Monday 19 August 2002

Aku masih menunggu gadis itu

Aku masih menunggu gadis itu. Menunggu langkahnya yang anggun memasuki gerbang pintu. Sementara manusia lainnya duduk hikmat, ada yang bersenda gurau dengan nafas tertahan. Dan yang berpakaian kebesaran hitam sedang berkonsentrasi dari balik ruangan lain. 

Alunan musik tidurkan mimpi duniawi di keset kaki di luar pintu. Pujian bergema getarkan setan yang mengintip dari tiap jeruji jendela, siapakah yang tak merinding kuduknya bila kepala ular telah diremukkan oleh gembala yang setia pada dombaNya?. Sesungguhnya bukan keselamatan yang ada pada kehidupan, tetapi kematianNya menyelamatkan. Sebuah penebusan.

Langkah yang kukenal itu belum terdengar, masih langkah-langkah lain yang berat dan terkesan disendat, mungkin diseret. Rutinitas terkadang menjemukan, ataukah ada keterpaksaan ? Bukankah disediakan waktu 6 hari bagi mereka, dan satu hari bagi penciptanya. Walau ada yang meyakini tanpa tembok dan atap, pujianpun bisa dialamatkan.

Ah, gadis itu sudah datang. Bergaun coklat muda dengan rok hitam, sungguh anggun. Rambutnya yang sedikit panjang tak menutupi pandangannya padaku. Seperti minggu-minggu yang lalu-lalu dia tersenyum padaku sebelum langkahnya berakhir di kursi itu. Kepalanya tertunduk, matanya terpejam. Seucap kata, berbisik pelan.

Lidah menyala-nyala, kata-kata mengalir. Keheningan dalam penemuan penciptaan, pujian tak terbendung. Lautan rahmat mengalir pada mereka yang meminta. Kuasa menjadi nyata pada yang mengetuk dibalik pintu, diberi pada yang meminta. Dan sang pengkotbah memuaskan jiwa-jiwa yang haus.

Disudut sana, aku melihat seorang lelaki kurus masih terpekur. Menunduk dalam kegamangan. Sepertinya dia ada disini untuk beberapa minggu-minggu yang lalu. Mungkinkah ia seorang musafir, pengembara untuk seluruh hidupnya. Dan kali ini jiwanya tumpah di sini. Sedikit pelan, namun masih sayup kudengar, “Tuhan, bila harus semua ini kujalani, jangan beri aku cobaan yang lebih berat lagi. Jauhkan cawan pahit itu dari ku”. Bibirnya kelu berucap.

Tapi aku sadar, lelaki kurus itu pernah datang setahun yang lalu di bulan Desember. Saat itu wajahnya penuh kasih, mekar berseri. Ucap doanya penuh syukur. “Tiada tempat yang layak aku memuji, hanya namaMu. Terima kasih untuk rencana Mu akan hidupku dan gadisku”.

Sepertinya tiada pengharapan menguasainya, perasaan tidak layak menghinggapinya. Mungkinkah ia orang yang merasa kalah? Dari mimbar, seruan terucap:

“ Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikian lah kamu ditanganKu (Yer. 18.6). Gumpalan tanah liat yang dingin dan tak berbentuk mungkin kelihatan tak berguna, tapi ditangan penjunan yang ahli bisa menjadi sesuatu yang langka dan sangat berharga. Anda mungkin ada yang berkata “mengapa hidup terasa begitu susah?”. Ensiklopedia Britannica menjelaskan “Keramik yang dikeringkan dengan sinar matahari tidak akan sekeras keramik yang dipanaskan dengan api, selain itu akan mudah meleleh jika terkena air. Pembakaran dengan suhu yang sangat tinggi, akan menghasilkan bejana yang benar-benar tahan terhadap kerusakan. Itu sebabnya Allah berkata “Aku telah memurnikan engkau…..Aku telah menguji engkau dalam dapur kesengsaraan”(Yes. 48:10). Hali ini dilakukan karena Dia ingin membentuk anda menjadi sesutau yang bernilai kekal. Bersandarlah pada Tuhan dengan dengan segenap hatimu, jangan bersandar pada pengertianmu sendiri. Jalan orang bodoh lurus dalam anggapannya sendiri, tetapi siapa yang mendengarkan nasihat ia, bijak (Amsal 12:15)”

Dan lelaki kurus itu menatap jauh ke dalam hatinya, dia berbisik “Maafkan aku telah meninggalkanMu dalam kebahagianku”. Sebuah senyum mengantar keraguannya tinggal dibangku itu, ketika mereka mulai beranjak bangkit dan keluar. Kebahagiaan memancar dari bulir-bulir kasih yang terurapi. Dan mereka saling bersalaman. Gadis itu menyalaminya, lelaki kurus yang tadi meringkih sendiri. Tersenyum. Dan meninggalkanku, tergantung di dinding ini. Dan aku masih menunggu senyum gadis itu, untukku dan untuk lelaki kurus itu. Walau itu hanya untuk tiap minggu.

No comments: