Friday 28 March 2003

Memento Mori

oleh sitok srengenge

Pada parasmu yang pucat
kubaca gurat isyarat:
cambuk angin
musim dingin,
perusuh yang kembali
dengan sisa dengki laskar Stasi

Cahaya terkubur di kota yang tisur,
anak-anak dan perempuan dari Timur
mimpi sekerat roti dan seteguk anggur

Sungguh, kausuguhkan padaku
malam itu:
letus tulang di tungku krematorium
dan kuntum-kuntum gandum yang alum

Selebihnya selingkup selimut,
selembut dan selembab kabut
digetar guruh yang meronta
jauh di relung hutan cemara

Dan kita pun tiarap,
dan napas pun tersekap
Kamar jadi sesunyi ruang kremasi
lenguh luluh terpanggang api birahi

Di balik matamu yang terpejam,
seorang perempuan membakar Mein Kampf diam-diam
Kata-kata perkasa si Fuhrer lantak ke dalam sekam,
seperti bara tubuhmu yang gemeretak padam
Sejarah, remah, gairah, kembali susut ke tanah,
tempat awal dan akhir langkah bertaut di satu noktah

“Bahkan kau yang berjalan dengan khayal
kelak istirah di sebuah negeri oriental:
sejenak jiwa
di sejengkal Jawa.
Tapi sukmaku akan senantiasa mengembara
mencari tanah yang dijanjikan, entah di mana.”

Selapang yang kaubayangkan, ribuan mil,
terbentang antara Eifrat dan Nil
Tapi kaummu merebut,
tapi kaummu terenggut

Burung-burung
lintas di remang bayang gedung,
tapi kaulihat diri sendiri, gamang di kegelapan
bicara dalam bahasa orang Selatan

Langit bagai telungkup nyiru
dengan geletar cahaya sohal
“Aku ingin kembali, Ibu.
Anakmu masih bocah nakal.”

1997
(Dikutip dari Nonsens, Kalam & KITLV, Jakarta, 2000, hal. 104-106)

No comments: