepang?” hayalan masa kecilku bangkit

“Tidak sehina itu. Justru ia dianggap pahlawan bagi penduduk desa. Penunggu desa. Karena memang ia adalah keturunan penguasa desa ini. Yang pertama membuka desa adalah kakek moyangnya. Dan kemana mereka melangkah kesuburan menyembah di mata kaki mereka. Kakinya tiada pernah beralas karena tanah itu suci adanya, sumber kehidupan kita, karena dari sanalah kita hidup dari tanaman yang menyerap sejuta sari tanah. Itu sebabnya keturunan kakek moyangnya tak pernah pergi dari desa ini, termasuk Bulang. Jikalau pergi, tanah ini akan menggerang, kering dari kesuburan. Akar-akar akan mati pelan-pelan. Batang akan merunduk layu. “

“Itu sebabnya Bulang tak pernah lama-lama di luar desa?”

“Iya. Bulang harus disini terus untuk menjaga desa. Walau disinipun terkadang tiada berguna, dia hanya sibuk di kedai kopi, berjudi. Sepertinya lelaki desa ini malu untuk bekerja diladang. Apalagi ketika awal pernikahan, aku yang masih muda sepertinya mau mati bekerja diladang. Sesuatu yang tak pernah aku lakukan dulu, karena bapakku adalah pedagang kaya” senyum Nini bergayut membayangkan kekesalannya pada lelaki tuanya dulu.

“Dan Ni, untuk apa kalung itu tadi ?” Ada sejumput tanya yang masih tertinggal.

“Untuk itulah kau hadir disini” katanya, ritual makan sirih tampaknya tak bisa berhenti. Ini buat menguatkan gigi dan perona yang murah buat bibir katanya dulu.

“Kalau Nini perlu kalung itu, aku bisa mengirimnya” kataku, sedikit tersiksa oleh dingin ini yang makin nakal.

“Tapi kau harus hadir di depannya, kaulah keturunan penunggu desa”

“Jangan paksa aku untuk tinggal disini, aku tak sanggup” aku ketakutan

“Siapa yang menahanmu di Jakarta? Bukankah tiada gadis yang menyukaimu?”ejeknya

“Walah, nyumpahi nih? Setidaknya aku masih punya harapan di sana. Walau aku tak pernah benci sepi, sesuatu yang menjadi milikku dalam keriuhan kota Jakarta. Aku ingat Nini dalam segala kesepianku, kita tenggelam dalam hal yang sama,” aku coba membujuknya.

“Tapi siapa yang akan menjaga kesuburan desa ini?” aku coba menyelidiki

“Sesuatu yang kau bawa. Kalung itu. Dadanya adalah tempat yang layak untuk dikalungkan. Dan semoga kesuburan kembali mengalir, penyakit pergi. Dan musim kembali akrab. Setelah jasadnya habis dimakan tanah, kesuburan tak lagi bermuara dari padanya. Dimimpi malam lelaki tuaku itu datang menyapa. Menegurku, menampar kerinduan yang terkekang. Dan dia berikan isyarat akan kalung itu” Nini melayang, angan melambung.

“Mengapa kalung itu diberikan dulu padaku?” tanyaku penasaran, sedikit banyak aku ragu akan hal magis.

“Dia ingin kau mengenakannya. Kau adalah keturunan sang penunggu desa. Itu adalah penyelamatmu. Seperti ketika tentara-tentara Jepang itu mengobrak-abrik desa, Bulang berdiri di sana. Dihadapan mereka. Tapi tak satupun menyentuhnya. Melihatnya pun tidak. Bulang ingin kau selamat, karena Bulang tahu darahmu panas sepertinya”

Hayalku berputar, akalku menari jauh disana, ketika di bulan Mei 1998, saat kami terkepung di dalam kampus, panser merangsek masuk. Pasukan berderap menyisir malam. Aku tersudut di gedung itu, tapi mereka tak menangkapku, hanya teman-teman di sekitarku. Mereka tak melihatku walau badaku tepat didepan moncong senapan mereka.

Dan mereka digelandang habis kedalam truk, sebelum diselamatkan oleh rector, meninggalkanku sendiri menatap. Saat itu aku pernah berpikir aku telah mati.

No comments: