oleh sitok srengenge
Pada parasmu yang pucat
kubaca gurat isyarat:
cambuk angin
musim dingin,
perusuh yang kembali
dengan sisa dengki laskar Stasi
Cahaya terkubur di kota yang tisur,
anak-anak dan perempuan dari Timur
mimpi sekerat roti dan seteguk anggur
Sungguh, kausuguhkan padaku
malam itu:
letus tulang di tungku krematorium
dan kuntum-kuntum gandum yang alum
Selebihnya selingkup selimut,
selembut dan selembab kabut
digetar guruh yang meronta
jauh di relung hutan cemara
Dan kita pun tiarap,
dan napas pun tersekap
Kamar jadi sesunyi ruang kremasi
lenguh luluh terpanggang api birahi
Di balik matamu yang terpejam,
seorang perempuan membakar Mein Kampf diam-diam
Kata-kata perkasa si Fuhrer lantak ke dalam sekam,
seperti bara tubuhmu yang gemeretak padam
Sejarah, remah, gairah, kembali susut ke tanah,
tempat awal dan akhir langkah bertaut di satu noktah
“Bahkan kau yang berjalan dengan khayal
kelak istirah di sebuah negeri oriental:
sejenak jiwa
di sejengkal Jawa.
Tapi sukmaku akan senantiasa mengembara
mencari tanah yang dijanjikan, entah di mana.”
Selapang yang kaubayangkan, ribuan mil,
terbentang antara Eifrat dan Nil
Tapi kaummu merebut,
tapi kaummu terenggut
Burung-burung
lintas di remang bayang gedung,
tapi kaulihat diri sendiri, gamang di kegelapan
bicara dalam bahasa orang Selatan
Langit bagai telungkup nyiru
dengan geletar cahaya sohal
“Aku ingin kembali, Ibu.
Anakmu masih bocah nakal.”
1997
(Dikutip dari Nonsens, Kalam & KITLV, Jakarta, 2000, hal. 104-106)
No comments:
Post a Comment