Monday 29 July 2002

Pada Recehan

"Pelangi-pelangi alangkah indahmu, merah kuning hijau dilangit yang biru. Pelukis mu sakti siapa gerangan. Pelangi-pelangi jelmaan ORBA"

Aku selalu geleng-geleng kepala mendengarkan suara itu. Cempreng dengan nada minor, irama kecrekan menyertai.

"Permisi pak, bu, kak, bang." Tangannya menjulur. Kecil dan dekil, dengan kantongan platik permen.

Uang logamku berdenting di dalamnya. Lampu hijau memaksa meninggalkannya.

*************

Dicari:
Untuk posisi Management Trainee
Syarat : S1 segala jurusan, mampu bekerja keras, berjiwa pemenang, pengalaman tak dibutuhkan, bersemangat dalam tekanan, mampu menyenangkan atasan, mempunyai lidah yang berair.
PO BOX. 1234 JKT

"Shit !"

Dibutuhkan segera :
Mechanical Engineering
Syarat : S1 T. Mesin, usia min. 30 tahun, pengalaman 7 tahun, menguasai bahasa Inggris lebih disukai yang menguasai bahasa Mandarin, mampu menghadapi cobaan, halangan, gangguan dan rintangan baik dari dalam maupun dari luar.
PO. BOX 1996.

"Gila, gimana bisa pengalaman, kalau belum pernah diberi kesempatan dan sepertinya terlalu patuh pada GBHN."

Anda yang kami cari :
Sales Executive
Pria/Wanita dengan pendidikan minimum S1, semua jurusan, IPK minimum 2,8, pengalaman tidak diperlukan. Disukai yang menguasai bidang pemasaran, mampu menarik konsumen dan dapat memperdayanya.
PO. BOX 666 STN

"Masih juga kau berkutat dengan segala lamaran itu?"

"Coba yang lebih baik lae. Ijasahku entar habis dimakan rayap," ucap Sanggam membela diri

"Coba kau tiru aku, ijasahku tak kuambil. Kusimpan di kantor Dekan, biar dia yang jaga," Lae Marbun mengejekku.

"Apa kabar dengan gembala manusia?" goda Sanggam

Sepertinya dia gerah dengan ucapanku. Dihentikannya ketikan pada mesin ketik usangnya. "Baik, terima kasih atas perhatiannya." Diisapnya dalam-dalam rokok murahan itu.

"Beberapa hari ini, ada banyak pengamen yang aku jumpai di perempatan lampu merah. Itu salah satu objek mu?" Aku meminum sedikit kopi dari gelasnya. Mungkin ia lagi tak punya uang, tak terasa ada gulanya.

"Jangan kau katakan objek. Justru kau yang jadi objek penderita majikanmu. Aku masih coba cari funding, kontrakan rumah ini juga tinggal 3 minggu lagi." Lae Marbun coba serius. Keningnya berkerut menggusur letak kaca mata pantat botolnya.

"Kapan bisa kau buat mereka bermusik yang lebih beradab? Tutup botol hanyalah sampah. Itu pula yang dipungut buat krecekan."

"Manalah aku punya uang buat itu. Cukup aku ajarkan mereka lagu-lagu yang lebih variatif. Dan tingkah mereka juga lebih sopan, lebih baik dari begundal-begundal pemeras itu," kata lae Marbun.

Lae Marbun pernah cerita dulu, kalau anak-anak pengamen itu sering menjadi korban pemerasan. Dasar orang Batak, ia sempat beberapa kali terlibat perkelahian dengan bajingan-bajingan itu. Sepertinya tato yang menjadi hiasan tubuh mereka tak menggetarkannya. Untungnya aku dan beberapa teman yang mangkal di depan Hero melihat kejadian itu, kalau tidak aku berbicara dengan hantunya.

"Kebahagian mereka itulah mimpiku. Ingat yang dikatakan Einstein, ilmu eksaknya sering kau pakai. Dia bilang, jangan pernah berharap menjadi orang sukses, jadilah orang yang berharga bagi orang lain. Siapa yang masih mau memelihara mereka? Pemerintah sibuk mencetak uang kertasnya."

Sepertinya obrolan mereka bagai orang yang bertengkar. Kasar dan kuat. Seharusnya dua orang batak berkumpul itu bermain catur. Kalau satu jadi pengacara. Kalau tiga main kartu. Kalau empat ya berantam. Lalau lima, mungkin revolusi. Hahaha.....

*******************

Kali ini Sanggam masih menanti mereka. Angkutan K02 nya ngetem seperti biasa di depan Hero. Angin malam menyengat tulang. Dadanya yang kurus makin menunjukan ruas-ruasnya, rokok masih di bibir yang hitam. Mungkin mereka telah pulang, setelah kelelahan bernyanyi atau krecekannya sudah lelah.

Sanggam teringat percakapan kemarin di dalam perjalanan.

"Otong tadi kemana? Emak cari kok nggak mangkal di stadion?" tanya wanita tua itu sambil mendudukkan anaknya yang balita di pangkuan.

"Otong ke rumah Ujang. Ia ulang tahun, ibunya beri kami singkong rebus. Aku mau bawa pulang untuk emak, tapi malu," jawab Otong sambil menyeka ingusnya yang berlomba turun naik. Kuning cair agak kehijauan, ada yang mengering di sudut hidungnya.

"Enak ya Tong, mana lebih enak dari punya emak?"

"Enakkan dia dong mak. Emak sih, nggak pernah beri garam. Hhukk...hhukuukk.." Batuknya sedikit mengganggu.

"Mana krecekan mu? Itukan bukan milikmu? Hilang ya? Entar nggak ada yang mau beri kita recehan kalau nggak ada musiknya," ibunya menyeka ingus si Otong dengan ujung kain gendongan.

"Ketinggalan di rumah Ujang. Ini aku pinjam punya si Udin, dia lagi sakit. Emak tadi mangkal di mana? Adik nggak rewelkan?" tanya Otong sambil menyeka sisa ingusnya dengan tangan. Tanganya menutup mulut, ketika ia menguap.

"Di perempatan masuk Tol Bekasi Barat. Tapi nggak banyak yang melemparkan recehan. Sepertinya mereka lebih tertarik membeli koran, berita demo dan pembunuhan lebih menghibur. Apalagi gambar wanita berdada bengkak," gerutu ibunya, pada kalimat terakhir ia mengucap pelan. Membayangkan si Asep panen dagangan koran murahannya.

Otong menggoda adiknya yang semakin hitam terbakar matahari, mukanya cukup memelaskan orang. Sunguh susah mencari muka-muka yang memelas seperti mereka. Salon kecantikan manapun tak kan mampu. Semakin memelas semakin baik, cukup mendatangkan hujan recehan. Apa lagi kalau si adik mampu menangis keras.

Pernah si Otong bermimpi, kota ini dijatuhi hujan recehan. Anak-anak jalanan bernyanyi pada malam dan bulan. Bulan tersenyum, langit hitam terbakar.

"Oh bulan, oh bulan, alangkah indahmu, sinar putihmu di langit yang hitam. Pelukismu agung siapa gerangan. Oh bulan oh bulan beri kami recehan." Nyanyian keluar dari mulut-mulut kecil menganga menengadah.

Dan bulan pun beri hujan recehan. Bekasi banjir recehan. Jakarta juga banjir recehan. Yang tinggal di rumah gedongan pada sembunyi takut pada recehan. Mereka takut tetanusan atau benjol karenanya. Hanya anak-anak jalanan yang lari ke luar. Suara nyanyi mereka semakin kuat. Mereka tak takut, karena mereka sudah biasa melihat recehan di lempar.

***********

Sanggam masih menunggu. Sanggam merasa mereka tak kan tampak malam ini. Angkotnya sudah terisi penuh, penumpangnya menggerutu melihatnya melamun.

Sepertinya mata mereka telah lelah, otak mereka telah dipecut seharian. Tak ada lagi keringat mereka, karena sudah habis menjadi minuman malam para majikan.

Hanya sesekali terdengar seseorang yang membalas teleponnya, "Aku dalam perjalanan. Malam ini aku milikmu Mas."

Di perempatan stadion lampu merah menyala di kegelapan pukul 10 malam. Sanggam masih mencari jejak mereka, suara cempreng dan lugu. Ada rasa kagen pada sebuah keajaiban dari mereka yang bertahan hidup. Ibuku bilang, kepergianku ke Jakarta hanya untuk bertahan hidup bukan untuk hidup. Jakarta bukan untuk kita, itu milik robot-robot.

Di sudut tikungan yang berbelok ke kanan dekat semak-semak stasion kereta api, setelah lampu menyala hijau ku dapati tiga mahluk bergumul. Bukan sundal yang melaksanakan tugas, atau waria yang tidak tahan lagi untuk berahi. Dua mahluk menindih dan memijak perut yang terbujur di tanah. Pisau belati menyala tajam dari pantulan sinar mobil.

Sanggam menghentikan angkutannya, berlari keluar dan menghardik mereka.

"Bangsat! Mau kau apakan dia!"

Mereka terkejut dan berlari jauh, secepatnya. Langkah Sanggam tak bisa lampaui mereka, menghilang di belakang gerbong-gerbong gandengan kereta api yang terparkir. Dan dia teringat dengan yang terbujur di tanah. Tak satupun penumpang turun, hanya menatap dari jendela.

Sanggam mendapatinya meronta, kakinya menendang, perutnya berdarah, nafasnya satu-satu. Tersenggal dan darah mengalir dari mulutnya. Di perut yang koyak darah terpompa, mengalir bebas. Tak ada tangis, hanya nafas yang bergetar. Tak ada suara memohon, sebab sakit tak tertahankan lagi. Tak ada tatapan sebab perih tak mampu terlihat lagi. Tak ada nyanyi dan tawa sebab nyawa tak jadi miliknya lagi. Tak ada lagi permintaan recehan, sebab di surga Tuhan punya banyak uang recehan.

Aku hanya bisa membayangkan bungkusan yang aku persiapkan tadi. Seplastik kecil uang recehan, obat batuk pilek murahan, nasi goreng dan sedikit garam. Buat Otong dan ibunya.

No comments: