Monday 21 March 2011

Gerundelan

#1

Bentuknya petak, terbajak bagai sawah-sawah yang tengadah. Dan kerbau berlari mencampakan pak tani pada harga gabah yang tinggi. Sementara ibu-ibu menemukan kuping petani dalam sebungkus kecil beras kemasan 1 kilogram, nasinya bagai popcorn. Di tanak dan meledak. Asapnya berputar bagai goyang ngebor si penari yang tak lagi dililit ular, kini gurita telah memeluk pinggulnya dan ingin kembali ke rahim sebagai rahmat. Sudikah?

#2

Ketika mendung berjingkat turun menyapa bumi yang sekarat, kumpulan manusia malah bermain di awan. Kuda-kuda lumping yang melenggang di awang-awang bersama serpihan beling di mulut-mulut yang terucap. Langkahnya bukan maju mundur seperti gadis belia yang ragu-ragu menjual dirinya, sementara ponsel baru itu bagai nyawa yang ingin dirampas. Senyumnya tercetak di kening-kening pejalan yang antri di depan kotak hasutan. Dan disetiap jamnya akan keluar medusa menari-nari dengan kelamin yang menyapa-nyapa.

#3

Wacana bermain petak umpet, waktu berdiri pongah dalam kelompok hasutan. Yang berbicara kini kuping, karena yang bersaksi bukan lagi mata. Sedangkan mulut meraba-raba dalam gelap dan lidah menjadi tongkat yang menepis tabir. Semua sudah bersaksi, semua terperangkap dalam benang kusut untuk merenda perca-perca kain kafan dari potongan-potongan yang kita ambil dari kubur tak bernisan, dari korban penculikan, dari mata yang dipisahkan dari pemiliknya. Dan dari kubur anak sejarah yang rindu pada rahim ibunya. Kemudian kita memberi tanda tangan serta cap jempol darah. Berkalung ari-ari.

#4

Negeri kita tak sempit, luasnya tak lebih dari jalan bagi sang bayi keluar dari vagina. Selanjutnya Indonesia yang baru terhampar luas. Kita lupa membawa buku hidup, seperti manual book dalam setiap kemasan barang. Mungkin karena saat itu kita masih buta huruf, atau lupa bahwa hidup perlu baca. Bayi-bayi hanya punya tangis, karena mereka belum bisa membaca. Memahami bahwa tangis bukan lagi jalan keluar, karena tangisan kini sudah seperti lagu cengeng milik sang raja yang pintar menutupi kebodohannya dengan mencipta lagu. Dan bayi masihlah bodoh untuk mengubah nada tangis menjadi berbeda pada pinta-pinta yang berbeda. Raja bernyanyi dan bayi menangis. Bayi meminta Asi, sementara Raja berlomba memotong suburnya puting ibu pertiwi.

#5

Di rahim bayi tak menatap gelap, dia melihat langit dan awan. Itu sebabnya mereka suka dengan warna awan. Bayi-bayi lahir saat perjamuan kudus disiapkan. Mereka bersulang darah dan berbagi remahan milik kita. Memotong-motong nadi-nadi kita, selanjutnya disambung pada pipa-pipa menuju garasi mobil mereka masing-masing. Bersama ambulan mereka berteriak bagai sirene menyatakan kemanusiaan. Namun lampu sirene satu persatu membunuh burung-burung perdamaian yang terbang di atas kepala-kepala kita, hingga kita lupa membuat telur dadar. Dulu kita teratur makan, kini juga teratur untuk tak makan.

#6

Topengnya tak luntur oleh ludah mereka-mereka di depan rumah rakyat, tak juga berubah oleh tangis-tangis mereka yang menjual ginjal. Tetap dengan senyum tertarik, minta dikasihani, bagai dadu judi melempar wajahnya dengan telur busuk. Kena atau dipenjara. Namun kesemuanya terpenjara karena bidikan panah telah membungkam angin yang ciut untuk menghantarkannya. Dan atas nama kuasa, dia menyatakan ada kutu yang berbahaya di ayam-ayam petelur. Kelompok serangga kecil yang di duga sebagai pasukan haus koin-koin rakyat pada celengan ayam.

Dan kita ramai-ramai bernyanyi, "di sana tempat lahir beta, dibui dibesarkan bunda........"

No comments: