Sunday 5 December 2010

Warisan Bung Karno

12911132161050582962
JAKARTA, SAMBUT SOEKARNO. Presiden RIS Ir. Soekarno memberikan orasi di tangga Istana Kepresidenan setiba di Jakarta dari Jogja. FOTO ANTARA/IPPHOSS/hm

Mengingat Bung Karno tidaklah susah, bagi kaum muda Bung Karno sudah pasti diingat sebagai pendiri republik ini bersama-sama dengan Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan tokoh-tokoh lainnya. Proklamasi menjadi tonggak berdirinya negara ini.

Beberapa kaum muda juga pasti mengetahui beberapa kata-kata yang keluar dari mulutnya di antara pidato-pidatonya. Walau mungkin tak banyak tahu tentang isi pidato-pidato dan sejarah perjalanannya, tapi pasti mengingat beberapa kalimat-kalimat inspiratif darinya seperti :

"Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncang dunia"

Atau pernah juga dikatakannya : "Berikan aku 1000 anak muda maka aku akan memindahkan gunung tapi berikan aku 10 pemuda yg cinta akan tanah air maka aku akan menguncang dunia."

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya." (Pidato Hari Pahlawan 10 Nop.1961).

Mungkin juga ada yang lebih jauh lagi mengingat kalimat-kalimat berikut ini :

"Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali ". (Pidato HUT Proklamasi, 1949 Soekarno).

"Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi Gitamu : "Innallahu la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim". " Tuhan tidak merobah nasibnya sesuatu bangsa sebelum bangsa itu merobah nasibnya" (Pidato HUT Proklamasi, 1964 Bung Karno).

"Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang." (Pidato HUT Proklamasi 1966, Soekarno).

"Apakah Kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong" (Pidato HUT Proklamasi, 1966 Bung Karno).

"Aku Lebih suka lukisan Samodra yang bergelombangnya memukul, mengebu-gebu, dari pada lukisan sawah yang adem ayem tentrem, "Kadyo siniram wayu sewindu lawase" (Pidato HUT Proklamasi 1964 Bung Karno).

Hal lain yang lebih mudah mengingat Bung Karno adalah dari foto-foto hitam putih yang bertebar baik di media cetak maupun elektronik. Bersyukurlah kita, bahwa ternyata hal ini tak terduga sebelumnya. Semua ini bermula dari sifar kekenesan Bung Karno.

Wartawan senior Jakob Oetama pernah berkata tentang Bung Karno, "Kekenesan pribadinya berperanan." Bung Karno tak saja menyihir banyak orang yang menunggu suaranya yang menggelegar saat berpidato, namun juga menyihir banyak fotografer. Mulai dari para tukang potret tak bernama di awal abad silam.

Mata-mata lensa itu selalu mencari wajahnya, dan Bung Karno tahu harus bagaimana bersikap. Senyum dan mimiknya berada pada suasana yang tepat, seperti juga gerak tubuhnya yang lain. Bung Karno hafal luar kepala apa yang dibutuhkan oleh para fotografer. Tanpa perlu diarahkan, Bung Karno akan memberikan mereka lebih dari sekedar foto.

Bayangkan, foto itu tak hanya bisa bercerita tentang apa yang terjadi, apa yang diucapkan Bung Karno pada pidatonya namun juga layak dicetak sebagai poster ukuran raksasa dan pada akhirnya mampu menghipnotis massa yang melihatnya. Orang-orang akan langsung jatuh "cinta" dan mengenangnya.

Itulah kekuatan lain Bung Karno, pose dan gerak-geriknya yang terus dikejar-kejar oleh fotografer. Kalaupun ada yang berubah hanyalah aksesorisnya, seperti tongkat komando, kacamata hitam dan lainnya.

Hal yang sangat berbeda dengan pemimpin-pemimpin negara lain. Kalau para gubernur jenderal Hindia Belanda biasa memboyong rombongan fotografer, termasuk menyediakan fasilitas kamar gelap di atas kapal api yang membawa mereka keliling Nusantara, tapi tak satu pun yang bisa menandingi aksi dan gaya Sukarno yang begitu alamiah.
12911127431185987843
Soekarno tahanan rumah (http://www.beeldbank.nationaalarchief.nl/)
Begitu juga dengan halnya Kennedy yang baru dikerubungi para fotografer Magnum, di awal tahun 1960-an, sementara Bung Karno sepanjang hidupnya selalu diincar oleh fotografer. Bahkan hingga akhir hayatnya, saat jasadnya terbujur kaku di Wisma Yaso, Jakarta, para fotografer masih berebut memotret wajahnya dari jarak begitu dekat. Walau sempat ada kemarahan dari Ratna Sari Dewi yang berkata "Kameraman jangan terlalu dekat. Jangan kurang ajar. Hormati Bapak."

Kemarahan ini terasa wajar, karena Ratna Sari Dewi baru mengenal dunia Soekarno yang selalu dikelilingi wartawan dan fotografer. Berbeda dengan anggota keluarga Bung Karno lainnya yang mengenal apa maunya si bapak. Bung Karno selalu ingin diiringi fotografer pada setiap kegiatannya. Dan untuk saat terakhir di hidupnya ini, Bung Karno sangat sadar para fotografer itu datang ingin memberi penghormatan terakhir kalinya dengan mengabadikan dirinya yang tanpa senyum lagi. Kepahitan yang diterima di sisa hidupnya di negeri yang dimerdekakan oleh kerja keras.

Kisah di Balik Foto

Kedekatan Bung Karno dengan para wartawan dan fotografer digambarkan oleh R.M. Soeharto (pensiunan juru kamera Berita Film Indonesia) sebagai situasi dimana fotografer diizinkan memotret dirinya dari dekat, sementara wartawan tulis hanya berdiri di pojok. Dan kedekatan Bung Karno dengan para fotografer tak hanya pada situasi kenegaraan (acara-acara resmi) namun juga pada kehidupan sehari-hari.

Seperti mengajak Mendur bersaudara dari Indonesia Press Photo Service (IPPHOS) sarapan pagi di serambi istana, atau menghentikan mobil kepresidenan di pinggir jalan sekadar untuk memberi tumpangan pada juru kamera yang tertinggal angkutan, yang mungkin hanya menjadi mimpi para wartawan di jaman ini. Hingga akhirnya ada banyak foto-foto keseharian Bung Karno yang terlihat, bahkan dalam arsip IPPHOS masih ada puluhan negatif asli tentang Sukarno yang sejauh ini luput dari publikasi.


Misalnya foto yang menggambarkan Sukarno sebagai seorang lelaki dan bapak, tanpa embel-embel, menikmati liburannya. Naik getek sembari menggendong Guntur kecil. Main bola di lapangan tanah dengan bocah-bocah kampung. Lantas mengaso di atas tikar pandan di bawah naungan pohon-pohon. Berkelakar dengan gadis-gadis desa yang memikul dagangan ke pasar. Berbagi nasi bungkus dengan para pembantunya. Menyusuri pinggir sungai hanya ditemani seorang prajurit yang berada beberapa langkah di belakangnya. Begitu alami, begitu intim. Seakan-akan direkam oleh sahabat atau anggota keluarga yang paling dekat. Bung Karno mengijinkan fotografer "memasuki" kehidupan pribadinya.
12911120591326139022
Soekarno ketika di India (Collectie: KITLV Datum/Date: 1950-01-24
Apa yang dilakukan Bung Karno pada jaman itu masihlah hal yang baru, kalau bisa dikatakan melampaui jamannya. Bila dibandingkan pada saat sekarang, foto-foto yang diabadikan para fotografer dari pemimpin saat ini begitu terasa "kaku," tak dekat di hati rakyatnya. Yang ada hanya potongan pandangan mata dari sebuah liputan. Tidak ada emosi ataupun nilai humanis dari foto-foto tersebut. Kalaupun mau dikatakan sebagai cara menjual momentum ataupun usaha memoles citra, pencitraan di jaman Bung Karno tidaklah bisa disandingkan dengan pencitraan politik saat ini yang terkesan murahan dan penuh dengan kepura-puraan.

Bila kita membuka kembali album-album lama Bung Karno, terlihat begitu tegas kehadirannya di antara orang-orang disekitarnya. Misalnya, saat Bung Karno berpidato di depan podium Chuo Sangi-in (Dewan Pertimbangan Pusat), memimpin barisan romusha, atau menyeruput teh hangat di rumah peristirahatan Panglima Angkatan Darat Daerah Selatan, Marsekal Terauchi, di Saigon, Sukarno semakin menegaskan kehadirannya dalam setiap penampilan, seiring dengan pertumbuhan ambisi dan ketokohannya.
1291110739457804596
MASIH MARAH. Presiden Sukarno merangkul Jenderal Sudirman yang baru kembali dari gerilya. (FOTO ANTARA/IPPHOSS)
Ada sebuah kisah di balik cerita tentang foto Bung Karno saat berpelukan dengan Soedirman. Saat itu Bung Karno menugasi Letnan Kolonel Soeharto, wartawan Rosihan Anwar, dan fotografer IPPHOS Frans Mendur untuk menjemput Panglima Besar Jenderal Soedirman di markas gerilyanya, dekat Wonosari. Tugas ini dimaksudkan, agar rakyat dan dunia tahu bahwa tak ada perpecahan antara Soekarno dan Jendral Soedirman sebagai pemimpin militer. Dan tugas ini mempunyai konfigurasi yang unik, seorang tentara, wartawan dan fotografer. Di sinilah letak kelihaian Bung Karno.

Sang Jenderal, yang hidup dengan paru-paru tinggal sebelah itu, harus ditandu menembus hutan dan bukit untuk tiba di serambi kediaman Presiden RI keesokan harinya. Digambarkan oleh Tjokropranolo, pengawal pribadi Panglima Besar (belakangan menjabat Gubernur DKI) dengan ungkapan, "Ketika kami tiba, suasana sangat tegang." Hal ini bisa dimaklumi, karena saat itu Soedirman masih marah kepada Soekarno dan Hatta, yang ingkar janji untuk turut bergerilya dan malah membiarkan dirinya ditangkap Belanda.


Bung Karno melihat Soedirman hanya berdiri kaku dengan sebelah tangannya menggenggam tongkat. Dan gerak berikutnya Bung Karno serta-merta merangkul tubuhnya yang ringkih. Namun yang menjadi saksi mata hanya diam terpaku, hingga akhirnya Bung Karno mendekati Frans Mendur, fotografer kesayangannya, dan berkata, "Momennya dapat tidak?"

"Terlalu cepat," jawab Frans Mendur.

"Kalau begitu, diulang adegan zoentjes-nya," kata Bung Karno.

Puluhan tahun kemudian, foto inilah yang muncul di buku-buku sejarah. Dan kita mendapat gambaran bahwa Panglima Tertinggi Bung Karno dan Panglima Besar Soedirman laksana kakak-adik yang telah sekian lama tak bersua. Rindu yang tertanam dan tertahan menjelmakan sikap yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Di sinilah Bung Karno merasa kekuatan foto-foto juga begitu penting,

Ada juga kesaksian dari sebuah foto, saat Bung Karno ditangkap oleh serdadu Belanda yang menyerbu Yogyakarta pada aksi polisional kedua tahun 1948, ia membiarkan dirinya dipotret oleh juru kamera musuh. Raut wajahnya tenang, nyaris dingin. Dibalut pakaian yang licin disetrika, selembar jas panjang menjuntai dari lengannya. Dan seorang ajudan menenteng koper terlihat mengiringi di sisinya. Sang fotografer boleh berbangga ia mendapatkan materi eksklusif bagi propaganda kerajaannya, tapi seluruh penampilan Bung Karno saat itu memperlihatkan sebaliknya: betapa wibawa, dan kebenaran, sebenarnya ada di tangan Republik Indonesia.

Mewariskan Foto yang Berbicara

Sejarah yang kita kenang bukan saja sebuah kemerdekaan yang kita pertahankan dan isi dengan pembangunan, namun juga mewariskan gambaran kerja keras semangat kebangsaan pada masa lalu. Tehnologi pada jaman itu memang tak sehebat pada saat ini, hanya beberapa rekaman tersisa yang kita raup dan gali kembali untuk belajar pada jamannya.
12911115691063496711
Sjahrir di Perundingan Linggarjati (ANTARA/IPPHOSS/November 1946)
Bila Bung Karno mampu memukau para fotografer dan sebaliknya Bung Karno memanfaatkan keterpukauan mereka, lain halnya dengan pemimpin-pemimpin kita di jaman itu. Mohamad Hatta di dalam foto-foto hanya terkesan tetap sebagai orang nomer dua yang abadi. Dari foto-foto yang ada tak banyak menggambarkan geraknya selain sikap kalem dan lembut. Begitu juga halnya dengan Sjahrir yang memang cocok diberi gelar "Bung Kecil" saat ia "terjebak" dalam foto bersama dua orang bule jangkung lawan berundingnya, yaitu Jenderal Christison (Inggris) dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook.

Sama halnya dengan Amir Sjarifuddin, mengenang dirinya saat membaca Romeo & Juliet di gerbong kereta yang membawanya dari Madiun ke Yogyakarta sebagai terhukum mati. Dan yang bisa dikenang dari wajah Tan Malaka hanyalah selembar pas foto, padahal saat ini banyak buku-buku yang digandrungi tentang dirinya, namun dari ratusan lembar itu hanya terisi foto yang sama. Semua sampul buku berhiaskan wajah yang itu-itu saja.

Di Eropa, Hitler pun sebenarnya memiliki pemikiran akan perlunya propaganda melalui foto-foto dirinya, namun sayangnya tak banyak yang bisa dikenang dari Hitler selain kekejamanannya. Hingga akhirnya, foto-foto Hitler disimpan sebagai kejahatan yang tak perlu dikenang. Di Amerika Serikat semasa depresi ekonomi tahun 1930-an, Presiden Roosevelt menjadi suara yang mempersatukan rakyatnya. Namun, sedikit yang mengenang wajahnya. Hanya John Kennedy yang sedikit memukau. Namun bila dibandingkan dengan Soekarno, John Kennedy tak ada apa-apanya. Kennedy diliput oleh para fotografer muda Magnum, tapi Sukarno dipotret Henri Cartier-Bresson, "embah"-nya Magnum.

Dan terakhir, di Amerika tersisa Bill Clinton, antara lain melalui buku Clinton: Portrait of Victory (Warner Books, 1993) karya fotografer P.F. Bentley. Tapi Clinton pun hanya dikenang sebagai seorang politisi yang pandai meniup saksofon, sementara Bung Karno bisa memproklamasikan kemerdekaan, mendalang, merancang bangunan, dan main bola kaki dengan anak-anak kampung.

Ternyata foto-foto atau dokumentasi mampu membuat masa silam tetap hadir hingga saat ini. Masuk ke ruang-ruang kamar dengan poster-poster di dinding. Terhias di dunia maya dengan koleksi foto-foto Bung Karno yang banyak tersimpan dan tersaji dalam situs-situs pemujanya. Dan tak kalah penting, Bung Karno selalu diarak di jalanan, ditempel sebagai poster-poster di tembok, sebagai stiker yang terparkir di becak-becak yang resah menanti penumpang. Di kaca-kaca metromini yang berkelit di antara jepitan ekonomi, di pantat-pantat truck yang mencari nafas hidup di jalan-jalan antar kota. Di sepeda motor milik kaum-kaum gelisah.

Bung Karno selalu hadir di barisan massa yang bergerak, gelombang yang berarak menagih janji perubahan. Yang meminta penguasa agar berpihak pada wong kecil. Yang mempertanyakan ke mana kemerdekaan itu saat negeri ini selalu dilecehkan oleh bangsa lain dan dengan suburnya penghisapan bangsa asing di negeri sendiri.

Ya, poster, stiker, spanduk dan selebaran yang terpampang wajahnya adalah hasil jepretan para fotografer jaman dulu, warisan bagi semua rakyat Indonesia. Cara yang dipilih oleh Bung Karno untuk tetap dikenang oleh generasi penerus dengan mewariskan dirinya bagi semua orang, bagi semua kelompok. Bukan hanya sekedar menjadi milik sebuah kaum ataupun milik sebuah partai politik. Bung Karno tentu tak mau dirinya dibawa-bawa sebagai simbol sebagai kekuatan kosong belaka. Karena foto-foto Bung Karno bukanlah tentang pencitaran yang omong kosong dan bukan pula sebuah image minta dikasihani. Foto Bung Karno bukan pula sebuah sejarah kebohongan.

Memiliki Bung Karno tak lagi dengan membawa atau membaca buku-buku yang tebal, tak juga dengan memikirkan atau bersilat lidah dengan analisa yang rumit. Cukup dengan mengenangnya dalam gambaran yang tertanam selamanya di dalam benak. Tak susah menemukan dirinya yang terus menerus menyemangati kaum-kaum tertindas di setiap sudut-sudut Indonesia. Sebagai foto, poster, dan stiker milik kaum kebanyakan yang akan bangkit.
Edi Sembiring
 
Sumber :

Tempo Majalah Berita Mingguan, 14/XXX 04 Juni 2001

Soekarnoisme-sanglegenda

No comments: