Sunday 20 March 2011

Sanin Lupa, Kalau Ternyata Tuhan Tak Boleh Beristri Dua


12951505291191987241
Jakarta Menjadi Gila, karya Imam Abdillah. (sumber ilustrasi : www.jakartaartawards.com)

Suara motor itu sudah tak asing. Seperti biasa ia datang sambil terkekeh-kekeh. Tubuh kurus yang kian menghitam hadir dengan peluh di bajunya. Mungkin kerah bajunya sudah penuh dengan daki, tapi untunglah rambut yang memerah itu menutupi hingga ke bahu.

"Bang, aku bawa uang koinan lagi. Dua ratus lima puluh ribu, hehehe..."

"Wah, lancar juga pendapatanmu. Gimana dengan rencanamu?"

"Rencana yang mana nih bang?"

"Wah, emang banyak kali rencana mu? Ya, rencanamu untuk punya bini muda."

"Hahahaha.... si abang masih ingat saja. Kalau rencana punya motor baru untuk bini sudah berhasil bang. De-pe (down payment) kebetulan hanya Rp.300.000,-. Untung si Gendut punya bos yang mau nerima. Nah, siasat untuk nyogok bini udah berhasil, tinggal dengan rencana selanjutnya, ngawini si Ipeh, hehehe...."

"Binimu emang udah setuju?"

"Mau tak mau dia pasti setuju bang. Paling-paling entar cuma nangis, lalu ngambekkan. Tapi pasti nggak bisa lama. Pasti dia rindu ke pelukanku hehehe.... Lagian rumah udah aku perbaiki, pakai bata merah. Nggak lagi pakai gedek. Dan kemarin udah aku buatkan warung kecil di depan rumah. Nah, sekarang lagi musetin pikiran buat ngumpulin uang untuk nikahan dengan si Ipeh hehehe..."

"Kapan rencana nikahnya?"

"Empat bulan lagi, bang. Kalau pendapatan lancar, pasti cepat terkumpul dananya, bang. Doain ya, bang, hehehehe...."

Selepas menghitung jumlah uang koin yang dibawanya, aku menukarnya dengan lima lembar uang lima puluh ribu rupiah.

**********************

Kian lama Wartel (warung telekomunikasi) ini kian sunyi. Hanya beberapa orang saja yang datang untuk menggunakannya. Paling-paling mereka yang ingin menggunakan fasilitas faksimili. Atau orang tua yang tak memiliki atau tak tahu menggunakan handphone namun ingin menghubungi anak atau saudaranya di perantauan. Seperti biasa, mereka akan meminta ku menekan nomor sesuai dengan nomor tujuan yang ditulis di kertas lusuh.

Padahal ketika awalnya tujuh tahun lalu, begitu susahnya memiliki perijinan dan mengumpulkan modal untuk membuka usaha jasa warung telekomunikasi ini. Malah ada syarat harus disurvei dulu oleh petugasnya, agar antara satu wartel dengan wartel lainnya tak berdekatan. Akhirnya setelah menunggu enam bulan lamanya, aku baru mendapatkan ijin untuk mendirikan wartel dengan 5 KBU (kamar bicara umum).

Hal yang tak terlupakan, di saat awal beroperasinya wartel ini, setiap malam minggu para konsumen ku berjejer antri. Malah terpaksa dibuatkan daftar antri, agar tak ada saling menyerobot. Apalagi ketika tarif murah diterapkan mulai dari jam sembilan malam, antrianpun kian menyibukkan. Waktu pun tak terasa kian larut saat aku menutup wartel dengan senyum ceria.

Senyum itu tak lagi hadir. Disamping suasana yang sepi yang menyebabkan kantuk selalu menggoda, terkadang ucapan sinis konsumen ketika aku menyebutkan sebuah nilai atas biaya percakapan yang terjadi membuat ku tersinggung.

"Kok mahal banget, bang? Ini mah nggak benar lagi. Argo kuda. Masak ngomong baru lima menit aja mahalnya minta ampun. Kok beda jauh dengan pulsa ha-pe (handphone)."

Wah, kalau kata-kata ini datang, mukaku langsung memerah. Seakan aku menjadi perampok pulsa yang berkuda hitam. Aku selalu mencoba menjelaskan, tapi sebelum kata-kata berakhir, suara lonceng di pintu telah berbunyi. Mereka berhembus pergi tanpa pernah kembali untuk menagih penjelasan yang selalu disiapkan di sela-sela heningnya ruangan ini.

Lonceng sakti itu tak lagi berbunyi. Aku namakan lonceng sakti karena ia mampu membuatku bersemangat dan menjadi begitu tampan dengan senyum yang terbuka lebar. Bayangkan saat orang hilir mudik datang, saat itu pula lonceng itu berbunyi akibat gerakan pintu. Saat mereka menyapaku dan menanyakan bilik mana yang bisa digunakan. Saat mereka memohon bantuanku untuk menemukan kode daerah tertentu yang ditekan sebelum nomor telpon tujuan. Saat mereka memintaku untuk berbicara di awal percakapan, karena ayah pasangannya ternyata yang mengangkat telepon di seberang sana.

Ada kalanya aku sekejab menjadi seorang pastor yang mendengarkan pengakuan dosa umatnya. Dari bilik sana beberapa kali terdengar isak tangis dan janji kepada pasangannya di seberang kabel. Ada yang berjanji akan selalu setia dan tak akan mengulangi perbuatannya yang mungkin menyebabkan sang pasangan sudah sekian lama tak pernah mau menerima telponya. Atau pengakuan yang sebenar-benarnya dari seorang cowok pada kekasihnya tentang alasan tidak datangnya ia kemarin.

Terkadang aku ingin memiliki sayap dan menjadi seperti Cupid, sang dewa cinta. Memanah cinta, agar di bilik sana tak terlalu bertepuk sebelah tangan. Terkadang aku ingin menjadi Khalil Gibran, membagikan syair-syair cinta sebagai mantera, sehingga mulut kelu yang susah berucap mampu mengungkapkan perasaannya. Tak hanya sekedar pembicaraan yang ngalor ngidul hingga tak sadar uang di kantong kian mengering.

Aku selalu mengingat muka mereka. Muka si Awan yang seakan masih tertinggal di ujung percakapan dan untuk kesekian kalinya ia tak mampu mengungkapkan perasaannya. Mata si Inong yang selalu memerah seusai melepas rindu dengan ibunya sementara sejujurnya ia ingin hadir malam itu di sisi ibunya yang sekarat di rumah ditemani ayahnya yang tua di Banda Aceh. Dan mulut si Kinanti yang terus menggerutu ketika tak mendapatkan pacarnya di setiap nomor yang ditelponnya. Entah mengapa pacarnya selalu menghilang saat malam minggu.

Di ruangan ini, aku menemukan wajah Indonesia melalui nomor-nomor tujuan. Percakapan berbagai bahasa yang membuat ku mengenal arti berbagai sapaan saat menutup atau membuka percakapan. Aku mendengar tak hanya kata tapi juga gerak tubuh. Ketika menerima pembayaran, aku mendapatkan tak hanya uang tapi juga menemukan kabar Indonesia kecil di ruangan milikku ini.

Tapi kini semua itu telah berlalu. Tehnologi begitu cepat berkembang. Alat komunikasi bukan lagi barang langka dan mewah, kini bisa dimiliki dengan harga murah. Bahkan didukung oleh pulsa-pulsa murah yang tiap hari ditawarkan oleh para providernya.

Lihat, iklan mereka begitu marak di televisi maupun media koran. Bahkan tak tanggung-tanggung, mereka menjanjikan bonus atau gratisan yang menghebohkan. Kalau perusahaan besar seperti mereka sudah menawarkan bonus dan gratisan, bagaimana pula kelak nasib orang-orang seperti aku. Ahh.... akhirnya kami tergilas, padahal dulu kami pernah menyambungkan nusantara dengan modal yang tak sedikit. Menutupi kurang baiknya sarana telepon umum yang disediakan pemerintah.

Aku harus berubah usaha. Atau mengekor mereka-mereka yang menjual pulsa atau aksesoris ha-pe (handphone). Atau mungkin menjual perangkat ha-penya. Hal yang mudah sebenarnya untuk dilakukan, karena tak sesusah dulu saat membuka wartel yang harus memiliki perijinan dan modal yang besar. Aku mencoba merenunginya di ruangan kecil Indonesia yang kian lama kian sepi.

**************

Sudah beberapa hari ini Sanin tak datang, sudah hampir seminggu. Padahal sebenarnya akupun tak membutuhkan uang koin-koin itu sebagai alat tukar, karena kian lama tak lagi banyak yang memakai fasilitas wartelku. Sejujurnya uang koin yang selama ini aku terima, untuk ditukar, bukan untukku. Kebetulan Ci Melan, pemilik warung sembako tak jauh dari sinilah yang membutuhkannya. Aku sudah menyarankan pada Ci Melan untuk berhubungan langsung saja dengan Sanin, tapi Ci Melan takut melihat wajahnya yang sangar. Kata Ci Melan, tak bersuarapun si Sanin, angkot hingga truk-truk besar di pertigaan Mangunjaya tunduk pada arah tangannya.

Ke mana dia? Apakah mungkin rencana perkawinannya dipercepat oleh alasan sesuatu hal? Kalau batal, aku meragukannya. Pendapatannya sungguh memukau. Bayangkan setiap harinya ia mendaptkan uang receh sejumlah Rp.200.000,- hingga Rp.250.000,- sebagai polisi cepek yang mengatur pertigaan yang sangat ramai. Hilir mudik angkutan pribadi, angkutan umum hingga truk-truk besar milik belasan pabrik yang terletak di salah satu jalan di sebelah dalam. Semua tentu memakai jasanya untuk mengatur agar keramaian itu tak membawa kemacetan, karena pertigaan itu lumayan sempit.

Untuk uang yang sebegitu besar setiap harinya tentu tak sepenuhnya ia miliki. Ia akan membaginya pada petugas yang tak segan-segan menyapanya. Atau membelikan teman-temannya yang datang dengan sebungkus rokok atau kopi atau mie kuah. Dan yang mencengangkan durasi yang dilakoninya hanya dari jam 6 pagi hingga 10 siang. Dia telah mendapatkan uang sejumlah itu. Selebihnya yang lain menggantikan posisinya. Jam kerja milik Sanin tak bisa diganggu gugat, walau banyak meminta jam yang sama untuk beberapa hari. Sanin telah membuktikan kengototannya dengan meninggalkan bekas luka dikeningnya.

Ahhh... lima ratus meter lagi ia akan tampak. Dari dalam angkutan umum ini aku akan melihat ia berdiri dengan seragam yang dibelinya dari pasar. Seragam pengatur lalu lintas. Pelan-pelan antrian berjalan menuju arahnya. Dan aku melihatnya berdiri di sana. Di trotoar tengah pembatas jalan.

Dengan seragam hijau (yang menyala saat malam), aku melihat ia berdiri sigap. Tegak menatap sambil memberi hormat. Ujung telunjuk tangan kanannya menyentuh kening. Aku mengeluarkan kepalaku ke balik kaca, sambil memanggil namanya.

Aku yakin ia pasti mendengar. Tapi ia tak menyambut sapaku. Menolehpun tidak. Ia tetap setia dengan sikapnya. Memberi hormat kepada lampu lalu lalu lintas yang menyala. Aku baru sadar ternyata di pertigaan ini baru saja dipasang peralatan lampu lalu lintas.

Seseorang yang duduk di sampingku berucap lirih, "Bang Sanin tak percaya, kalau akhirnya mereka tega memasang lampu lalu lintas itu. Padahal sebelum semua itu ada ia tetap setia mengatur lalu lintas dengan baik, termasuk setoran yang rapi. Tapi.... oleh karena niatnya untuk menikah, ia menjadi stress berat. Malu dengan keluarga dan ribut dengan istrinya yang minta cerai."

Aku menatap tak percaya pada gadis itu. Juga tak percaya ada tuhan baru yang menggantikannya di pertigaan ini. Masih terngiang ucapan Sanin dulu,

"Bang, niat awalku tulus mengatur lalu lintas. Kalau akhirnya diberi recehan aku anggap sebagai rejeki. Aku tak pernah memaksa yang tak memberi. Aku berdiri di tengah persimpangan seperti tuhan yang mengatur lalu lintas hidup."

Nasib kita kini sama, oleh tehnologi kita kalah. Bedanya Samin menjadi gila oleh mimpinya berbini dua. Sanin lupa suatu hal, kalau ternyata tuhan tak boleh beristri dua.

15januari2011

Edi Sembiring

sumber ilustrasi : klik

No comments: