Wednesday 23 March 2011

Melawan Lupa, Melawan Rezim Tunasejarah


Melawan Lupa (sumber gambar : dapunta.com)
”Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa, mudah saja. Hancurkan arsipnya!” (Milan Kundera)
Bayangkan, kerja keras yang dilakukan oleh HB Jassin kini dipandang sebelah mata oleh pemerintah yang melupa. Tak usah berharap pemerintah mampu untuk mendirikan pusat dokumentasi yang setekun HB Jasssin sepanjang hayatnya, sedangkan yang sudah ada saja dibiarkan hingga menjadi bubur kertas. Hancur bersama sejarah anak bangsa ini yang sebenarnya sangat berguna bagi kini dan masa mendatang tentunya.


Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tak cermat dalam mengucurkan dananya. Pos-pos anggaran yang tidak strategis mendapatkan anggaran yang cukup besar. Sedangkan pos-pos penting justru terabaikan, dan bahkan terancam tertutup seperti yang melanda Pusat Dokumentasi Sejarah (PDS) HB Jassin. Untuk tahun 2011 ini PDS HB Jassin hanya dianggarkan bantuan sebesar Rp50 juta.
Petugas membawa arsip-arsip di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di Jakarta, Senin (21/3/2011)
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di tahun 2011 ini mengalokasikan dana sebesar Rp.924 miliar lebih kepada berbagai yayasan atau ormas. Nama-nama ini merupakan usulan dari pihak eksekutif yang kemudian dibahas dan direvisi oleh pihak DPRD. Dari tulisan di Kompas 23 Maret 20011, untuk organisasi Alex Asmasubrata Manajemen, misalnya, dianggarkan Rp. 2 Milyar. Lembaga Seni Qasidah Indonesia (Lasqi) mendapat Rp. 1 Milyar, Wahana Lingkungan HIdup (Walhi) Rp.300 juta. Adapun PDS HB Jassin hanya mendapatkan dana sebesar RP. 50 juta, jangankan untuk biaya mengasapi buku-buku yang ada, menggaji pegawainya saja pasti tak cukup. Entah atas dasar apa, perhitungan dana ini diberikan tanpa memperhatikan kelayakan besaran pemberian itu.

Hari ini dan esok hanya bisa didengar ucapan bahwa mereka lupa dan terus menerus lupa. Tak sadarkah mereka bahwa kegiatan pengarsipan adalah sebuah tindakan melawan lupa. Tak sadarkah mereka bahwa pekerjaan pengarsipan adalah sebuah kerja sunyi yang tak perlu puja dan puji. Hanya berharap sebuah generasi besar akan tumbuh dan tersadarkan kelak bila mereka mau belajar pada sejarah, itupun kalau sejarah tak hilang dan dimakan rayap. Benar apa dikata Milan Kundera, pengarang Ceko,
"Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa, mudah saja. Hancurkan arsipnya."

Dan seperti dikatakan oleh Muhidin M Dahlan (Iboekoe), pemerintah saat ini adalah Rezim Tunasejarah, ditandai dengan ciri-ciri antara lain, lekas lupa, tak memiliki lembaga arsip yang dinamis dengan pengelolaan yang kreatif, dan mereka yang bergiat di dunia dokumentasi menjadi anak tiri dalam semua profesi.

Sementara Rezim yang berpikir historis justru akan memahami arsip sebagai memori kolektif, tempat berlaku kesepakatan institusional yang saling berkait antara ruang/geografi dan waktu/sejarah. Lantaran itu, arsip bukan benda mati. Arsip adalah bagian dari kehidupan dengan cara terus-menerus dirawat melalui tafsiran untuk kehidupan yang akan datang, bersandar pada kepentingan-kepentingan masa kini dengan tolok ukur peristiwa yang sudah-sudah.

Rezim Tunasejarah ini harus belajar pada HB Jassin. Liat saja arsip sinema di Sinematek yang kian hari kian kacau. Di Solo, arsip pers juga tak terurus, padahal umurnya sudah seabad.

Kita berharap rezim ini tak boleh lupa pada apa yang sudah ada untuk diperbaiki pengarsipannya atau justru memang sudah berniat untuk menghasilkan generasi yang tercerabut dari sejarahnya. Mari Lawan Lupa!!!


Berikut ini sebuah tulisan sebagai Oase pencerahan :

Gerakan Melawan Rezim Tunasejarah
oleh Muhidin M Dahlan

Kasus dicabutnya perlahan-lahan infus hidup Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin bukan soal mengagetkan bagi rezim tunasejarah.

Jangankan berharap mereka mendirikan pusat dokumentasi seideal yang dikerjakan manusia tekun seperti HB Jassin sepanjang hayat, yang sudah ada pun akan mereka jadikan bubur kertas.

Tak banyak pusat dokumentasi sekhusus PDS HB Jassin di Jakarta. Di dunia sinema ada Sinematek, yang hidupnya makin hari makin rudin. Sementara itu, di bidang seni rupa, pemerintah sama sekali tidak hadir.

Di bidang pers, pemerintah hadir di Solo. Jangan bayangkan pusat dokumentasi ini mirip Newseum di Washington DC, Amerika Serikat, yang jadi salah satu wisata dokumentasi pers dunia. Di Solo, melihat dokumentasi dan penataan arsip pers Indonesia yang usianya sudah seabad lebih, peneliti yang tekun sekalipun akan mempertimbangkan berkali-kali untuk hadir kali kedua di gedung itu.

Ciri-ciri rezim tunasejarah, antara lain, lekas lupa, tak memiliki lembaga arsip yang dinamis dengan pengelolaan yang kreatif, dan mereka yang bergiat di dunia dokumentasi menjadi anak tiri dalam semua profesi.

Ciri lekas lupa mudah kita lacak ketika sekelompok pemuka agama mengajukan 18 arsip lisan tentang kebohongan rezim tunasejarah ini dalam tiga tahun belakangan. Responsnya? Kalang kabut. Lupa. Ketimbang membuka dokumen ucapan-ucapan mereka sendiri (maaf, tak ada Pusat Dokumentasi Presiden Indonesia), mereka malah menyerang balik mirip orang mabuk.

Bagi rezim tunasejarah, lebih istimewa mendirikan pusat-pusat kesenangan—mal dan industri hiburan—ketimbang pusat pembelajaran sejarah yang kreatif. Memang ada ”taman pintar” di mana-mana, tetapi itu hanya proyek citrawi rezim. Itu pun dananya disumbang Jepang.

Alergi terhadap dunia arsip tampak dalam canda serius para amtenar rezim tunasejarah. Jika seorang amtenar ”diarsipkan”, dipekerjakan di kantor arsip seperti Arsip Nasional Republik Indonesia, berarti karier kepegawaiannya mentok. Mengapa demikian? Djoko Utomo, sang kepala ANRI (2008), mengatakan bahwa koleganya pada rezim tunasejarah itu masih menganggap arsip seolah-olah barang rongsokan, berupa kertas usang.

Pantas kemudian dunia arsip kita tak mengikuti gerak zaman. Jangan bayangkan pusat dokumentasi yang dikelola rezim tunasejarah ini mengarsipkan dengan serius catatan blog, status Facebook, atau kicauan yang muncul di Twitter sebagaimana dilakukan Library of Congress sejak 2000. Gudang arsip digital LOC telah menampung data sebesar 167 terabita.

Berpikir historis

Rezim yang berpikir historis akan memahami arsip sebagai memori kolektif, tempat berlaku kesepakatan institusional yang saling berkait antara ruang/geografi dan waktu/sejarah. Lantaran itu, arsip bukan benda mati.

Arsip bagian dari kehidupan dengan cara terus-menerus dirawat melalui tafsiran untuk kehidupan yang akan datang, bersandar pada kepentingan-kepentingan masa kini dengan tolok ukur peristiwa yang sudah-sudah.

Bagaimana menghidupkan sebuah arsip sebagai bagian organis bagi kenyataan? Rahzen (2010) menghadirkan sosok Dang Hyang Nirartha, pedanda (pendeta) yang berasal dari Kerajaan Daha dan pendiri Pura Uluwatu di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali.

Tokoh ini memiliki pandangan unik yang bisa kita rujuk untuk melihat bagaimana arsip sebagai organisme yang hidup. Dang Hyang Nirartha memiliki trikonsep: masa, yasa, basa. Ketiganya mata rantai yang tak bisa dipisahkan satu dan lainnya.

Masa atau waktu, zaman, dan kurun adalah sejarah yang berlangsung setiap waktu. Untuk mengikat dan menandai kurun dalam pergerakan sejarah, kehidupan membutuhkan ruang. Ruang itu dinamakan yasa, yang mewujud dalam bentuk monumen, patung, arsip.

Bagaimana menghidupkan dan mengontekstualisasikan jalannya masa dan konstruk material yasa itu? Kehidupan membutuhkan apa yang disebut basa atau bahasa. Basa adalah medium menafsirkan mengalirnya masa dalam tonggak-tonggak yasa. Di sini basa bisa kita sebut sebagai paradigma.

Sebagai paradigma, arsip kemudian bisa jadi gerakan bersama yang memungkinkan berdiri dan kukuhnya sebuah bangsa. Karena itu, pengarang Ceko, Milan Kundera, dengan yakin mengatakan, ”Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa, mudah saja. Hancurkan arsipnya!”

Apa yang dilakukan sekelompok anak muda di Twitter dan Facebook saat ini untuk menyelamatkan PDS HB Jassin kita sebut saja ”Gerakan Nirartha”. Gerakan ini menolak bala penghancuran nalar dan manipulasi sejarah (literasi), khususnya kontinuitas hidup sastra Indonesia modern, yang dilakukan rezim tunasejarah.

Muhidin M Dahlan Kerani di Indonesia Buku (Iboekoe), Tinggal di Yogyakarta
sumber :  Kompas

1 comment:

i-one said...

sungguh postingan yang menarik,dan layak untuk dibaca.salam kenal,klu ada waktu kunjungi blog ane ya