Sunday 5 December 2010

AIDS di Pasar Bebas Obat

12912011201227595668
Fight AIDS, not people with AIDS (image : www.iusy.org)
Pada setiap tanggal 1 Desember, kita memperingati sebagai Hari AIDS sedunia. Peringatan ini terus dilakukan sebagai sosialisasi untuk dipahami oleh masyarakat bahwa penderita HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus /Aquired Immuno Deficiency Syndrome) tidak perlu dikucilkan dan tidak perlu dicap dengan stigma negatif. Yang perlu kita lakukan adalah bahu membahu untuk mengantisipasi penularannya, antara lain menjauhi seks bebas, menjauhi narkoba, menjauhi penggunaan jarum suntik secara bergantian, dan yang terpenting lagi adalah pertahankan keutuhan keluarga serta tentu memperkuat iman.

Namun disela peringatan Hari AIDS sedunia, ada kabar yang lebih menakutkan karena obat antiretroviral (ARV) akan menjadi sulit ditemukan. Hak paten ARV yang dipegang perusahaan farmasi milik Amerika Serikat, Abbott Laboratories International Company, untuk Indonesia akan berakhir pada tiga tahun terakhir. Berdasarkan rilis Gerakan Lisensi ARV (Gelar), lisensi ARV untuk jenis ARV Nevirapine berakhir pada 2011, Lamivudine pada 2012, dan diikuti Efavirenz pada 2013.Bila pencabutan lisensi itu dilakukan akan membuat ARV kian mahal karena Indonesia tak lagi berhak memproduksi ARV generik yang dapat dijual murah. Sedikitnya akan ada 18 ribu orang yang terinfeksi HIV/AIDS terancam putus obat karena harga jual ARV non-generik dapat melambung hingga 1.000 persen.

Menurut Adhitya Wardhana, aktivis Gelar (Gerakan Lisensi ARV), ARV generik yang dijual selama ini bisa diperoleh dengan harga paling mahal Rp. 238 ribu per bulan. Jika label generik-nya hilang, orang yang terinfeksi HIV/AIDS mesti merogoh kocek Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per bulan. Namun anehnya produk generik dari India dapat dibeli dengan harga Rp. 60 ribu. Ini juga menjadi pertanyaan yang aneh bagi Adhitya.

ARV sebuah harapan

"Secercah Harapan dalam Perang Melawan Aids," itulah bunyi kepala berita dalam majalah Time terbitan 29 September 1986. "Secercah harapan" ini timbul karena hasil sebuah uji klinis dengan azidotimidin (AZT), sebuah obat antiretrovirus untuk mengobati HIV. Sungguh mengagumkan bahwa para pasien HIV yang diobati dengan AZT hidup lebih lama. Sejak itu, masa kegelapan pelan-pelan menghilang karena obat-obat antiretrovirus (ARV) telah mampu memperpanjang kehidupan ratusan ribu orang. Apa itu ARV?

Pada orang yang sehat, sel-sel T penolong merangsang atau mengaktifkan sistem kekebalan untuk menyerang infeksi. HIV khususnya mengincar sel-sel T penolong ini. Ia menggunakan sel-sel itu untuk memperbanyak dirinya (replikasi), melemahkan dan menghancurkan sel-sel T penolong hingga sistem kekebalan merosot drastis. Obat antiretrovirus (ARV) menghambat proses replikasi ini. Saat ini ada empat jenis utama ARV yang diresepkan. Analog nukleosida dan analog nonnukleosida mencegah HIV menggandakan diri ke dalam DNA seseorang. Inhibitor protease membuat enzim protease tertentu dalam sel yang terinfeksi tidak dapat menggandakan virus itu dan menghasilkan lebih banyak HIV. Inhibitor fusi bertujuan mencegah HIV memasuki sel. Dengan menghambat replikasi HIV, ARV dapat memperlambat perkembangan dari infeksi HIV menjadi AIDS, yang disebut stadium akhir penyakit HIV.

Di Amerika Serikat dan Eropa, penggunaan ARV telah mengurangi kematian akibat AIDS hingga lebih dari 70 persen. Selain itu, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa pengobatan dengan ARV pilihan dapat secara dramatis mengurangi penularan HIV dari wanita hamil yang terinfeksi ke anaknya.


India produsen ARV generik termurah

Awalnya ARV diperjual belikan pada harga US$ 10.000 - 15.000/orang/tahun. Harga tersebut terasa begitu mahal apalagi bagi negara - negara dengan ekonomi berkembang. Dalam rangka memperluas akses agar orang terinfeksi HIV di negara - negara tersebut dapat menggunakannya, harga ARV harus diturunkan hingga tingkat yang dapat dijangkau.
1291201390718828410
Peringati hari AIDS, para waria beserta Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, Serikat Rakyat Miskin Indonesia dan Acar Community memprotes mahalnya obat Antiretroviral (ARV) untuk penderita HIV/AIDS (sumber : foto.detik.com)
Di awal milennium baru, terobosan itu muncul dari India. Farmasi India mulai memproduksi ARV generik yang sangat murah namun tetap sama manfaatnya dengan yang diproduksi oleh perusahaan farmasi besar pemegang hak paten ARV. Hal ini memicu perang harga antara produsen obat paten dan obat generik, akhirnya farmasi - farmasi besar tersebut menurunkan harga obat AIDS yang mereka produksi.

India memainkan peranan penting dalam mensuplai obat-obatan versi generik ke seluruh negara-negara berkembang. Médecins Sans Frontières (MSF atau Dokter tanpa Batas), sebuah organisasi internasional yang pernah meraih Nobel Perdamaian atas kerja-kerja di bidang kemanusiaan di sekitar 80 negara misalnya menggunakan 80 persen obat antiretroviral untuk program AIDS/HIV ke seluruh dunia dari India.


Ketika ARV generik diperbolehkan, pada kondisi inilah Indonesia mulai dapat melakukan penanggulangan AIDS dengan menyeluruh. Namun muncul berbagai tantangan. Mulai bulan April 2002 - bulan Maret 2004, beberapa perusahaan 'penemu' obat ARV terus berupaya untuk mengajukan paten kepada Indonesia. Pemerintah RI terpaksa melakukan beberapa langkah strategis dalam menjaminkan kesehatan masyarakat, langkah - langkah yang ditempuh menghasilkan lobi - lobi hingga disepakatinya lisensi wajib dua jenis obat ARV yaitu Nevirapin dan Lamivudin.

Begitu pula hantaman juga terjadi bagi India. "Perjanjian perdagangan bebas (FTA) ini adalah langkah terakhir dari upaya panjang selama ini oleh Uni Eropah (UE) dan Amerika Serikat (AS) untuk menutup perusahaan-perusahaan obat generik di India, " kata Dr. Amit Sen Gupta, dari Jan Swasthya Abhiyan. "sebelumnya melalui WTO mereka telah memaksa India untuk menandatangani TRIPS (Agreement on Trade-related Aspects of Intellectual Property Rights - hak kekayaan intelektual yang terkait dengan perdagangan), dan kemudian melalui FTA, UE memaksa kami untuk melindungi HKI yang standarnya lebih tinggi lagi. India punya hak hukum dan tugas moral untuk mengatakan 'tidak'."

ODHA dan pasar bebas obat

Jaringan Orang Terinveksi HIV Indonesia (Jothi) mengeluhkan masa berakhirnya paten obat bagi pengidap HIV. Tahun depan, salah satu jenis Antiretroviral (ARV) akan berakhir masa patennya. Sementara jenis lainnya, Lamivudine pada 2012, dan diikuti Efavirenz pada 2013. Mereka takut obat tersebut akan sulit didapatkan oleh penderita HIV. Sementara ARV harus dikonsumsi rutin seumur hidup. Dalam pendistribusiannya selama ini pun banyak penderita HIV di daerah terpencil tak kebagian obat. Bagaimana pula saat ARV nanti bertambah mahal.

12912001562012166949
Seorang pasien pengidap AIDS menenggak kombinasi 14 obat tiga kali sehari (sumber : Getty Images)


Hariadi Wisnu Wardana, Staf Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan (kemenkes), menegaskan, orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) tidak perlu khawatir. Meski masa paten ARV habis, bukan berarti pemerintah kesulitan membeli obat tersebut. "Justru jika masa patennya habis, perusahaan farmasi lain bisa memproduksinya dengan bebas," ungkap Hariadi.

Itu berarti, lanjutnya, ARV akan semakin mudah didapatkan pemerintah. "Dengan harga bersaing tentunya," tambah Hariadi. Yang sedang digalakkan saat ini, kata Hariadi adalah distribusi ARV di rumah sakit. Hingga tahun ini hanya ada 186 RS yang menyediakan ARV. Jumlah itu dinilai Hariadi sedikit dibandingkan jumlah kabupaten dan kota yang mencapai 400. ARV itu diberikan gratis kepada pengidap HIV.

Menurut Hariadi, pada 2008 lalu, pemerintah menyediakan anggaran Rp 33 miliar untuk membeli ARV. Anggaran bertambah Rp 43 miliar pada 2009. Tahun ini, Kemenkes menyediakan Rp 84 miliar untuk membeli ARV. Jumlah itu cukup untuk memenuhi 17 ribu pengidap HIV di Indonesia.

Sayangnya, hingga kini belum ada perusahaan yang memenuhi syarat yang diajukan World Health Organization untuk memproduksi ARV. Kimia Farma saja masih dalam tahap memenuhi prakualifikasi itu. Jika memenuhi prakualifikasi, produsen farmasi milik negara itu baru bisa ikut serta dalam kompetisi penawaran internasional untuk memproduksi ARV. Selanjutnya, ARV buatan dalam negeri itu akan dilego ke Global Fund dan WHO. Dua lembaga itulah yang menyebarkan ARV secara gratis ke sejumlah negara.

Kalaupun Indonesia memenuhi syarat untuk dapat memproduksi ARV, dapatkah dipastikan bahwa harganya akan lebih murah dari ARV yang diproduksi India? Karena saat ini saja, ARV generik buatan Indonesia lebih mahal dari pada buatan India.

Secara medis, ARV mampu menekan kadar virus HIV dalam tubuh pengidap. Jika dikonsumsi secara teratur, bahkan ARV mampu menekan virus hingga tak terdeteksi. Pendek kata, ARV mampu memperpanjang hidup ODHA.

ARV adalah alat kampanye paling efektif untuk menanggulangi AIDS. Dengan kemampuan memperpanjang hidup ODHA, ARV menghilangkan stigma HIV/AIDS merupakan penyakit yang mematikan. Hal ini akan menurunkan depresi ODHA dan mendorong untuk berobat secara teratur. Hingga kini diperkirakan 18 ribu ODHA mengkonsumsi ARV. Jika dijumlahkan dengan ODHA yang belum terdata, diperkirakan angkanya menjadi 280 ribu. Bukan angka yang kecil untuk dipertaruhkan pada sekadar pasar bebas obat.

Edi Sembiring
 

No comments: