Wednesday 22 December 2010

Basoeki Abdullah di Mata Soekarno dan Mata-mata Soeharto


1292780684747793618
Basoeki Abdullah
(sumber gambar :  http://www.museumbasoekiabdullah.net/)
Dari nama depannya yang memakai "oe" (ejaan lama Van Ophuijsen), sementara nama belakangnya menggunakan ejaan Soewandi, terlukis bahwa si pemilik nama hidup di dua jaman. Dialah Basoeki Abdullah, sang maestro lukis yang dekat dan hidup di dua pemerintahan yang berseberangan dalam hal pandangan politiknya, Soekarno dan Soeharto.

Bakat melukisnya menurun dari ayahnya yang bernama Abdullah Surio Subroto, seorang pelukis pemandangan elok pada zaman Belanda yang juga pintar menari. Sementara kakeknya adalah tokok pergerakkan yang bernama Dr Wahidin Sudirohusodo. Basoeki Abdullah terlahir di Surakarta, Jawa Tengah, 25 Januari 1915.

Awal ketenaran Basoeki Abdullah lahir dari tangan Ratu Belanda, Juliana. Basoeki Abdullah berhasil memenangkan sayembara melukis potret sang ratu. Dari 81 pelukis dunia yang mengikuti sayembara, hanya 21 orang yang tepat pada waktunya. Dan pemenangnya adalah Basoeki Abdullah. Sayembara melukis ini diadakan pada tanggal 6 September 1948 bertempat di Belanda, Amsterdam, sewaktu penobatan Ratu Juliana.

Sejak itulah Basoeki Abdullah bukan saja dikenal di Indonesia, namun juga oleh dunia dan laris sebagai pelukis potret. Bagi ia, melukis potret yang penting tak hanya kepersisan wajah, tapi juga ekspresi.

Soekarno melukis kilat

Nama Soekarno dan Basoeki Abdullah susah dipisahkan. Keduanya sama-sama menyukai wanita cantik. Ini tampak dari koleksi lukisan dan patung-patung Bung Karno. Dan diantaranya terdapat lukisan-lukisan perempuan telanjang, yang kini disimpan di ruangan khusus di Istana Negara di Bogor. Beberapa adalah buah tangan Basoeki.

1292780886254725229
Pameran Basoeki Abdullah (sumber : Tempointeraktif.com)

Bagi Bung Karno mengkoleksi lukisan mempunyai arti tersendiri. Ia sering duduk berjam-jam mencari inspirasi di depan salah satu lukisannya. Dan minat Bung karno pada kesenian bukan hal baru. Saat Bung Karno dibuang ke Bengkulu, di zaman Belanda, ia sempat membuat grup sandiwara dan menggambar sendiri dekorasinya. Begitu pula saat dibuang ke Ende, sempat menyelesaikan beberapa lukisan. Menurut Guntur Soekarno Putra, ada kira-kira sepuluh lukisan dihasilkan oleh Bung Karno.

Bung Karno juga punya cara sendiri dalam menilai suatu karya seni. Suatu kali diundanglah ke istana pelukis dan pematung Trubus. Ia diminta membuat patung wanita telanjang di halaman Istana. Ketika Bung Karno datang, patung itu ternyata sudah selesai. Bung Karno menatap patung itu, lalu memejamkan mata. Sejenak ia meraba bagian depan patung itu dari atas hingga ke bawah. Lalu dari mulutnya terucap, "Bus, ini belum wanita benar."

Sama halnya ketika Bung Karno menilai sebuah lukisan milik Basoeki. Basoeki melukiskan pertempuran antara Jatayu dengan Rahwana ketika menculik Sinta, Bung Karno merasa tak puas pada hasil lukisan itu. Bung Karno berpendapat, bahwa lukisan itu harus mampu penuh bercerita tentang pertempuran yang suasanya harus menggelora. Dan menurut Bung Karno, Basoeki belum menunjukkan suasana yang menggelora itu. Didorong oleh kegeraman itu, Bung Karno menambahkan lukisan kilat di lukisan itu.

Bagaimana komentar Basoeki Abdullah kalau tahu lukisannya dirubah? Menurut Guntur, biasanya apapun komentar orang, Basoeki tak terlalu mengambil peduli.

Ketertarikan Soekarno pada pelukis Basoeki, membuat ia diangkat menjadi pelukis resmi Istana Merdeka, Jakarta. Bahkan sempat ada kecurigaan beberapa orang, bahwa selera seni Bung Karno kemudian banyak dipengaruhi selera Basoeki Abdullah. Tapi ada satu hal yang perlu diingat, Bung Karno juga mempunyai selera tertentu yang membuatnya tak segan berbeda selera. Bung Karno tak suka dengan Gatotkaca (tokoh wayang kebanggaannya) yang menundukkan kepala. Maka ia pun menciptakan Gatotkaca dengan kepala tegak.

12927817251548759582
Lukisan Balinese Beauty oleh Basoeki Abdullah.
Terjual di Christie, Singapore: 6 Oktober 1996
(sumber gambar : http://www.artnet.com/)

Saat itu, sebagai pemimpin negara baru, Bung Karno sangat berkepentingan menunjukkan kiprah Indonesia di ranah seni. Lukisan-lukisan Basoeki sering diboyong ke luar negeri untuk dipamerkan. Soekarno bahkan datang sendiri saat koleksi Basoeki dipamerkan di Jepang. Begitu pula dengan patung atau tugu yang berdiri megah dan heroik di ibukota, adalah sebuah jiwa seni yang mungkin tak terpikirkan oleh banyak kalangan pemimpin saat itu (mungkin juga hingga saat ini).

Soeharto dan lukisan "tanda tangan"

Soeharto (selanjutnya di panggil Pak harto) dan seni rupa adalah dua dunia yang nyaris tidak ketemu. Kisah hidupnya telah berbicara, di saat Jepang berkuasa, Bung Karno dan ratusan seniman Indonesia ramai terlibat dalam Keimin Bunka Sidhoso (lembaga kesenian milik Jepang), sementara Pak Harto tidak bersentuhan dengan lembaga itu. Hidupnya hanya berkutat dalam dunia militer, profesi ini membuatnya jauh dari dunia berkesenian.

Saat Pak Harto pindah ke Istana di tahun 1968, ia memang tak se"kejam" Jackie Kennedy yang mengganti semua tataan Mamie Eisenhower. Pengunjung istana saat itu masih bisa merasakan suasana Soekarno. Pak Harto ternyata masih tetap menghormati selera seni dari penghuni sebelumnya, Soekarno. Hanya dalam perjalanan tahun-tahun berikutnya beberapa hal mulai berubah. Pelan-pelan lukisan Basoeki Abullah dengan tema perempuan mulai disimpan. Lukisan seorang perempuan, konon isteri seorang jenderal yang memakai kebaya dengan senyum manisnya, tersingkir dari ruang makan Istana Merdeka. Kemudian gambar--gambar Utin Sularto dan Baby Huwae dengan baju tipisnya.

Termasuk patung-patung, diantaranya patung pemanah telanjang yang ada di tengah kolam dekat tiang bendera 17 meter. Patung ini dipindahkan di tahun 1970, Brigjen. Sutikno yang waktu itu masih kepala Rumah Tangga Istana Merdeka beralasan, "Masa saya harus kasih hormat padanya juga."

Posisinya memang dekat dengan tiang bendera. Dan di tahun 1970 inilah perubahan yang sedikit drastis mulai dilakukan terhadap gedung Istana Merdeka, seperti perubahan beranda belakang Istana Merdeka dari yang bergaya kolonial berubah wujud menjadi modren dengan menggunakan kaca karena akan dipasang alat pendingin udara (AC).

Walau Pak Harto tidak dekat dengan seni rupa, namun ia mempunyai ambisi besar akan kesenian. Bila dulu Bung Karno mengangkat pelukis istana sebagai pengurus lukisan di Istana, lain halnya dengan Pak Harto. Lewat Sekretariat Negara - Rumah Tangga Kepresidenan, Pak Harto mendirikan lembaga Sanggar Lukisan Istana Presiden sebagai pihak yang bertanggung jawab. Dalam sanggar itu ada ketua, sekretaris, kurator, pelaksana lapangan, dan sebagainya. Lewat lembaga, ini Pak Harto memelihara benda seni (yang sekitar 70 persen dari jumlah itu adalah peninggalan Presiden Soekarno) di Istana Presiden di seluruh Indonesia.

Pak Harto pun menggagas berdirinya museum Purna Bhakti Pertiwi yang diresmikan pada tanggal 23 Agustus 1993 di atas lahan 20 hektare di depan Taman Mini Indonesia Indah, dalam bentuk bangunan berupa tumpeng. Museum ini adalah tempat untuk menyimpan cenderamata seni rupa, baik dari Indonesia maupun luar negeri yang diberikan sebagai kenang-kenangan. Tak hanya puas sampai di situ, ia pun mendirikan Graha Lukisan. Inilah museum yang khusus menampung karya seni lukis koleksinya, koleksi anak-anak serta segenap menantunya. Gedung ini bertingkat tujuh, menjulang tinggi 41 meter. Bentuknya bagai burung mengepak menghadap matahari yang tenggelam di barat. Museum yang ditangani Titiek ini diresmikan pada 12 April 1997.

Namun ternyata koleksi lukisan Pak harto bukan saja dari pelukis terkenal, terdapat juga berbagai lukisan kodian yang sering diperdagangkan di banyak art shop di Tanah Air, yang sampai sekarang berharga tak lebih dari Rp 200 ribu saja. Entah siapa yang tega "menipu" Pak Harto dengan cenderamata yang murahan seperti itu. Semua itu terpajang di Graha Lukisan demi menghormati si pemberi lukisan. Dari museum ini dibuka hingga Pak Harto menutup mata, ternyata beliau amat jarang datang berkunjung untuk menikmati keindahan koleksinya itu. Berbeda jauh dengan Bung Karno yang menginginkan sebuah lukisan atau patung untuk dinikmati.

Sepertinya Pak Harto hanya seorang kolektor, bukan apresiator seni rupa. Walau terkadang ia pernah meminta kepada pelukis untuk memenuhi keinginanya. Seperti keinginannya di ulang tahun perkawinannya yang ke-40 pada tanggal 26 Desember 1987. Ia memesan kepada Basoeki Abdullah lukisan sekelompok burung merpati putih. Kelak lukisan ini akhirnya menjadi bagian penting dekorasi kediamannya di Cendana pada era 1990-an. Ruangan dengan lukisan ini sering menjadi sorotan kamera televisi ketika menerima tamu maupun pada acara tertentu yang dilakukan di Cendana.

Ketika lukisan ini diterima, Pak Harto meminta anak, mantu dan cucu menorehkan tanda tangannya di setiap sisi puluhan merpati itu dengan sepidol emas. Lazimnya sebuah lukisan, hanya tertoreh nama sang pelukis. Namun kini ternyata bersanding juga nama-nama yang lain. Apakah ini bentuk kekurang mengertian Pak Harto pada apresiasi seni, atau mungkin tak sudi hanya ada satu nama saja yaitu Basoeki Abdullah?

Basoeki gusar bukan main. Pak Harto tampak memahami kemarahan sang pelukis, dan sang Presiden pun merasa berutang. Menyedihkan, utang itu baru terlunasi ketika Basoeki Abdullah wafat pada November 1993. Dalam momentum ini Pak Harto, lewat upaya putrinya Siti Hediati atau Mbak Titiek, meminjami pesawat Pelita Air Service PK-PKJ Lengguru untuk membawa jenazah Basoeki dari Jakarta ke Yogyakarta, sebelum dimakamkan di Desa Mlati.

Tak hanya itu, berlanjut di tahun 1992, Pak Harto meminta Basoeki melukis potret para pemimpin negara yang berkumpul saat KTT Non Blok di Tanah Air. Terlukis wajah-wajah mereka dengan Pak Harto sebagai sentralnya. Namun entah mengapa, ukuran wajah Pak Harto tampak tak lebih besar dibanding dengan tokoh-tokoh lainnya. Hal yang sangat berbeda dengan kebiasaan melukis gaya Basoeki yang terlukis jujur.

Apakah ini permintaan Pak Harto? Atau keinginan orang-orang yang loyal padanya yang ingin menunjukkan bahwa Pak Harto memang lebih besar dari tokoh pemimpin dunia lainnya? Dalam perjalanan kekuasaannya, ia didampingi oleh loyalitas yang tinggi dari 'pasukannya.' Ternyata tak hanya dalam hal urusan politik dan keamanan ada banyak mata-mata, di dunia melukispun tak boleh lepas dari pantauannya.

Tulisan Agus Dermawan T (kritikus dan penulis buku-buku seni rupa) di majalah Tempo bercerita tentang aparat yang memasuki ruang-ruang kreatifitas seniman (pelukis). Terkabar pada tahun 1977 di Galeri Senisono Yogyakarta, dalam pameran "Kepribadian Apa", muncul lukisan Ronald Manulang yang menggambarkan state portrait Pak Harto. Oleh Ronald, lukisan ini sengaja tidak diselesaikan, ada bagian-bagian yang masih kosong. Hingga dengan pastinya ia pun memberi judul lukisan ini dengan judul Presiden yang Tak Pernah Selesai.

Beberapa hari setelah pembukaan pameran, Ronald kedatangan tamu, ia diinterogasi polisi. Mungkin mereka penasaran atau memang hendak meluruhkan mental penggiat seni rupa.

"Presiden yang tak pernah selesai, apa maksudnya?" tanya polisi.

"Oo, itu artinya lukisan saya tentang seorang presiden tak kunjung selesai juga. Susah sekali menuntaskannya," kata Ronald santai.

"Bohong. Ada kecurigaan Saudara memprovokasi masyarakat untuk mendongkel kekuasaan Kepala Negara," kata polisi lagi.

Ronald Manulang terbelalak. Dan sejarah seni rupa tahu, pameran itu ditutup polisi sebelum jadwal berakhir.

Begitu pula di tahun 1980, pelukis Hardi membuat poster berteknik silkscreen yang menggambarkan potret dirinya berbusana ala Bung Karno, lengkap dengan tanda jasanya. Di atas gambar itu ia menuliskan teks : Presiden RI 2001-Suhardi. Ketika karya ini dipamerkan, Hardi langsung ditangkap serta dimasukkan sel beberapa hari. Pada pemeriksaan di kantor polisi, sejumlah "Pak Harto" berkata: "Saudara mengusik ketenangan yang berkuasa."

Hardi dan Ronald Manulang akhirnya sadar, bahwa mata seni Orde Baru adalah mata "orang kebanyakan," mata-mata yang ingin melanggengkan terus kekuasaan Pak Harto. Setidaknya pula, jiwa "seni" Pak Harto mengalir secara komando/terstruktur di "seni" para mata-mata dalam mengkondisikan keamanan ala Orde Baru.

Hidup Basoeki di ujung senapan

Mungkin karena sering melukis pemandangan alam dan perempuan cantik, Sudjojono, salah seorang pendiri

12927814061692120258
Pertemuan 3 seniman : Affandi (kanan),
S Sudjojono (tengah), dan Basoeki Abdullah (kiri).
(sumber : KOMPAS/KARTONO RYADI)

Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia tahun 30-an, pernah menyamakan lukisan model Basoeki Abdullah dengan gambar bintang film Hollywood -- karya-karya tersebut hanya menonjolkan modelnya yang cantik saja, lain tidak. Lukisan-lukisan macam itu, yang dalam sejarah senirupa Indonesia dijuluki Mooi Indi, "Hindia Molek," banyak dikecam sebagai "realisme tanpa jiwa". Namun perseteruan keduanya dapat diakhiri di Ancol pada tahun 1985. Pengusaha Ir. Ciputra mempertemukan Soedjojono dengan Basoeki, juga Affandi, dalam pameran bersama. Dan sayangnya, dalam perjalanan dunia seni rupa Indonesia, kita kehilangan Soedjojono, yang wafat beberapa bulan setelah pertemuan ini.

Bila Sudjojono berpendapat demikian, lain halnya dengan mereka para kolektor hingga pencuri lukisan. Lukisan-lukisan Basoeki Abdullah nilainya begitu besar, tak tanggung-tanggung hingga milyaran rupiah. Misalnya lukisan seorang gadis Bali dengan bunga kemboja tersemat di telinga kanan menangkupkan kedua telapak tangannya. Judul lukisan itu adalah Berdoa. Pada bulan Maret 1995, Balai Lelang Christie di Singapura (balai lelang yang didirikan John Christie di London pada 1766) menawarkan lukisan gadis Bali sedang berdoa itu. Di dalam katalog Christie, lukisan itu diberi judul Bali Girl Praying dan diberi nomor lelang 578.

Lukisan ini pemiliknya adalah Soekarno, presiden pertama Indonesia. Dan menurut Guruh Sukarno Putra, Ketua Yayasan Bung Karno, lukisan itu telah dicuri. Tapi Guruh juga tidak bisa memastikan siapa pencuri lukisan itu dan tidak bisa menuntut pembatalan lelang, karena masa yang diberikan untuk pembatalan (apabila ada yang keberatan) telah berakhir (2 minggu sebelum lelang). Dan akhirnya, menurut catatan lelang 26 Maret 1995, lukisan itu tidak laku dilelang. Dan menurut peraturan Christie, lukisan yang tidak laku akan dikembalikan ke "pemiliknya" alias yang menyerahkan lukisan itu ke Christie. Tentang siapa "pemiliknya," sekali lagi terbentur oleh kontrak yang sifatnya rahasia.

Badan lelang Christie tentu tidak akan menghancurkan reputasi yang dibangun selama 234 tahun sebagai "kerajaan lelang" yang sudah memiliki cabang di 119 negara. Mereka tentu tak mau menjual barang-barang hasil curian. Dan mereka sudah membuat kebijaksanaan dengan menerbitkan katalog pada masa-masa musim lelang dan memberi kesempatan 2 minggu sebelum lelang untuk meneliti lukisan-lukisan lelang mendatang. Apabila ada pihak yang merasa bahwa lukisan tertentu adalah hasil curian atau sampai ke tangan Christie dengan cara tidak sah, bisa mengajukan protes.
12927821021655957534
Lukisan A Nude oleh Basoeki Abdullah
yang dicuri dari Galeri Nasional
(sumber : www.tempointeractive.com/ang/min/01/32/nas1.htm)





Hal ini pernah terjadi pada tahun 1996, dua buah lukisan karya Basoeki Abdullah yang dilelang di Christie, ternyata dicuri dari Galeri Nasional. Pihak Galeri Nasional mengklaim dan bisa membuktikan bahwa benar kedua lukisan itu memang curian. Christie akhirnya mengembalikan kedua lukisan itu, akan tetapi Christie tidak bisa membuka dari siapa badan lelang itu memperoleh lukisan-lukisan tersebut. Karena ini merupakan kontrak dengan balai lelang yang sifatnya rahasia.

Tak hanya sampai di situ, masih banyak perjalanan dari lukisan-lukisan Basoeki Abdullah lainnya yang keberadaannya menjadi incaran banyak orang. Bukan saja untuk dinikmati keindahannya namun nilainya yang menggiurkan. Tak pelak, ketika di suatu malam 5 November 1993, kematiannya di ujung senapan membuat dugaan adanya keinginan si pembunuh untuk mencuri lukisan yang mungkin ada di rumahnya. Tapi setelah diperiksa, ternyata sang pembunuh adalah Amirudin alias Nanda--yang disuruh oleh Wahyudi, tukang kebun Pak Basoeki. Awalnya mereka berencana mencuri uang. Namun karena terkejut akibat Basoeki mengetahui maksudnya, di malam naas itu Basoeki mati di ujung senapan miliknya yang tergantung di dinding.

Keindahan selama 78 tahun yang terus ditebarkannya, harus berakhir dengan tragis di malam itu. Pengabdian yang konsisten bagi seluruh hidup Basoeki pada yang indah di indra dan yang romantis, membuktikan ucapannya, "Saya tak ingin mengkhianati aliran besar (yang memuja keindahan)."
Edi Sembiring
sumber bacaan :

Bukit-bukit perhatian: dari seniman politik, lukisan palsu sampai kosmologi oleh Agus Dermawan T.
Tempointeraktif.com tanggal 09 September 1972
Tempointeraktif.com tanggal 18 Agustus 1979
Tempointeraktif.com tanggal 16 Juni 1984
Tempointeraktif.com tanggal 29 Januari 2001
Tempointeraktif.com tanggal 28 Januari 2008
Tempointeraktif.com tanggal 01 Juli 2009
Tempo.co.id Edisi 32

No comments: