Sunday 5 December 2010

Melawan Manipulasi Sejarah Oleh Penguasa

1291379013158505119
Manipulasi foto saat Gottwald dan Clementis berdampingan (sumber : http://www.internationalschoolhistory.net/central_eastern_europe/1945-1953.htm)
Sejarah boleh terus bertambah baru, seiring dengan ingatan yang kian tua dan memudar, namun sebuah peristiwa tak boleh dimanipulasi untuk diturunkan pada generasi yang lebih baru. Karena oleh kepentingan, sebuah kekuasaan terkadang tega untuk menghilangkan jejak-jejak sejarah yang tak sejalan dengan kepentingan penguasa yang memerintah.

Seperti yang dikatakan oleh Milan Kundera, pengarang terkenal Cekoslowakia bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa. Milan Kundera mewujudkan perkataan itu lewat sosok Mirek, tokoh yang ditulisnya dalam The Book of Laughter and Forgetting (Great Britain: Penguin, 1980). Mirek mengatakan kalimat itu pada tahun 1971, sementara peristiwa yang dimaksud terjadi di bulan Febuari 1948. Berikut ini sekilas kisah yang terjadi :

Bulan Februari 1948, pemimpin komunis Klement Gottwald berdiri di balkon Istananya di Praha untuk berpidato di hadapan ratusan ribu warga yang berdesak-desak sampai Old Town Square. Gottwald didampingi oleh kawan-kawannya. Salah satunya adalah kamerad Clementis. Mendadak saat itu salju turun dan udara menjadi sangat dingin, sementara Gottwald tidak menggunakan topi hingga kepala Gottwald basah. Lalu Clementis membuka topinya dan memasangkan ke kepala Gottwald.

Bagian propaganda partai segera mencetak foto kejadian itu dan membagikan ratusan ribu foto bersejarah itu ke seluruh negeri. Orang-orang menjadi saksi tentang Gottwald yang memakai topi didampingi kamerad Clementis di balkon Istana berbicara kepada bangsanya. Di atas balkon itu lahir sejarah Partai Komunis Cekoslowakia. Setiap murid Cekoslowakia tentu mengetahui foto tersebut melalui poster, museum dan buku-buku pelajaran sekolah.

Dalam perjalanan sejarah berikutnya, empat tahun kemudian, Clementis dituduh berkhianat kepada negara dan dihukum gantung. Partai mengambil sikap untuk menghapus Clementis dari sejarah., menghapus Clementis dari ingatan rakyat Cekoslowakia. Maka sejak itu dalam foto resmi hanya Gottwald yang berdiri di atas balkon Istana. Di tempat Clementis berdiri hanya terlihat dinding Istana. Namun yang tetap tinggal adalah topi Clementis yang dipasang di kepala Gottwald.

Clementis bisa dienyahkan, tapi tak mungkin hal itu dilakukan pada pada topi bulu yang dipinjamkan pada Gottwald. Topi bulu Clementis tetap tersisa di kepala Gottwald. Ketika memandang topi bulu itu, orang akan ingat apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Ingatan boleh lupa, sejarah boleh dibelokkan, namun foto itu jujur bercerita.

Manipulasi Proklamasi, PKI dan Janur Kuning

Di sebuah hari kemerdekaan di negeri ini, 17 Agustus 2006, pada cara KickAndy di MetroTV, Moelyono, mantan fotografer koran KR (Kedaulatan Rakyat) Yogyakarta menampilkan foto mayat yang terbunuh dalam peristiwa 1965 dalam keadaan tangannya terikat satu sama lain. Moelyono mengatakan foto itu menggambarkan jenazah dua pemuda Marhaenis yang dibunuh oleh anggota PKI.

Namun menurut Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI, pernyataan Moelyono itu jauh berbeda dengan keterangan yang disampaikannya kepada Karen Strassler yang mewawancarainya untuk penulisan disertasi di Universitas Michigan. Karen telah mewawancarai Moelyono beberapa kali selama setahun termasuk yang direkam tanggal 5 Mei 1999 dan 6 April 2000. (Karen Strassler Photographs and the Making of Reformation Memory dalam Mary Zurbuchen (ed) Beginning to Remember, The Past in the Indonesian Present, 2005).


Menurut Asvi, foto dua orang yang disebutkan Moelyono sebagai pemuda marhaenis itu sebetulnya adalah dua orang anggota Pemuda Rakyat. Masing-masing mencoba melarikan diri ketika ditangkap dan langsung ditembak oleh tentara. Setelah ditembak, kedua orang itu diikat tangannya dan baru Moelyono disuruh memotretnya.

Fotografi dijadikan alat propaganda yang ampuh awal Orde Baru. Mencoba memberi kabar bahwa pemerintah telah melakukan sebuah tindakan yang benar untuk melawan para penghianat bangsa. Dan secara tidak langsung juga menunjukkan kekejaman itu sebagai ancaman yang menakutkan bagi mereka yang ingin melawan atau bertanya akan kebenaran dari sejarah di foto tersebut.

Asvi Warman Adam, juga menemukan usaha memanipulasi sejarah disebuah buku yang berjudul Pejuang dan Prajurit.yang terbit di tahun 1984 disunting oleh Nugroho Notosusanto. Di dalam buku terbitan Sinar Harapan terdapat foto peristiwa pengibaran bendera Merah Putih, 17 Agustus 1945 (hal 94). Namun hal yang tak lazim terlihat adalah tidak tampaknya wajah proklamator Soekarno di foto tersebut. Yang terlihat hanya wajah Hatta. Lalu sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo menelepon penerbit dan menyampaikan protes terhadap hal ini. Karena menurutnya ini adalah "pemalsuan sejarah".

Tahun 2002 Asvi Warman Adam membicarakan hal ini dengan Max Riberu, redaktur Penerbit Sinar Harapan yang ikut dalam proses penerbitan buku tersebut pada tahun 1984. Karena sang Menteri yang punya hajat menerbitkan buku, maka penerbitlah yang datang ke kantor Menteri untuk membicarakan hal ini. Mereka membawa beberapa foto yang akan digunakan sebagai ilustrasi buku tersebut dan meminta Pak Menteri untuk memilihnya. Karena foto pengibaran bendera merah putih tanggal 17 Agustus 1945 itu berukuran kecil, maka Nugroho Notosusanto meminta agar foto itu diperbesar. Karena diperbesar itu maka wajah Sukarno terpotong, demikian penuturan Max Riberu. Tentang kebenaran penjelasan Max Riberu atau Abdurrachman Surjomihardjo, Asvi hanya berucap : wallahualam.

Begitu kecilnya sejarah dalam sebuah foto, namun sebegitu luasnya kabar yang bisa dibaca dan dipahami. Setidaknya kita bisa merangkai kabar-kabar yang terluput dari sebuah peristiwa yang berderet. Lalu menyematkannya dalam proses pembelajaran untuk belajar dari kisah yang lalu. Sepahit apapun peristiwa yang terjadi. Namun apabila kekuasaan hanya mementingkan sejarah yang disukainya saja, akan lahirlah pembodohan-pembodohan seperti yang disodorkan ke hadapan kita dalam filem G 30 S PKI dan Janur Kuning, sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949.

Dalam filem Janur Kuning, Soeharto menyatakan bahwa dirinyalah pencetus serangan itu, padahal jelas-jelas Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) yang mempersiapkan rencana itu. Di dalam film itu ada satu bagian yang tidak ditayangkan tapi menjadi bukti penting dari kebenaran sejarah. Kisahnya, pada 14 Februari 1949, Letnan Kolonel Soeharto dipanggil menghadap Sri Sultan Hamengku Buwono IX ke kraton. Di situlah Sri Sultan menggagaskan idenya untuk menggelar suatu serangan terhadap Belanda sebagai upaya membuka mata dunia menyangkut eksistensi Republik Indonesia. Dan semuanya juga terungkap dalam buku Tahta untuk rakyat : celah-celah kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (Gramedia, 1982).

Tan Malaka ternyata di Ikada

Bila penguasa Orde Baru terus menerus melakukan pemanipulasian sejarah, Harry A Poeze justru mencoba menggali sejarah menjadi terang benderang. Harry A Poeze adalah sejarawan Universitas Leiden yang juga Direktur Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde Leiden, menemukan fakta baru bahwa Ibrahim Datoek Tan Malaka atau dikenal dengan nama Tan Malaka ada di lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta), 19 September 1945.

12913792921373591182
Tan Malaka berjalan beriringan bersama Soekarno (peristiwa lapangan Ikada)

Harry A Poeze meneliti kehadiran melalui foto peristiwa Ikada (sekarang menjadi lapangan luas bagian pojok timur yang saat ini ditempati oleh kawasan Monas). Rapat yang digagasi oleh pemuda dan mahasiswa itu adalah sebuah rapat akbar untuk menegaskan "kemerdekaan" mereka, kemerdekaan Indonesia. Peringatan sebulan kemerdekaan Indonesia, namun oleh anjuran tentara Jepang, rapat itu diundur 2 hari, menjadi tanggal 19 September 1945.

Di tengah kerumunan ribuan masyarakat Indonesia, khalayak ramai tidak mengetahui bahwa Tan Malaka berada di kerumunan itu. Menurut penelitian Harry A Poeze pada foto peristiwa Ikada, ia melihat Tan Malaka dengan ciri-ciri memakai celana pendek, topi perkebunan. Tinggi Tan Malaka ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Harry A Poeze meyakini bahwa yang berjalan berdampingan dengan Soekarno adalah Tan Malaka.

Harry A Poeze menghimpun semua ciri khas Tan itu dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yang pernah didatangi Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian. Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana selutut.

Satu lagi bukti yang mesti dicari: berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur rambut dalam tahanan di Hong Kong. "Sekonyong-konyong tiga orang memegang kuat tangan saya dan memegang jempol saya buat diambil capnya. Semua dilakukan serobotan," ucap Tan. Dari buku ini Harry A Poeze pun mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang menahan Tan di Hong Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172 sentimeter).

Kabar keterlibatan Tan Malaka dalam mempersiapkan rapat akbar di Ikada adalah sebuah kabar baru yang belum ada diceritakan dalam buku-buku sejarah. Mungkin ini dikarenakan Tan Malaka yang selalu harus bersembunyi dan memakai nama-nama samaran. Karena selama lebih dari 20 tahun, Tan Malaka selalu diburu polisi rahasia dari beberapa negara. Harry menyatakan, masa lalu Tan Malaka yang selalu dikejar-kejar oleh Perancis, Amerika Serikat, China, dan Belanda membuat Tan Malaka menjadi sosok yang sangat hati-hati. Ia selalu hidup berpindah-pindah. Akibatnya, kata Harry, Tan Malaka disebut sebagai pribadi yang terlambat beraksi dan tidak memakai kesempatan yang baik.

Beruntunglah kita mendapatkan fakta baru dari penelitian Harry A Poeze yang selanjutnya juga membeberkan fakta baru akan keterlibatan Tan Malaka pada masa-masa proklamasi. Selain itu, Harry juga melakukan penelitian cukup lama untuk mengungkap kematian Tan Malaka. Berdasarkan penelitian Harry, Tan Malaka meninggal di Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis, sekitar 20 kilometer dari Kediri, Jawa Timur. Harry menyebutkan, Tan Malaka ditembak mati di sana.
Sering dikatakan sejarah adalah milik penguasa. Kebenaran perkataan ini terjadi oleh banyaknya sejarah-sejarah baru yang diciptakan oleh penguasa. Namun juga dapat diartikan pemanipulasian sejarah adalah tindakan demi kepentingan penguasa. Maka oleh karena itu sejarah harus kita kawal.

Kalaupun harus bersikap seperti yang dikatakan oleh Milan Kundera, bahwa melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa. Perjuangan anak bangsa untuk melawan usaha-usaha pemanipulasian sejarah sebagai tonggak berbangsa dan bernegara. Perjuangan anak bangsa untuk melawan kekuasaan yang coba mengkhianati cita-cita pendiri negeri ini.

Semoga kedepannya sejarah bangsa ini akan terang benderang dengan keinginan untuk belajar pada sejarah. Dan bersama itu, bangsa kita akan menjadi bangsa yang sadar bahwa kemerdekaan bangsa ini bukan hadiah namun direbut dengan perjuangan yang bulat. Sebulat kita memandang persamaan persepsi pada tujuan berbangsa dan bernegara.
Edi Sembiring
 
Sumber bacaan :

No comments: