21 AGUSTUS 1982
Majalah Tempo
DENGAN matatuanya, dari atas pembaringan di Rumah Sakit Sumber Waras, Tan Tjeng Bok alias Pak Item hampir tak percaya. Berpuluh
tahun lewat, tiba-tiba wanita itu sekarang ada di depan matanya, awal bulan
ini. "Engkau masih mengenal
saya?", tanya wanita tua itu. Dengan suara lemah terbata-bata, tapi
penuh gairah, Pak Item menjawab: "Ya,
ya. Engkau adalah Erni."
Matanya berkilat-kilat. Keduanya berpelukan, berurai
airmata. "Akhirnya engkau datang
juga," ujar Tan Tjeng Bok,
83 tahun, aktor tiga zaman itu yang pernah terkenal sebagai Douglas Fairbanks van Java.
Si Erni adalah Miss Dja
alias Devi Dja atau Dewi Dja, kini 68 tahun, yang namanya pernah gemerlapan
sebagai primadona grup sandiwara The
Malay Opera Dardanella di masa sebelum perang. Pak Item adalah bekas salah
seorang teman bermainnya di panggung. Dewi Dja pernah menjadi buah-bibir di
kalangan para penggemar sandiwara di banyak kota di Nusantara.
Potretnya sempat menghias beberapa penerbitan waktu
itu. Ia pemain sandiwara, penyanyi dan penari. Dewi Dja yang juga pernah
dikenal sebagai seniwati di beberapa kota di Asia, Eropa dan Amerika itu sejak 1951 menjadi warga negara AS dan
menetap di Los Angeles. Ia tiba 5 Agustus lalu di Jakarta atas undangan Panitia
Festival Film Indonesia yang pekan lalu berlangsung di Jakarta.
"Bertemu
kembali dengan Pak Item, saya ingat kembali masa muda. Sekarang kami sudah
sama-sama tua. Heran juga, kenapa bisa tua ya?", ujar Dewi Dja
tertawa. Meskipun rambutnya sudah memutih dan kulit keriput, gerak-geriknya
masih lincah. Suaranya juga tetap mantap, bahkan tawanya masih keras dan lepas.
Giginya juga tetap rapi dan utuh.
"Sejak dulu
saya tak pernah suka makan yang manis-manis, terutama gula-gula,"
katanya minggu lalu di Hotel Indonesia, tempatnya menginap di Jakarta. Banyak
orang bertanya apa resep Dewi Dja yang awet muda itu. Tampaknya mungkin karena
justru ia selalu bekerja konsisten dengan bidangnya dan selalu gembira. Ia
mengaku selalu minum jamu dan menyukai sayuran dan buah-buahan. Di AS kini, ia
menggemari peach, semacam kesemek yang rasanya asem-asem manis. "Dan sampai sekarang saya suka petis udang,"
katanya sambil tertawa. Ia rajin bersenam dan tidak lupa jogging, lari-lari.
Dewi Dja, anak sulung dari tiga bersaudara, lahir 1
Agustus 1914 di Sentul, Yogyakarta, dengan nama Soetidjah. Ayahnya, Satiran
Adiredjo, adalah pendiri stamboel (grup
sandiwara). bernama Pak Adi yang juga dikenal sebagai penabuh gamelan waktu
itu. Sang ayah masih hidup sampai sekarang -- tinggal di Jember. Seorang adik
Dewi Dja yang masih hidup, yaitu Dewi Kusnah (kini tinggal di Surabaya)
menemani Dewi Dja selama kakaknya itu berkunjung ke mari.
"Tapi ada
belasan saudara lagi dari pihak ibu tiri saya," tutur Dewi Dja. Karena
Adiredjo hanyalah orang kebanyakan, dan kurang mampu, ia tak sempat
menyekolahkan anak-anaknya. "Saya
tidak bersekolah. Sekolah desa saja tidak," tambah Dewi Dja. Dalam
grup sandiwara pimpinan ayahnya itulah Soetidjah dan Kusnah menari dan
menyanyi. Dari Yogya, Pak Adi berkeliling Jawa Timur.
Pada suatu hari, mereka bermain di Rogojampi tak jauh
dari Banyuwangi. Pada waktu bersamaan, grup sandiwara yang lain, Dardanella pimpinan Willy Klimanoff
yang sudah terkenal, main di Banyuwangi. Tidak lama kemudian Willy Klimanoff melamar Soetidjah.
"Ternyata
Klimanoff melihat pertunjukan kami. Katanya ia tertarik pada saya ketika saya
menyanyikan lagu Kopi Soesoe yang ketika itu memang sedang populer," tutur
Dewi Dja. Pak Adi sebenarnya tidak mengizinkan putrinya menikah dengan orang Rusia kelahiran Penang itu, kalau
saja bukan asisten wedana yang membantu meminangnya. Soetidjah sendiri, ketika
itu 14 tahun, sesungguhnya tertarik pada kepribadian Klimanoff, yang lebih
terkenal dengan panggilan Piedro, "Dia
ramah dan lemahembut," kenang Dewi Dja.
Maka bergabunglah Soetidjah dengan Dardanella, tempat
ia kemudian meniti jenjang karir. Dalam Dardanella pula ia belajar membaca dan
menulis huruf Latin. "Setiap hari
ada jam-jam tertentu Klimanoff mengajar baca-tulis pada anggota rombongannya,"
kata Dewi Dja. Anak-anak wayang yang semula main tanpa teks itu, juga mengenal
naskah tertulis dari Piedro.
Dalam kebanyakan cerita-cerita yang dipentaskannya,
Piedro (warganegara Inggris), tak lupa menyelipkan sindiran-sindiran terhadap pemerintah kolonial Belanda pada saat
itu. Misalnya menceritakan mengenai candi
Borobudur yang tak terawat dan ketika itu tertutup oleh rerumputan dan
lumut. Ini menggambarkan bagaimana pemerintah
kolonial berusaha menutup-nutupi kebesaran kebudayaan bangsa Indonesia.
Ketika mereka mementaskan
Si Digoel, pimpinan Dardanella dan
beberapa aktor seniornya dijebloskan dalam penjara. Waktu itu memang banyak pemimpin pergerakan nasional yang
diasingkan ke Digoel, Irian. Dardanella tidak jera. Mereka mementaskan
beberapa cerita lain yang tak kurang tajamnya, seperti Perantaian 99. Ketika itu Dewi Dja belum terkenal, hanya kebagian
peranan pembantu atau sebagai biduan dalam acara-acara selingan antara babak-babak
sandiwara saja.
NAMA Dewi Dja mulai menanjak ketika ia memerankan Sukaesih, tokoh utama dalam Dokter Samsi karangan
Andjar Asmara, sebuah lakon dengan latar-belakang pergerakan nasional --
dua tahun sejak Soetidjah bergabung dengan Dardanella. Tokoh Soekaesih
sebenarnya akan diperankan Miss Riboet.
Tapi karena pada saatnya Miss Riboet sakit, Soetidjah tampil menggantikannya.
Meskipun usianya baru 16 tahun, akting Soetidjah cukup
meyakinkan. Dan sejak itulah ia muncul sebagai primadona, terkenal dengan nama
Dewi Dja. Di zaman itu honorarium anak wayang sangat sedikit. Para pemain
stamboel biasanya hanya seperak atau tiga talen sekali main.
"Itu sudah
lumayan, karena ketika itu harga beras sekilo lima sen," ujar Dewi
Dja. Tapi honorarium yang cukup besar diterima oleh para pemain toneel
Dardanella. Tan Tjeng Bok misalnya, semalam menerima 10 perak, sementara Fifi Young dan Miss Riboet menerima
tujuh perak. Rombongan Dardanella yang sempat bermain hampir di seluruh
Indonesia itu sudah ratusan kali memainkan lakon Dokter Samsi. Dewi Dja ingat
betul betapa sambutan masyarakat dan pers kala itu ketika ia bermain di Gedung
Thalia di Mangga Besar, Jakarta.
“Koran-koran
mengkritik dan memuji. Bahkan banyak yang menyarankan, agar Dardanella juga
memperkenalkan kesenian sampai ke luar negeri," cerita seniwati
serba-bisa itu. "Ketika keluar dari
Indonesia saya sweet seventeen, ketika itu masih segersegernya," ujar
Dewi Dja terkekeh-kekeh. Maka melawatlah Dardanella ke Hongkong, New Delhi,
Karachi, Bagdad, Basra, Beirut, Kairo, Yerusalem, Athena, Roma. Terus keliling
Negeri Belanda, Swiss, Jerman. Rombongan besar ini terdiri dari sekitar 150
orang lebih.
"Ketika
pecah Perang Dunia I, kami berada di Munich," tutur Dewi Dja. Selama
di luar negeri, nama Dardanella diubah
menjadi The Royal Bali-Java Dance. "Kami lebih mengutamakan tari-tarian daripada sandiwara, sebab khawatir
penonton tidak tahu bahasanya," tambahnya. Meski begitu, ketika di New Delhi mereka sempat memainkan
Dokter Samsi. Bahkan perusahaan film negeri itu, Radha Film Coy, sempat memfilmkannya.
Piedro dan Dewi Dja konon juga sempat menginap di rumah Mahatma Gandhi, Bapak
Republik India itu. Tari-tarian mereka pun, seperti serimpi (yang mereka
pelajari dari kraton Jawa di Sala dan Yogya) atau tari Bali, di India dianggap
merupakan semacam pembaharuan dari tari-tarian India. Maklum, agaknya lantaran
sumbernya sama. Di AS, rombongan Royal Bali-Java Dance berkeliling hampir ke
seluruh kota besar dengan sponsor Columbia.
"Kami
keliling, tidur di trem saja. Cuma di New York menetap dua minggu,"
tutur Dewi Dja. Perang Dunia II pecah, dan Indonesia
diduduki Jepang, rombongan itu tidak bisa pulang. Setelah perang usai
anggota rombongan tinggal belasan orang, sebab sebagian berusaha pulang. Dan
semangat pun mulai luntur. Untuk menyambung hidup, Piedro dan Dewi Dja membuka niteclub Sarong Room di Chicago,
yang sayang terbakar habis pada 1946. Sampai di sini rupanya Piedro benar-benar
sudah capek. Ia meninggal di Chicago pada 1952.
Ketika Sutan
Syahrir memimpin delegasi RI untuk memperjuangkan pengakuan internasional
terhadap kemerdekaan Indonesia di PBB (1947), ia sempat memperkenalkan Dewi Dja sebagai duta kebudayaan kepada
masyarakat AS. Dan namanya pun makin dikenal di negara itu. Sebab itu tak
sulit baginya mendapatkan kewarganegaraan AS.
Tahun-tahun pertama ditinggal suami," saya sering menangis. Saya ingin pulang.
Rasanya ingin sekali mencari ayah yang saya anggap telah hilang akibat perang,"
kata Dewi Dja dengan tenang. Hari Selasa 17 Agustus lalu, Dewi Dja bersama para
artis tua Tangkiwood hadir di Istana Merdeka, turut merayakan
perayaan kemerdekaan tersebut. Tapi sepeninggal Piedro, Dardanella masih sempat
berkeliling. Dewi Dja melatih para artis
AS menari berbagai macam tarian daerah Indonesia.
"Ketika itu
susah sekali, hidup saya sulit. Tapi waktu itu nama saya besar," tutur
Dewi Dja. Untunglah banyak bintang film yang membantunya. Ia akrab dengan Greta Garbo, Carry Cooper, Bob Hope, Dorothy Lamour,
Bing Crosby. Dewi Dja juga sempat bermain dalam beberapa film, antara lain The Moon And Sixpence, riwayat hidup pelukis Prancis Paul Gaugin.
Berita Dewi Dja di Harian Lokal |
Selain mengisi acara televisi Los Angeles, Dewi Dja
juga pernah membuka usaha menyalurkan para artis terutama yang berdarah Asia.
Dan dalam masa pensiun sejak tiga tahun lalu, ia masih sempat melatih tari bagi
para remaja Indonesia dan AS. Ia juga menerima semacam dana pensiun dari Union Artists tempatnya bergabung.
"Cukuplah untuk makan,"
katanya.
TAK lama setelah Piedro meninggal Dewi Dja menikah
dengan seorang pelukis berdarah Indian. Hanya setahun, karena si pelukis suka
mabuk. Ia pun kemudian kawin dengan Ali
Assan, pesilat asal Gresik yang juga
menetap di AS. Tapi beberapa tahun kemudian mereka pun bercerai. Kini Dewi
tinggal di kawasan Mission Hill, sekitar San Fernando Valley, 22 km utara Los
Angeles.
Di rumah berkamar tiga di pinggiran kota itu ia
tinggal bersama Ratna Assan,
satu-satunya anak kandung Dewi Dja dari perkawinannya dengan Ali Assan. Ratna Assan yang kini sering menari di
televisi dan niteclub, pernah bermain bersama Steve McQueen dalam film Papillon.
Pada hari-hari tertentu Dewi Dja masih sempat bermain di Valencia. Di sana ada California Institute of The Arts, yang juga
memberikan pelajaran tari Jawa dan Bali.
Rumah bekas primadona di kaki Pegunungan San Gabriel
itu tampaknya nyaman. Ada kebun cukup luas di belakang dengan beberapa tanaman
bunga. Namun agaknya ia masih menyimpan perasaan rindu pulang. Ia mengaku sudah
tidak ingin makanan enak atau pakaian yang indah-indah. Dan ingin sekali
berlama-lama tinggal di perkampungan desa di Indonesia.
"Saya ingin
merasakan suasana yang rileks dan tenteram," katanya dengan polos. Dan
dengan lirih ia pun berkata: "Saya
ingin membuat kuburan di sini, kalau bisa dekat makam Bung Karno di
Blitar".
Sumber : Tempointeraktif.com.
Sumber : Tempointeraktif.com.
No comments:
Post a Comment