Amir
Hamzah (lukisan pena Dede E. Supria). Gambar : Buku “Amir Hamzah Pangeran dari
Seberang
|
“Raja
telah jatuh, rakyat berkuasa! Raja telah jatuh, rakyat berkuasa!”
“Rakyat
menjadi hakim! Hidup rakyat! Musnahkan kaum bangsawan!”
4
Maret 1946, seruan-seruan itu terdengar riuh di Istana Binjai. Kala itu,
sekelompok pemuda menyeruak masuk ke halaman istana. Mereka menuntut agar
bendera kerajaan yang bersanding dengan bendera merah putih, diturunkan. Lagu
“Darah Rakyat” berkumandang. Suara para pemuda itu membahana. Senja koyak.
Tengku
Amir Hamzah, Bupati Binjai dari Indonesia yang juga menantu Sultan Langkat
sekaligus petinggi negara Langkat, membiarkan barisan “wakil rakyat” merusak
ruangan istana kerajaan. Meski terjadi kerusakan, hari itu tidak ada
penganiayaan.
“Tinggallah
buah hati Entu (ayah). Baik-baiklah dan jangan nakal!” begitu ucap Amir kepada
Si Kuyung kala laskar pemuda menjemputnya.
Amir
diciduk oleh Laskar Pesindo pada 7 Maret 1946 dengan mobil pick up. Berbaju
kemeja putih lengan panjang, ia sempatkan melambaikan tangannya pada
orang-orang yang ingin menyalaminya di jalan. Bersama tahanan lain, Amir
dikumpulkan di Jalan Bonjol, Binjai, lalu dikirim ke perladangan Kuala Begumit
untuk menjalani hukuman.
Di
Kuala Begumit, pakaian Amir dilucuti, diganti dengan celana goni. Para tahanan
diperintahkan menggali lubang; lubang kuburan mereka sendiri.
Satu
demi satu para tahanan ditutup rapat matanya. Tangan diikat kuat ke belakang.
Sang
algojo ternyata tak lain adalah Mandor Iyang Wijaya, pelatih kesenian dan silat
kuntau di Istana Langkat, yang juga merupakan kesayangan Amir. Sebelum melakukan
eksekusi, ia mengabulkan permintaan terakhir Amir. Amir hanya meminta dua hal.
Pertama, ia meminta tutup matanya dibuka karena ingin menghadapi ajalnya dengan
mata terbuka. Kedua, Amir meminta waktu untuk salat sebelum hukuman dijatuhkan.
Kedua permintaan Amir ini dikabulkan.
Usai
salat, Sang Pujangga pun menerima ajalnya. Ia pergi menghadap sang Khalik dalam
usia 35 tahun. Kepalanya putus.
Pada
November 1949, penggalian kuburan massal di Kuala Begumit dilakukan. Satu di
antara beberapa lobang yang digali, selain berisi kerangka manusia, ditemukan
sebentuk cincin emas bermata nilam, warna bunga kecubung, dan seuntai jimat
dari benda timah milik Amir. Dalam pemeriksaan di pengadilan, Mandor Iyang
Wijaya, juga mengaku telah melakukan pemancungan atas leher puluhan manusia di
Kuala Begumit, termasuk di antaranya pujangga Amir Hamzah.
Dari
Medan, kerangka Amir pun dibawa ke Tanjungpura, disemayamkan di rumah rendah
Rantau Panjang dan dikebumikan selayaknya menurut agama Islam di samping Masjid
Azizi, Tanjungpura, Langkat, dekat makam ibu bapaknya.
Amir
Hamzah sebenarnya telah mendengar rencana penyerbuan itu, dari kakaknya, Tengku
Noyah, namun ia berkata :
“Lari dari Binjai patik pantang. Patik adalah keturunan Panglima, kalah di gelanggang sudah biasa. Dari dahulu patik merasa tiada bersalah kepada siapa. Jadi salah besar dan tidak handalan, kalau patik melarikan diri ke kamp NICA di Medan. Sejak Sumpah Pemuda, patik ingin merdeka.
Ia
yang dijuluki Raja Penyair Pujangga Baru sudah mewariskan sekitar 160 karya
berupa lima puluh sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, satu
prosa liris terjemahan, tiga belas prosa asli, dan satu prosa terjemahan.
Karya-karyanya yang terkenal terkumpul dalam antologi Buah Rindu (1941) dan
Nyanyi Sunyi (1937). Selain itu, ia menerbitkan pula sekumpulan sajak terjemahan
dari negeri tetangga, seperti Jepang, India, Arab, Persia, dan lain-lain dalam
antologi Setanggi Timur (1939) dan terjemahan Bhagawat Gita yang dipetik dari
Mahabarata.
Atas
karyanya yang gemilang, A. Teeuw menyebutnya sebagai, “the only pre-war poet in
Indonesia whose works reaches international level and is of lasting literary
interest” (satu-satunya penyair sebelum masa perang di Indonesia yang
karya-karyanya berkelas internasional dan abadi).
Atas
usulan masyarakat, karena telah mengembangkan kebudayaan, khususnya
kesusastraan, Tengku Amir Hamzah akhirnya ditabalkan menjadi Pahlawan Nasional
sejak 10 November 1975 berdasarkan Surat Keputusan Presiden No.106/TK Tahun
1975. Dunia mengakui, bahwa seluruh pengorbanan dan prestasi yang telah dicapai
takkan bisa turut terpancung bersama jasadnya. Semua penghargaan ini seakan
mengamini bahwa hanya dengan tragedi kita tahu apa atau siapa yang seharusnya
kita hargai.
Kematian
Tengku Amir Hamzah adalah ironi sebuah revolusi yang tak pernah dapat
diramalkan jangkauannya. Di satu pihak, ia adalah wakil yang harus melindungi
Sultan dan kebesaran kerajaan, tapi di pihak lain ia adalah bupati Indonesia
yang seharusnya bergabung dengan massa untuk memimpin revolusi. Inilah fakta
sejarah, betapa kejamnya sebuah revolusi yang tak pernah mengenal siapa lawan
dan siapa kawan.
Sang
Pujangga memang tidak pernah dapat memihak. Zaman yang dihadapi seorang Amir
Hamzah adalah zaman pertemuan dari berbagai pengaruh.
Sesuai
dengan larik sajak yang pernah ditulisnya,
“Hancur badanku, lahir badanku, dari gelombang dua berimbang, akulah buih dicampakkan tepuk, akulah tisik rampatan mega, suara sunyi di rimba raya— Akulah gema tiada berupa."
Menurut
Wikipedia tentang Revolusi Sumatera Timur :
Di
Tanjung Balai, Asahan 3 Maret 1946 sejak pagi ribuan massa telah berkumpul.
Mereka mendengar bahwa Belanda akan mendarat di Tanjung Balai. Namun kerumunan
itu berubah haluan mengepung istana Sultan Asahan.
Awalnya
gerakan massa ini dihadang TRI namun karena jumlahnya sedikit, massa berhasil
menyerbu istana sultan. Besoknya, semua bangsawan Melayu pria di Sumatera Timur
ditangkap dan dibunuh. Hanya dalam beberapa hari, 140 orang kedapatan mati,
termasuk para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan sebagian besar kelas
tengku.
Di
Tanjung Balai dan di Tanjung Pasir hampir semua kelas bangsawan mati terbunuh.
Sedangkan
di Simalungun, Barisan Harimau Liar membunuh Raja Pane. Gerakan ini juga
memakan korban yang terjadi di Tanah Karo.
Di
daerah kesultanan besar, Deli, Serdang, dan Langkat Persatuan Perjuangan
mendapat perlawanan. Serdang yang memang dalam sejarahnya anti-Belanda tidak
terlalu dibenci masyarakat dan juga terlindung karena ada markas pasukan TRI di
Perbaungan.
Sedangkan
istana Sultan Deli terlindung karena adanya benteng pertahanan tentara sekutu
di Medan sedangkan istana Langkat juga terlalu kuat untuk diserbu.
Pergolakan
sosial berlanjut pada 8 Maret. Sultan Bilah dan Sultan Langkat ditangkap lalu
dibunuh. Berita yang paling ironis adalah pemerkosaan dua orang putri Sultan
Langkat, pada malam jatuhnya istana tersebut, 9 Maret 1946 dan dieksekusinya
penyair terkemuka Tengku Amir Hamzah.
Meskipun
pemerkosa ditangkap dan dibunuh namun revolusi telah melenceng jauh.
Gerakan
itu begitu cepat menjalar ke seluruh pelosok daerah Sumatera Timur oleh para
aktivis PKI, PNI dan Pesindo. Puluhan orang yang berhubungan dengan swapraja
ditahan dan dipenjarakan oleh lasykar-lasykar yang tergabung dalam Volksfront.
Di
Binjai, Tengku Kamil dan Pangeran Stabat ditangkap bersama beberapa orang
pengawalnya. Istri-istri mereka juga ditangkap dan ditawan ditempat berpisah.
Pada
tanggal 5 Maret Wakil Gubernur Mr. Amir mengeluarkan pengumuman bahwa gerakan
itu suatu “Revolusi Sosial”.
Keterlibatan
aktivis Partai Komunis dalam revolusi sosial di Sumatera Timur memberikan
kontribusi besar; terlebih lagi tanggal 6 Maret 1946, Wakil Gubernur Dr. Amir
secara resmi mengangkat M. Joenoes Nasoetion, yang juga ketua PKI Sumatra Timur
sebagai Residen Sumatera Timur.
Untuk
meminimalkan korban Revolusi Sosial, Residen Sumatera Timur M. Joenoes Nasution
untuk sementara waktu bekerjasama dengan BP.KNI maupun Volksfront, dan Mr. Luat
Siregar diangkat menjadi Juru Damai (Pacifikator) untuk seluruh wilayah
Sumatera Timur dengan kewenangan seluas-luasnya.
Revolusi
ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan
dengan alasan antifeodalisme. Revolusi melibatkan mobilisasi rakyat yang
berujung pada pembunuhan anggota keluarga kesultanan Melayu yang dikenal
pro-Belanda namun juga golongan menegah pro-Republik dan pimpinan lokal
administrasi Republik Indonesia.
Meletusnya
revolusi sosial di Sumatera Utara tidak terlepas dari sikap sultan-sultan,
raja-raja dan kaum feodal pada umumnya, yang tidak begitu antusias terhadap
kemerdekaan Indonesia karena setelah Jepang masuk, pemerintah Jepang mencabut
semua hak istimewa kaum bangsawan dan lahan perkebunan diambil alih oleh para
buruh.
Kaum
bangsawan tidak merasa senang dan berharap untuk mendapatkan hak-haknya kembali
dengan bekerja sama dengan Belanda/NICA, sehingga semakin menjauhkan diri dari
pihak pro-republik.
Sementara
itu pihak pro-republik mendesak kepada komite nasional wilayah Sumatera Timur
supaya daerah istimewa seperti Pemerintahan swapraja/kerajaan dihapuskan dan
menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi rakyat sesuai dengan semangat
perjuangan kemerdekaan.
Namun
pihak pro-repbulik sendiri terpecah menjadi dua kubu; kubu moderat yang
menginginkan pendekatan kooperatif untuk membujuk kaum bangsawan dan kubu
radikal yang mengutamakan jalan kekerasan dengan penggalangan massa para buruh
perkebunan.
sumber bacaan :
Ku Busu yang Bukan Peragu (Lentera Timur.com)
Sang Pangeran yang Selalu Berada di Tengah (Lentera Timur.com)
sumber bacaan :
Ku Busu yang Bukan Peragu (Lentera Timur.com)
Sang Pangeran yang Selalu Berada di Tengah
No comments:
Post a Comment