Friday 24 December 2010

LIMA SURAT UNTUK IBU

Bisikan Kata, Teriakan Kota, Antologi Puisi Temu Sastra Jakarta. Penerbit Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya, 2003
LIMA SURAT UNTUK IBU
oleh edi santana

Surat Pertama : Jakarta Bertambah Harum
Kapal telah terantuk di dermaga. Kakiku pincang melangkah di antara sampah-sampah Jakarta. Di antara bualan politik di serambi istana, botol-botol parfum globalisasi, liur-liur yang menetes di pinggiran real estate, map-map lusuh bundelan lamaran, mayat-mayat hidup di kolong-kolong. Udaranya menyesakkan, tidak seperti nafasmu, Bu. Pagi tadi saudara kita juga tiba di kota ini. Aku sambut tidak dengan sirih, tapi lirih yang menetes. Tes. Tes. Tes..... Sungai memeluknya, menghantarkan mayat di tepi ini. Jakarta bertambah harum. Keringat, tangis, liur, bangkai penuh belatung.

Surat Kedua : Siapa Yang Menanak Nasiku Kelak?
Ingatkah ibu pada nasi yang dulu ditanak? Tutupnya naik turun, uap panas menyeruak. Rinduku pun tak bisa tersimpan rapat. Padamu dan manusia berkelamin sepertimu. Aku yakin dia cantik - seperti ibu - dalam gaun pengantin putihnya, setetes darah di sudutnya. Darah itu milik suaminya kini. Aku tak menyisakan apa-apa, perih-perih dari gaun putih di jemuran esok. Airnya menetes pelan, lamat, lambat, mampat benak sesaat. Mungkin pagi-pagi berikutnya, nasi di tanak untuk lelaki yang memeluk tubuh bugilnya. Dan tutupnya naik turun. Siapa yang akan menanak nasiku kelak?

Surat Ketiga : Kelelawar Menari di Purnama
Aku berada di antara keringat-keringat. Di antara dengus-dengus. Di sela-sela mimpi dan ronta tercekat. Tangan tak diam, otak menari gila. Beratus-ratus rantai mengikat jiwa-jiwa pada pilar-pilar roda yang meludahi keping-keping emas. Tiada yang berani berbisik akan gaji tak cukup atau istri yang belum pernah menggoreng ayam, atau anak-anak menanti baju baru di gerbang sore. Ada kelelawar berbaju emas menari cha cha di bumbungan atap. Telinga lebar amat awas. Taringnya meneteskan mazmur-mazmur nabi palsu, ia penetrasikan ruh-ruh kepasrahaan diri. Mandul dan robot berjalan, menanti di akhir bulan, ketika kelelawar menari di purnama.

Surat Keempat : Hewan Itu Tertawa Puas
Dulu si Iwan jadi gila karena menggigit anjing gila. Orang-orang menertawai ulahnya dan jadilah dia gila yang sejati. Dikumpulkan bersama manusia-manusia gila di rumah yang gila. Kemerdekaan ada di sana, kebebasan santapan utama layak dicicipi. Manusia menjadi harimau bagi dirinya. Mereka tercipta berkulit manusia. Mereka bukan bangkai walau jiwa dikucilkan bagai binatang. Dan binatang itu tampil di TV sore. Tertawa puas. Sebuah kemerdekaan tersimpul di bibirnya dari panggung dagelan. Bersama binatang-binatang lain, mereka berhasil memusnahkan manusia-manusia di Legian.

Surat Kelima : Biarlah Aku Kembali Lalui Vaginamu.....
Sepi di antara mimpi. Akal-akal yang palsu terselubung debu waktu. Malam dan siang bagiku kembar. Gendang telinga rindu akan omelan ibu. Memakan hari, memuntahkan syair-syair. Tapi syair-syair takkan menyilaukan betina-betina yang tak berpemilik. Peta harta karun di kain lurik lusuhmu telah menipu, walau Bapak memukul manja pantatku untuk beranjak ke kota ini dan tapaknya jelas terlukis. Mungkin Desember ini aku tak pulang, jangan risaukan aku. Jangan kirimi aku Sinterklas. Aku tak mengidam itu. Yang kuingin bila Tuhan ijinkan, biarlah aku kembali lalui vaginamu dan tidur untuk selamanya di hangat rahimmu. Aku rindu peluk dan kasihmu, Bu. Di situlah kejujuran bersumber dari seorang wanita.

Bekasi, 27 November 2002
Puisi ini masuk dalam Antologi : 
Bisikan Kata, Teriakan Kota, Antologi Puisi Temu Sastra Jakarta. Penerbit Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya, 2003

No comments: