Tuesday 8 April 2003

Malaikat Yang Menangis Di Tepi Jalan

....ada banyak jiwa-jiwa yang rapuh. Sekeras mentari yang menggiring waktu, tiap detik berucap doa dan pinta. Ucap syukur hanya titik dan koma. Itupun ketika kesadaran timbul oleh pencobaan. Sedikit yang berjaga-jaga pada kesalahan lalu, lumpur dosa berulang ada jelas tertinggal pada jejak-jejak hidup yang melangkah. Dan setan menjadi anjing-anjing dengan hidung kembang kempis membaui jejak-jejak, liurnya menetes hangat. Dirinya, wujud suci tiada kenistaan, kian menangis mencari jalan. Bukan untuk merubah alur, itu permainan Tuhan. Hanya ingin memberikan keteduhan, sayapnya akan mendamaikan jiwa-jiwa rapuh. Sungguh manusia punya banyak keterbatasan seperti dirinya hanya menjadi mahluk benar. Ia tak punya kesempatan untuk melakukan dosa.(sebuah catatan kecil)

Jakarta sekali lagi menjadi indah di malam hari setelah siang melukiskan keanggunan gedung-gedung yang berlomba mencakar awan biru. Di langit yang bermahkotakan bintang-bintang, Jakarta meninggalkan kerlap-kerlip pada lampu-lampu neonnya. Cahaya warna-warni menulis malam dalam bahasa tiada hening. Manusia-manusianya berjalan pada gorong-gorong hidup menjadi jiwa-jiwa yang mencari mimpi di balik alur rutinitas yang dijalani.

Di tepi jalan itu, sebuah wujud menatap segala pesona. Akan hidup yang tiada lelah pada lalu lalang kenderaan. Pada manusia-manusia yang hilir mudik, pada mimpi-mimpi yang berjalan sejajar dengan pemiliknya. Ucapnya membatin mencari bentuk. Ada sebuah pencarian akan niatan sucinya. Tapi ia belum melihat wujud itu pada bau malam yang meniupkan penat matahari di siang tadi.

Sebuah nafas rapuh duduk tak jauh darinya. Sepertinya ia baru saja turun dari sebuah bis angkutan umum yang dijejali penumpangnya. Di tangannya ada keeping-keping. Tak banyak, hanya sekepal tangan tapi telapaknya seungguh kecil. Hembusan nafasnya meniupkan resah. Bocah itu menelan ludah yang kini tiada banyak. Mulutnya kering bersama belasan lagu-lagu yang ditawarkan di anatara pinggang-pinggang berjejal di tengah bis kota. Ia teringat keriput ibunya yang kian sayu terbaring di ranjang.

Di tepi jalan itu, sebuah wujud masih menatap terpesona. Ia kagum akan jiwa yang dimilikinya. Kasih milik si bocah kecil menyentak niatan sucinya. Wujud suci yang bernama malaikat bersorak girang. Ia menemukan sebuah pencarian. Ia ingin hadir pada jiwa-jiwa rapuh. Kelak bersamanya, jiwa itu tak lagi meranggas di musim kemarau tiada ujung. Ia beranjak menghampiri bocah kecil yang terduduk di tepi trotoar jalan. Memasuki jiwanya dan menjadi sama.

Kaki kecil itu berlari, mengejar bis kota yang memperlambat diri. Rodanya masih tetap berputar namun tak bergegas. Dan beberapa kaki turun tapi ada pula yang naik. Selanjutnya asap hitam mengepul meninggalkan debu yang tertinggal.

Kembali di antara tubuh-tubuh yang bergelantungan nyanyian kecil mengisi ruang yang sesak. Nada-nada itu melantun bersama aroma-aroma keringat beraneka macam. Kali ini lagunya sungguh merdu. Dari tubuh kecil nan hitam berserak syair-syair yang menyejukkan jiwa. Terkuasai galau menuju tepi, ada damai padanya. Seperti jauh di atas sana, bintang-bintang hanya beri sinar-sinar kecil, tapi padanya ada damai nan luas, seluas jagat tak berkesudahan. Dan mengalirlah recehan-recehan kecil memenuhi kantong miliknya.

Si bocah tertegun di tepi jalan setelah bis kembali melambatkan diri di perhentian berikutnya. Bibirnya tak mampu ucap sykur. Ada keheranan pada dirinya. Tapi ia harus beranjak sebelum malam kian pekat melaburi diri dengan jelaga surya.


* * * * *

Suara batuk di ranjang terhenti saatmatanya menyentuh tubuh kecil yang berlari ke dekapannya. Oh, boneka hitamnya telah pulang.

“Mak, aku bawa makanan untuk emak. Ada obat yang aku beli di warung di ujung jalan dekat jembatan bamboo. Semoga manjur,” ucap bocah itu sambil menunjuk bawaannya.

“Kau bawa apa? Kau tidak nyopetkan?” Tanya perempuan kurus itu. Ada keheranan pada matanya.

“Walah, emak ini gimana. Ya, dari ngamen. Entah mengapa malam ini aku banyak mendapat recehan. Mungkin laguku makin merdu kali,” katanya tak mengerti.

Sang ibu bangkit dari tidurnya. Di ranjang kayu yang tak jelas bentuknya menikmatio sebungkus nasi dengan lauknya. Bergantian ia menyulangkan nasi, ke mulutnya dan ke mulut si bocah. Meneguk air putih sambil menelan obat. Si bocah menatap harap, semoga obat itu dapat menyembuhkan.

Ia tak tahu apa penyakit ibunya. Hanya ia katakan ibunya telah terbaring seminggu diselimuti kain tipis bekas gendongannya dulu tujuh tahun yang lalu. Dan penjual warung di ujung jalan dekat jembatan tak mau ambil pusing. Sebuah obat murah peringan panas diberikan.

Malaikat kecil yang ada di dirinya sedikitpun tak bergeming. Ia mendesisi ucap haru. Dirinya hadir pada jiwa sang bocah, awalnya untuk membantunya. Ternyata bocah itu bernyanyi demi ibunya. Secepatnya ia berpindah ke dalam diri perempuan sayu itu. Ia ingin memberikan kesembuhan padanya. Untuk itulah ia lari dari semayam agung kumpulan orang suci. Baginya menatap saja dari surga bukanlah sebuah kenikmatan. Atau datang saat ajal harus dicabut.

* * * *

Pagi itu bukan lagi pagi yang hening. Suara gaduh di balik bilik bambu di belakang rumah tepis lelap mereka yang terbaring di dipan bamboo. Suara air yang ditimba mengguyur mimpi berkubang dengan akal. Dan terhenti saat kaki kecil menghampiri.

“Emak sudah sehat?” tanyanya tercengang. Ia takjub pada suasana yang didapatinya.

“Jangan banyak Tanya. Cepat buka baju dan mandi,”kata ibunya tak coba berpaling. Si bocah tertawa girang. Sudah lama ia tak diperlakukan seperti itu. Bibirnya menyimpan segudang senyum, dalam hati ada sebuah takjub untuk sebutir obat yang dibelinya malam tadi. Seakan ia menemukan wajah Tuhan di mikik penjaga warung.

* * * *

Dan seprti biasa lelaki tua itu pulang bersama bajai milik majikannya. Ia masih menyempatkan diri untuk mandi dan makan malam. Untunglah sang istri telah sembuh, bila tidak ia akan melanjutkan makan terbangnya di warung-warung kecil.

Di kamar di dapatinya sang istri sedang menyusun baju-baju. Tak ada lipatan halus dan licin. Mereka tak punya setrika arang apalagi listrik. Cukup tangan –tangan kasarnya merapikan setiap lipatan.

“Sudah pulang pak? Gimana hari ini?” tanya sang istri.

“Apes. Seperti kemarin. Setroran masih kurang kudapat. Entah mengapa penumpang makin sedikit. Kamu jangan boros-boros membelanjakannya,” kata suaminya sambil mengambil pakaian dan handuk.

“Boro-boro boros. Belanja aja kagak cukup. Entah mau jadi apa anak kita kelak, tubuhnya kering tak bergizi. Tapi pak, dia harus bayar SPP. Udah nunggak 4 bulan,” kata perempuan itus memelas.

Lelaki itu hanya bisa menghela napas dan pelan beranjak menuju kamar mandi. Mengguyur diri demi meringankan otaknya yang berkontraksi kencang. Persoalan bagi air yang terus menetes, menjadi orang susah saja ia tak sanggup, batinnya. Apalagi bila sebelanga air penuh rejeki tumpah di setiap detiknya, mungkin ia akan mati berdiri. Aku tak ingin kaya, ya Tuhan. Cukup kau beri kami kemampuan mensyukuri hidup tanpa sirik dan dengki. Tak perlu lagi ada gelisah dan resah.

* * * *

Ada banyak jiwa-jiwa yang rapuh. Sekeras mentari yang menggiring waktu, tiap detik berucap doa dan pinta. Ucap syukur hanya titik dan koma. Itupun ketika kesadaran timbul oleh pencobaan. Sedikit yang berjaga-jaga pada kesalahan lalu, Lumpur dosa berulang ada jelas tertinggal pada jejak-jejak hidup yang melangkah. Dan setan menjadi anjing-anjing dengan hidung kembang kempis membaui jejak-jejak, liurnya menetes hangat.

Dirinya, wujud suci tiada kenistaan, kian menangis mencari jalan. Bukan untuk merubah alur, itu permainan Tuhan. Hanya ingin memberikan keteduhan, sayapnya akan mendamaikan jiwa-jiwa rapuh. Sungguh manusia punya banyak keterbatasan seprti dirinya hanya menjadi mahluk benar. Ia tak punya kesempatan untuk melakukan dosa.

Ia telah ada pada diri lelaki tua itu saat telanjang di tepi sumur. Dan saat ini kembali mengitari kota menuju suatu tempat. Tumpukan kamar-kamar di sebuah rumah susun. Wajah manis dengan pakaian indah membuka pintu bajai setelah beberapa kali klakson bajainya berteriak nyaring.
“Ke tempat seperti biasa pak. Semoga malam kian merasuki mereka-mereka yang kesepian. Aku ada janji malam ini.”

“Langganan atau yang baru?” Tanya lelaki itu mencoba berbasa-basi. Otaknya masih menari entah di mana.

“Yang baru. Ada teman yang nyodorin dan tadi udah janjian. Biasa, lelaki muda kaya yang haus selangkangan, hahaha……..Tapi muka bapak kok suntuk banget. Sekali-kali cari yang happy-happy, jangan kerja melulu. Entar, akalu aku ada waktu yang kosong, kita bsia bersenang-senang bersama. Gratis, nggak usah bayar. Kalau dengan istri, sama aja makan dengans yur asem. Itu-itu melulu, kan bosan. Sekali-kali coba mencicipo sajian baru, hahaha……..” kata wanita itu emnggoda. Paras tubuhnya yang banal melekat pada aroma parfum yang terhantar memenuhi rongga dada lelaki itu. Menyesakkan lipatan pahanya yang tersentuh janji menggoda. Ia menelan ludah.

“Ah mbak bias aja. Keringat saya bau dan itu milik istri di rumah. Saya tak ingin nikmat, hanya hidup bias membahagiakan mereka yang di rmah. Nah,….sudah samapi, di sinikan?” Mahluk beroda tiga itu mulai menepi dan berhenti.

* * * *

Matanya terus mencari, menyusuri setiap jengkal tepi. Bersama asap knalpot dan bising yang terus meraung-raung membelah malam. Ada beberapa lamabaian tangan, mungkin juga lamabaian helaian uang-uang. Matanya buta meninggalkan rupiah-rupiah. Ini bukan lagi persoalan perut tapi nasib seseorang. Mungkin wanita itu sangat memerlukannya, di kota Jakarta yang ganas, apa saja bias terjadi. Apalagi untuk mahluk lemah yang bernama wanita, walau kadang justru lelaki terseret dengan bandul-bandul harap dan ingin oleh pesona daging tersulam wanita.

Kian roda berputar berjuta kali, jelaga malam jatuh membawa embun. Banyak nafas-nafas telah membaui malam di peraduan-peraduan. Rehat sejenak sebelum pagi memecut robot-robot berjalan. Jakarta sedikit hening di jalanan ini hanya sesekali beberapa kenderaan melaluinya. Dan di jalan ini pula, lelaki itu menyusuri tepian. Telah berulangkali ia kitari, jalan-jalan yang biasa ia lalui membawa wanita itu. Tempat-tempat biasa yang dikunjungi wanita itu.

Walau penat telah menyarungi tubuhnya yang ringih, ia masih punya satu tekad. Mencariw anita itu dan mengembalikan tas kecilnya. Yang tadi tertinggal di kursi belakang. Ia tak berani memeriksa isinya, hanya batinnya sadar wanita itu sangat memerlukannya. Cukuplah sepercik karunia surga yang diberikannya tadi. Toh dengan selembar uang lima puluh ribu rupiah itu, ia telah sangat tertolong. Membayangkan anaknya terus sekolah untuk mengeja hidup dan hari.

“Ahh…. itu dia,” bisiknya lirih. Secepatnya ia berhenti dan menyeruak keluar dari mahluk berbangun segitiga. Kakinya berlari kecil dan menghampiri. Menatap tak percaya pada malaikat malam berbaju ketat. Senyumnya tak lagi merah, tak lagi beraroma banal. Matanya berkubang tangis, membelah pipinya yang mulus dan jatuh setelah berjuntai sebagai titik-titik air mata. Yang ada hanya nada-nada perih bukan rintih-rintih nikmat yang pernah dibayangkannya di mulut-mulut pria yang jatuh dalam cengkaramannya, bersama cakar-cakar yang menanam benih nikmat yang menagihkan.

“Ada apa mbak? Kok bsisa begini? Mbak diapain?” tanyanya kalap.

Tubuh wanita itu menghambur ke pelukan tubuh lelaki itu. Terisak menangis. Membekas bayangan jilatan api neraka di dinding waktu beberapa jam yang lalu.

“Aku diperkosa mereka. Di sebuah kamar hotel dengan empat bajingan yang telah menanti. Dan kelimanya menggiliriku,” kata wanita itu sambil terisak-isak. Dirinya masih tak percaya sakan kejadi yang telah berlalu.

Lelaki itu memapahnya ke dalam bajai. Sepertinya ia harus membalas budi. Menyelamatkan seonggok tubuh lunglai yang duduk mengangkang menahan perih yang bias membangkitkan liur-liur anjing-anjing malam. Bersama malam yang masih berajalan lamabt, roda-roda itu berlari kencang. Membawa pergi isak tangis yangs elalu dating terlambat.

Tapi tangis itu tak sepenuhnya hilang di tepi jalan ini. Masih mengalir menggenangi hati sucinya. Terbayang raut ketidakpercayaan di wajah lelaki itu saat wanita itu memberi selembar uang. Ketika itu ia telah pindah ke tubuh wanita itu dan mngetuk hatinya untuk menyelamatkan jiwa rapuh di supir bajai langganannya. Dan selanjutnya ia masih tertanam di tubuh wanita itu, saat senyum-senyum binal wanita itu menggiring teman kencannya untuk berfantasi lebih jauh menuju sebuah hotel. Ia dan wanita itu terjebal di lingkaran nafus lima pria yang menatap rakus. Malaikat itu ingin menyelamatkan sang wanita , tubuhnya berlari ke jiwa-jiwa yang terbakar. Tapi setan-setan di diri mereka telah lama memenjarakan iman-iman di kandang keduniawian. Dan kuncinya telah dicampakkan di lautan neraka. Pergolakkkan tak mampu mengetuk nurani-nurani mereka, justru api dosa kian mereah bergolak marak dan kayu-kayu bakar yang bernam nikmat dan emosi menjadi kian kering,.

Malaikat itu lalu kembali ke tubuh wanita itu. Mencoba menyelamatkan jiwanya. Rontaan mahluk lemah itu kian menikmatkan mereka. Tak ada celah waktu tersisa untuk menghentikan p[ersetubuhan. Kian lama kian menghantarkan laknat. Dan mencampakkan sesal di tepi jalan ini.

Di tepi jalan ini, malaikat meratapi diri. Terperkosalah naiatan sucinya. Andai saat itu ia mengurungkan niat wanita itu, bukan berkeinginan lebih jauh untuk membuat tobat lelaki itu, mungkin tak akan terjadi seperti ini. Sayap-sayapnya patah tak mampu beri dekap yang damai. Mungkin ia tak bisa terbang kembqli ke atas menuju tahta agung keabadian. Noda-noda itu memercik di tubuhnya. Titiktitik kegalauan milik sang penyelamat jiwa-jiwa rapun. Ataukah malaikat itu telah diperkosa setan?

10maret2003

No comments: