Thursday 31 March 2011

Pigura di Luar Penjara

Perupa kita memang terbiasa bekerja dengan bahan sejumput. Bertolak dari yang secuil, mereka mengarang-ngarang atau mengembangkan gubahan visual atau sensasi artistik untuk menggugah yang indrawi. Imajinasi personal kiranya adalah alat ampuh untuk itu.


Ya, imajinasi dan peristiwa diracik secara longgar, menurut "logika imajinasi" seniman. Simsalabim, maka lahirlah karyakarya seni rupa yang menampilkan gambaran tokoh dan teks (ber)sejarah. Inilah pameran "Dari Penjara ke Pigura", yang diikuti 30 perupa (Jakarta, Bandung, Yogya, dan Bali), untuk menandai pembukaan Galeri Salihara di Jakarta (17 Oktober6 Desember 2008).


Cuplikan teks dari para tokoh pejuang Republik pilihan kurator digunakan sebagai landasan untuk membuat karya. Menurut tim kurator, para perupa "memiliki cara yang lebih tak terbayangkan lagi dalam menerjemahkan teks pilihan mereka". Apa maksudnya? Imajinasi seni atau simulakrum yang diharapkan melampaui teks sejarah? Dengan cara bagaimana? Yang jelas, di tangan perupa, nukilan teks sejarah masih perlu dikembangluaskan atau digali lebih dalam, tak cukup hanya dialihrupakan, apalagi sekadar dikutip.
Namun, pada pameran ini, sebagian besar perupa ternyata hanya menggunakan medium yang jangkauannya justru "sudah dapat dibayangkan" sebelumnya: lukisan. Terlebih beberapa pe-rupa seakan hanya tertarik untuk mem-bayangkan atau mencitrakan tokoh.
Tokoh dan teks. Gambaran sosok, bersanding atau tumpangtindih dengan semboyan verbal atau renungan sang tokoh, mencolok ditampilkan di dalam pameran. Ketimbang pencarian segisegi yang lebih kaya rupa dari (sejarah) sang tokoh, pendekatan artistik seperti ini lebih terasa sebagai penyederhanaan. Dengan kata lain, teks sejarah yang multidimensi belum sungguhsungguh merupa.
Agus Suwage melukis raut wajah Tan Malaka, kecokelatan, bertumpuk dengan jajaran teks dari sosok revolusio-ner ini. Yuswantoro Adi membuat paro-di Soekarno dan Kartini cilik, diimbuhi katakata terkenal mereka, "Via Dolorosa" dan "Neen Stella!". Moelyono melukis-dengan efek piksel-profil Soekarno yang tampak bergelora ketika berpidato. Ada juga RA Kartini, potret sang guru bangsa yang dirindu-kan oleh perempuan cilik nun di Papua.
Agus Suwage melukis raut wajah Tan Malaka, kecokelatan, bertumpuk dengan
jajaran teks dari sosok revolusio-ner ini.
 Moelyono, Gaung Pidato

Nasirun menggubah sosok asketis Hatta, mirip profil wayang, berlatar citra pertapaan seorang begawan di gunung dalam rona keemasan. Kutip-an pada karya ini dipungut dari lirik lagu pop Iwan Fals tentang Hatta, yang "bernisan bangga, bertabur doa". Ada lagi Tan Malaka, yang di mata perupa ini adalah "tan kinira", tak terduga. Dialah tokoh sosialis yang fasih mengu-tip ayatayat suci AlQuran, kata Nasirun.
Nasirun menggubah sosok asketis Hatta
Tan Malaka, yang di mata Nasirun adalah "tan kinira"
Potret adalah cara untuk mengekalkan tokoh. Sang tokoh sudah telanjur menjadi simpul utama dari rangkaian peristiwa yang dianggap bermakna. "Cara tak terbayangkan" dalam menerjemahkan nukilan teks tentunya mungkin, sekiranya terpaut dengan penemuan "pengetahuan visual" yang baru di sekitar tokoh, dan menggubah kembali khazanah multidimensi semacam itu ke dalam perspektif karya.
Hampir semua tokoh pernah dijebloskan ke penjara di masa sebelum kemerdekaan. Ihwal itu ditandakan secara gamblang oleh tajuk pameran. Penjara semacam itu, sebagai fakta sejarah ataupun logika imajinasi, nyaris tak ada dalam kamus perupa. Andaikan ada perupa yang bersedia membentangkan imajinasi mereka, menjenguk jejakjejak sejarah di Sukamiskin, Cipinang, ataupun Digoel.... Berbekal kebenar-an faktual secuil teks, agaknya imajinasi perupa hanya berkembang di luar penjara, lalu melesat ke bentuk penjara yang lain, yakni pigura (lukisan). Se-akanakan dimensi tempat, waktu, khazanah barang, tulisan tangan, dokumentasi foto atau suara, misalnya, bukan bagian dari imajinasi.
Yang menafsir bebas lepas tampak pada Acep Zamzam Noor, Dadang Christanto, Diyanto, Eko Nugroho, Loranita Damayanti, S. Teddy D., atau Ugo Untoro untuk menyebut beberapa. S. Teddy D., misalnya, menampilkan tumpukan buku sebagai horizon kemerdekaan. Sosok yang dilukisnya tenggelam sekaligus merdeka menulis di antara timbunan kertas. Sebuah tangan merah dengan jarijari bercecabang bertiwikrama sebagai tangantangan lagi menyembul di antara tumpukan buku tebal, seperti Marx dan Madilog.
Tisna Sanjaya, dengan tiga lukisan bergaya neoekspresionistis, lebih bebas lagi menafsir. Ia melukis dengan aspal di atas kanvas, dengan semangat pasifis, antikekerasan, antiperang, dan slogan kemerdekaan kreatif untuk semua orang. Jerry Thung melukis dua pasang kepalan tangan berwarna putih untuk menunjukkan cengkeraman kekuasaan kolonial. Edo Pillu menyejajarkan debus dan Tan Malaka, keduanya adalah "antikolonial", dalam konteks yang berbeda. Yang pertama lokal, spiritual; yang kedua giat bergulat dalam rasionalitas dan kemodernan.
Sejarah belum merupa? Seni rupa, oleh keluasan perspektif material dan keberbagaian khazanah mediumnya, tentunya memungkinkan perupa membuat rekonstruksi tilas atau barang. S. Malela Mahargasarie menampilkan sofa rotan yang jebol di depan lukisan besarnya, tiga serangkai Soekarno, -Hatta, dan Sjahrir dari foto IPPHOS, 1946. Ia membubuhkan latar kembang setaman pada lukisan dan menebar tumpukan jerami antara lukisan dan sofa tua itu. Nus Salomo membuat -obyekobyek yang digantung, serupa kantong lebah yang berpendar. Ia meng-gubah pesan, tepatnya pertanyaan, tentang amanat utama para pahlawan yang perlu ditetaskan.

“Kesaksian I” oleh  S. Malela Mahargasari di Galeri Komunitas Salihara

S. Malela Mahargasarie melukis tiga serangkai Soekarno, Hatta, dan Sjahrir dari foto IPPHOS, 1946

Kesaksian II oleh S. Malela Mahargasarie
Mella Jaarsma membuat obyek-obyek bendera dari seragam pejuang kemerdekaan yang konon dicelup dengan larutan daun mangga untuk memperoleh nuansa hijau militer. Menyusuri kebenaran ihwal itu, Mella bertanya ke sanakemari. Jawabnya: warna hijau mustahil didapat melalui cara itu. Maka lahirlah benderabendera yang luntur, berupa celana dan bajubaju para pejuang. Karya ini dilengkapi dengan sebuah tayangan video tentang percobaan mencelup baju, diiringi musik dari sebuah grup yang populer di Belanda. Apakah sejarah adalah mitos? tanya Mella.
Pameran ini mungkin juga sebuah upaya memberi bobot pada karya seni rupa kontemporer kita. Bukankah para perupa kontemporer selama ini seakanakan hanya berkutat dengan teksteks "sepele" dan melulu personal. Sementara sastra kadang boleh disebut sebagai "sejarah alternatif", tidakkah karya seni rupa pun berpeluang menjadi "sejarah yang merupa"? Sayang, pameran ini belum menunjukkan tandatanda ke arah itu. Yang baru terasa adalah bobot ilustratif dari nukilan teks sejarah yang ada. Sementara para tokoh pilihan sanggup melampaui keterbatasan cakrawala dalam penjara, para perupa rupanya masih terjebak dalam tafsir dua dimensi sebuah pigura. Memang mustahil mendorong imajinasi yang "tak terbayangkan" hanya dengan nukilan teks.

Hendro Wiyanto, pengamat seni rupa


Lukisan-lukisan di atas bersumber dari : laman Komunitas Salihara dan berikutnya di bawah ini beberapa lukisan lainnya yang ikut dipamerkan pada pameran "Dari Penjara ke Pigura", yang diikuti oleh 30 perupa (Jakarta, Bandung, Yogya, dan Bali), untuk menandai pembukaan Galeri Salihara di Jakarta (17 Oktober6 Desember 2008).


“No Title” oleh Hanafi yang dipajang di Galeri Komunitas Salihara. Tulisan yang tertera adalah :
Aku sudah dua kali masuk penjara penjajah belanda. selama itu nasib yang ku alami biasa saja. Artinya masuk penjara ya masuk, sampai waktu yang ditentukan keluar. selama dalam penjara diharuskan bekerja. Titik! Tetapi di penjara Jepang jauh berbeda.
Aku melihat, suamiku pun melelehkan air mata. baru kali itulah Aku melihat dia menangis. Apa sebabnya?
Tentu jawabnya kureka-reka sendiri. mungkin dia memikirkan anaknya bayi yang baru berumur dua bulan. Andai kata Aku mati dan dia pun mati karena disiksa, tentunya bayi ini keumngkinan matinya lebih besar. Karena sebelum Aku ditangkap oleh Jepang, rumahku sudah dijaga oleh resisir (?) 8 orang. Kami tidak boleh keluar masuk dan tidak boleh menerima tamu.
(S.K. Trimurti)
“Kami Ingin” oleh Hanafi, berisikan kata-kata yang ada di dalam
surat Stella ke Kartini di Galeri Komunitas Salihara
“Red, green, blue (Debus II Tan Malaka)”
oleh  Edo Pillu di Galeri Komunitas Salihara
“Mitos atau Tidak (Bendera Baju),
karya instalasi Mella Jaarsma di Galeri Komunitas Salihara
merdeka oleh Djoko Pekik


massa actie oleh Heri Dono
padamu negeri oleh Mangu Putra

1 comment:

Patta Hindi Asis said...

seni memang tidak pernah berkehenti berproduksi...inspiratis mas

salam hangat