Saturday 13 July 2002

Pagi Juga Berarti Keragu-raguan

Arakan asap putih itu memaksaku merapatkan kedua lengan ke dada. Padahal bau hangat matahari telah tercium dari tadi di timur laut dan cahanya mulai menelanjangi bumi. Itu bukan asap sang penikmat tembaku atau lolongan kereta api pagi. Pagi adalah saat waktu harus berawal dan gelap lari ke barat. Ada aroma kebangkitan, aroma penantian dan aroma perhentian.

“Pagi juga berarti keragu-raguan.” Lelaki dengan uban yang dipelihara itu menyadarkan lamunanku. Sorotan matanya menerobos aliran yang berputar di otakku. Tak sadar tubuh tua itu telah lama bersandar di kursi ini dan getaran kaki kirinya bukanlah usilnya tusukan dingin pagi. Mungkin syaraf tuanya tidak bisa diajak kompromi. 

“Kereta api terlambat seperti biasanya. Dan perhentian pagi ini membawa segerbong kerinduan. Penantian yang telah lama kutunggu, bertahun-tahun.” Senyum di pipi yang hitam memandang ke arah datangnya para pengais pagi. Penjual makanan, tukang becak, ojek,dan penjaja koran dengan beritanya yang sudah basi. 

“Menantikan anak?” tanyaku, walau sedikit terusik oleh getar kaki kirinya di kursi panjang ini. 

“Putriku satu-satunya. Kedua abangnya pergi menuju Gusti Allah. Pagi hari delapan tahun lalu diculik dan dihabisi. Guru pesantren yang dituduh dalang terbakarnya kebun tebu. Mereka bilang api itu bukan milik tentara, yang mereka miliki senjata api..” Tak ada tersirat rasa sedih dimukanya. Guratan tua itu menelan kerasnya kenyataan hidup yang disimpannnya. Tiada niat bertanya lagi, kenangan itu mungkin terlalu berat baginya.

“Yang ini kesayangan Mboknya. Kerasnya desa mengeraskan niatnya ke kota, ke Jakarta. Sudah dua belas tahun tak kembali, mungkin usianya sudah 30 tahun. Kuliah dan jadi kuli tinta. Dan dua belas tahun pula tak selembar uang kukirim. Dia pergi ditelan pagi tanpa aku tau alamatnya. Dari surat-suratnya ku tahu dia bekerja di percetakan koran bersama temannya, dan syukurlah bisa kuliah.” Tawaran panganan dari penjaja itu menghentikannya. Tanpa tanggapan sang penjaja berlalu sambil ngedumel

“Anak yang mandiri dan keras hati,” kataku. Terbayang oleh ku teman wanitaku di kamar petak di sebuah gang, tak hentinya menagih uang membeli lipstik, celana dalam yang katanya sudah bolong dan robek karena ulahku. 

“Kiriman kabar dan uangnya tak bisa menghiburku. Dalam 6 tahun terakhir ini, sudah banyak negara yang dikunjunginya. Cantiknya pakaian di Perancis, indahnya tanah penjajah para Londo, negerinya Abah Aliong si tukang beras di Tiongkok, entah apa lagi. Katanya banyak berita yang bisa dicari biar mata kita celik. Nggak hanya bangga dijuluki punya negeri makmur, subur, tapi nggak mampu ngolah, miskin.”

Cerita yang mengalir bagai ejekan buatku. Kebanggan jadi mahasiswa membuatku tetap bertahan di tahun ke sembilan. Mungkin cita-cita kanakku dulu mahasiswa. Kiriman yang tak pernah cukup apalagi dibagi dua dengan siluman itu. Setan! 

Asap putih itu sedikit mengganggu. Bukan embun atau asap rokok daun jagung. Si kepala hitam dengan deretan pengikutnya dengan pongahnya menjerit penuh penat. Seperti ada tenaga udara pagi menahan laju dari kecepatan awalnya. Dan ritme gerit roda pada sambungan rel yang melambat semakin mempercepat keraguanku. Kepergianku pagi ini, seperti embun yang mengering. Tinggalkan keegoisan bapakku di desa ini, kembali ke kehidupanku di kota. 

Si bapak tua itu menghampiri pintu gerbong. Aku masih duduk disini mengamati manusia pagi. Dari kusamnyanya kaca jendela, cahaya lampu menyirami wajah-wajah penumpang. Ada yang tersenyum di kantuk yang belum menghilang. Ada yang resah memikirkan perjalanan berikutnya. Satu persatu turun dan si Bapak hanya tersenyum di tepi pintu.

Sang Masinis menyapanya seakan sudah kenal lama. Diajaknya menuju gerbong yang lain. Dan enam orang menyambutnya seakan sebuah pengawalan agung. Senyum itu masih terkembang ketika enam orang itu mengawal dan membawa anak gadisnya. Bapak itu menyambut dengan senyum pada anaknya, pada putrinya, pada peti itu. Kerinduan yang menggumpal dibaluti dengan ketabahan. Tiada tangis di muka tua itu. Hanya getar di kaki kiri tuanya. 

Iringan berlalu dan si bapak tua berjalan sambil mengelus peti itu.

Pagi adalah saat waktu bermula ada aroma kebangkitan, aroma penantian dan perhentian. “Pagi juga berarti keragu raguan...” kata bapak itu sejam yang lalu.

Ibu aku ingin pulang!

No comments: