Sunday 20 March 2011

Terlukis (Telanjang)

13003876701802349209
Venus Verticordia 1864 - 1868 oleh Dante Gabriel Rossetti


Aku hanya bisa geleng-gelengkan kepala, tersenyum dan tak sedikitpun waktu untuk berniat melepaskan pandanganku dari matamu. Aku takut bila mata ini terpejam sejenak, engkau raib atau malah menjadi wujud lain.

Ya, sudah 11 tahun kami tak bertemu. Usia ku sudah menginjak 30 tahun dan engkau setahun lebih muda dariku. Tapi engkau tak berubah. Mata, bibir beserta senyumnya. Apalagi dadamu, hehehe.... Bila melihatnya hilanglah susah. Selanjutnya pasti sendal jepitmu akan melayang ke mukaku, dulu.

Apa yang dulu sering ku ejek padamu, kini sudah tak ada lagi, rambut gaya Nike Ardila itu. Mungkin kau sudah malu, atau mungkin diprotes oleh pacarmu. Pacar?

Aku terdiam, saat kau tanyakan apa yang juga ada dipikiranku untuk kutanyakan padamu, 3 detik yang lalu.

"Pacar? Belum terpikirkan, hehehehe..."

"Bohong! Atau... susah memilih satu dari sekian? Hehehe..."

"Belum nafsu untuk memacari mereka, hehehe..."

Tawa selanjutnya mengalir. Membawa kami ke masa-masa lalu saat begitu akrab di SMA. Tapi bukan sebagai sepasang kekasih. Hal yang tak pernah terpikirkan. Karena yang kami pikirkan hanyalah, bagaimana bisa membuat orang tua percaya pada kami selayaknya kakak dan adik. Bayangkan bila hari libur, tiba-tiba kami sudah ada di Jogya atau di Surabaya. Dan ibunya akan panik saat mendapat kabar itu melalui telpon di stasiun kereta api di sebuah subuh.

"Wah... anak gadis kok senekat kamu. Nanti siapa yang akan menjagamu?"

"Kan ada mas Heru, bu. Kami mau mendaki gunung."

Selanjutnya ibunya akan tenang saat kupingnya mendengar suaraku. Aku seperti biasa mencoba memintaa maaf untuk kesekian kalinya karena lupa pamit oleh alasan mengejar jadwal kereta api. Dan untuk kesekian kali ibunya akan kena damprat ayahnya yang mampu bersikap kasar demi anak semata wayangnya.

********

"Masih melukis?"

"Masih, beberapa pesanan belum bisa aku penuhi."

"Wah, aku mengganggu jadwal kerja mas Heru."

"Ndak apa-apa. Lagian aku ingin rehat sejenak. Penat."

"Aku mau dilukis lagi."

Aku memandangnya. Tersenyum melihat bibirnya. Senyum nakal itu.

Asap dari rokok yang baru kubakar meliuk menuju hidungnya. Dan ia segera meraihnya dari jepitan jariku. Menghisapnya dalam. Dan selanjutnya akan berpindah ke bibirku. Dulu, hal seperti ini merupakan ritual sebelum dirinya aku lukis. Tapi yang terbakar berbeda, daun ganja. Biasanya beberapa menit ke depan, tiada lagi rasa kecanggungan di antara kami.

"Apakah ada model lukisanmu yang juga telanjang?"

"Ada, sedikit. Tapi tak sepertimu. Perut mereka bagai tas pinggang."

"Hahahaa.... mas Heru tak pernah berubah."

Aku memang tak berubah. Menantimu. Hmmm... entah mengapa pertemuan kita di pagi tadi membuat hidupku kembali ada. Sangat berbeda dari apa yang aku rasa kini. Goresan kuasku begitu bernafsu, memindahkan dirimu ke dalam kanvas ini. Lekuk yang aku hapal. Dan kini masih sama. Dengan kulitmu yang bening serta rambut-rambut halusmu. Di tangan.

"Ke mana semua lukisan tubuhku?"

"Terjual habis. Aku sisakam satu di kamarku."

"Jangan-jangan gara-gara lukisan itu, tak ada cewek yang mau mendekatimu."

"Hahahaha... kau benar. Aku katakan wanita ini sudah mati di gunung Semeru hehe..."

"Sialan! Tapi mas..."

"Hmmm...."

"Kau selalu memandang lukisan itu?"

Aku diam.

"Menatapnya sebelum mata mengantuk?"

Aku terhenyak. Malamku hilang memandang dirimu.

"Menyentuhnya saat engkau rindu?"

Aku menelan ludah. Mataku terpejam. Berkelebat sejuta potongan-potongan akan dirimu. Senyummu. Gigi marmutmu. Tawamu yang berderai. Anak-anak rambutmu. Kupingmu. Leher jenjangmu. Punggungmu yang putih. Dadamu yang bulat. Perutmu yang rata. Dan halusnya......

*************

Cahaya dari luar jendela menepis mimpiku. Ternyata hari sudah tinggi. Aku bangkit saat menatap jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hari ini aku ada janji dengan klien yang meminta untuk dilukis, di sebuah tempat di selatan Jakarta. Dan....

Aku menatapnya..... Rambutnya yang panjang tergerai menutup buah dadanya. Sutra merah meliuk di sekitar pinggangnya. Senyum begitu dingin. Dan matanya damai.... tertutup.

Ini bukan senyum dan mata yang ku dapat semalam, saat kami bercumbu di atas ranjang. Entah mengapa kali ini kami tak mampu menahan semua hasrat itu. Kegilaan di masa-masa SMA tak membuat kami tergoda untuk melakukannya, dulu. Padahal begitu seringnya kami berduaan saat berjalan tak ada ujung pangkal, entah itu menuju kota lain atau memasuki hutan. Mungkin karena seperti sebuah kebutuhan untuk menjadi abang dan adik.

Sebuah dering telpon mengusir lamunanku. Mataku berpindah dari wujud yang tergantung sebagai lukisan di dinding ini. Mencari arah suara berasal. Di atas meja.

"Halo....."

"Ya, bu. Apa kabar ibu?"

"Masih ingat dengan Raden Mas Harto? Tetangga kita dulu. Dia tadi pagi menelpon ibu dan meminta maaf. Nak.... ibu mau kabarkan, Ayu telah meninggal tadi malam. Dan suaminya pagi ini telah tertangkap."

Aku terhenyak. Terlukis sebagai air mata yang mengalir di dekat sebuah pohon tua yang kokoh.

sumber gambar : ArtSunLight

No comments: