Tuesday 8 April 2003

Mari Tertawa

Tertawa! Tertawalah!
Walau entah bagaimana jenis tawanya, mungkin bergantung besar rongga mulut, bentuk bibir atau jenis makanan yang melaluinya atau siapa yang tertawa. Maklum, derajat kehidupan kadang membuat pakem cara tertawa sendiri-sendiri. Tapi yang pasti intinya sebuah kelucuan. Walau itu hanya melahirkan senyum simpul atau malu-malu.

Itulah yang diajarkan sahabatku, Gabe, dalam menjalani hidup. Menyikapi segala persoalan dengan tertawa.

“Itu obat stress, melenturkan penat. Kesadaran akan kesalahan membuat kita menertawai kebodohan itu. Dan setidaknya kita pintar menemukan jawaban. Ya, kita harus berpikir merdeka. Jangan pernah dijajah oleh kesalahan. Kita bebas menemukan jawaban. Tidak menjadi budak pemikiran orang lain, karena kadang itu menjadi begitu menindas………”

“Menindas? Merdeka?” Aku bingung oleh segala ucapan-ucapannya.

“Bangun bung! Kalau kamu tak mampu memerdekakan diri sendiri, jangan pernah berpikir untuk memerdekakan orang lain. Hidup menjadi bagian dari masyarakat sosial adalah suatu kodrat. Tapi sistem di masyarakat, terlalu mematok-matok wilayah yang membangun berbagai larangan. Tak ubahnya dengan ayam potong, dikandangkan, semua diatur entah itu persoalan waktu atau makan ditempatnya, minum ditempatnya……”

“Tapi berak bebas kan bung.”

“Tetap tak bebas. Kotorannya tetap harus jatuh ke bawah bukan bisa terbang ke atas……..”

“Wah itu melanggar kodrat alam.”

“Bukan sesimpel itu. Aku hanya ingin membenturkan antara kodrat ciptaan manusia dan kodrat oleh alam. Taik jatuh ke tanah itu kodrat alam, sama seperti kematian yang suatu saat dihadapi semua manusia. Kita tidak bisa merdeka atas kematian. Tapi untuk urusan lainnya seperti keturunan, baik dan buruk, boleh dan tidak, sopan dan amoral mempunyai standar-standar tertentu yang berbeda-beda dalam masyarakat……”

“Maksudnya?”

“Misal manusia dikatakan harus berketurunan. Banyak yang stress dikejar oleh usia untuk urusan ini. Menjadi lajang tua atau perawan tua itu aib, apalagi tidak menikah untuk seumur hidup. Pandangan masyarakat membuat kita tak merdeka untuk memilih jalan hidup. Anak-anak dihasut untuk bercita-cita jadi orang kaya. Tak ada yang bangga jadi orang miskin, atau menjadi diri sendiri.”

“Hmmmm…. hubungannya dengan tertawa tadi?”

“Ya itu, pertama kita tak boleh terjebak oleh lingkar penyesalan. Kita harus tertawa ketika menemukan jawaban. Dan kedua kita tertawa ketika kita telah berhasil melawan aturan-aturan atau dogma-dogma usang. Karena kita telah menemukan kelucuan yang dikemas rapi oleh sekelompok manusia yang menepuk-nepuk dada sendiri. Kita merdeka atas kebodohan mereka!”

* * * *

Seperti biasa, aku duduk tak jauh dari sekelompok orang yang ada. Mengamati untuk berberapa waktu lamanya. Ya, itu pekerjaan yang mengasikkan. Aku akan menemukan berbagai gerak-gerik. Bahasa tubuh. Itu bahasa yang tak tercatat, karena udara tak memberi kesempatan menunjukkan salinannya, selanjutnya hilang tak tereja dibawa pergi.

Tak jarang aku akan tertawa sendiri menyadari tingkah-tingkah mereka yang terkesan bodoh, kamuflase, atau mungkin munafik. Seperti cowok itu yang berpura-pura berlaku mesra dengan gadisnya. Memeluknya erat dari belakang sambil menunggu bis kota. Sementara saat itu juga matanya tak lepas dari dada-dada bengkak milik perempuan-perempuan yang melintas. Atau si necis yang tak hanya pintar bersilat lidah, tanganyapun lihai merogoh kantong-kantong yang dimangsa.

Kebiasaan mengamati itu aku jalani semenjak di kota ini. Menyadari kamar sepetakku bisa mematikan di saat aku lengah. Di dalamnya akalku terhadang penat oleh persoalan-persoalan hidup. Akan gaji yang tiada pernah cukup-cukupnya untuk hidup. Atau persoalan keinginan untuk mengucap cinta pada seorang gadis, sementara untuk menerima penolakkan adalah sebuah kiamat. Ahh…. itu hanya sekelumit kecil, banyak hal yang terkadang membuatku mati kutu. Dan bila tak tertahan, aku biasanya lari ke luar kamar. Menuju jalan dan mengamati yang ada.

Objek yang bisa kuamati adalah pengemis-pengemis yang duduk di pinggir jalan atau di jembatan penyeberangan. Aku menemukan obat penawar keserakahan hidup. Dan aku menertawai kebodohanku. Berucap syukur, aku masih bisa makan dari keringat sendiri. Mengamati pencopet, pengamen atau gelandangan di jalanan. Ternyata aku masih bisa hidup sewajarnya.

Namun terkadang timbul persoalan baru, misalkan memandang iri pada mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Kemewahan dan kenyamanan ada di dalamnya. Tapi itu bisa kusingkirkan, sekali lagi dengan tertawa. Mentertawakan mereka yang hidup di dalam utang dan penjara uang.

Atau saat memandang sepasang kekasih yang berjalan bersama. Ada rasa iri menikmati iklim asmara yang tersembul di langkah-langkah mereka. Tapi biasanya aku akan berlari menuju tukang koran, mencari pandang dan mencuri berita. Tak harus membeli koran kriminal itu. Di tumpukkan atau yang tergantung, aku bisa melahap beritanya. Sebuah headline : “Seorang Pemuda Tega Membunuh Pacarnya yang Selingkuh.” Isinya gampang ditebak. Dan aku selanjutnya akan tertawa menemukan segala kebodohan. Setidaknya walau tak berpacaran, aku pasti takkan pernah ditipu apalagi disakiti. Dan kemungkinan untuk menjadi pembunuh tak akan ada. Mereka tega membunuh atau menyakiti lawan jenisnya oleh kedunguan akan cinta.

Kuakui, obat mujarab bernama tertawa sangat manjur. Andai itu dipakai semua orang dalam menghadapi hidup dan persoalan, mungkin tak ada berita-berita kriminal di koran-koran. Atau penuhnya orang-orang kalap dan hilang akal di penjara. Penuhnya mayat-mayat di kamar mayat rumah sakit yang tak jelas identitas dirinya. Dan kuburan tak akan menjadi begitu angker dengan arwah-arwah penasaran dan malah imbasnya kini banyak orang suka akan cerita-cerita mistis mengalahi magisnya ajaran agama.

Semakin jauh ku berjalan, terkuak semua tabir hidup. Tak lagi sembunyi-sembunyi, vulgar menyeruak dari bahasa-bahasa waktu. Di semua titik-titik ku dapatkan kata-kata sandi, menjejakinya sebagai langkah menghantarkan jawaban. Tidak usah berlama-lama melukiskan kerutan di kening, semua akan terbeberkan dengan pasti. Hidup tidak untuk dipersulit, sama mudahnya ketika menghirup dan menghembuskan nafas. Semua mengalir apa adanya selama bernafas bukan perkara yang susah untuk dilakukan.

Sampai ketika kakiku letih dan nafas tersenggal satu-satu, tubuhku membenamkan diri pada penat malam. Di sebuah taman dengan nyala lampu yang teduh. Mencoba untuk menyejukkan pandangan pada mahluk-mahluk indah yang menetek pada bumi. Akar-akarnya meremas penuh kasih pada kulit-kulit bumi. Seperti pelukan yang hangat diberikan pada bayi itu. Di dadanya mahhluk kecil itu membenamkan diri pada penciptanya dan menyusu dengan tenang. Kali ini tak mungkin ku salah melukis, ditengahnya ku dapatkan sebuah mahluk seperti diriku. Duduk di tamannya dengan nyanyian buat buah hatinya.

Pelan-pelan ku menghampiri. Mencoba tak mengganggu dan tak mengusik pagutan buat hatinya. Ia memandang pada langkahku, menatap dan tersenyum. Di depannya aku duduk bagai patung telanjang di sebuah taman. Ya hanya diam, menghantar nyanyian malam tak menjadi sumbang. Kami menikmati deru angin yang menjilati kuping-kuping dengan binalnya dan bintang-bintang begitu berahi dengan nyala yang redup menahan nikmat. Ohh…. waktu menjadi peraduan hangat tempat merebahkan detik-detik yang bersimpul menahan beban tubuh-tubuh yang bergelut dengan penatnya. Sebelum embun lahir di hangatnya hening malam dan menetes membayangi lekuk tubuh, ia ajak aku menjilati jejaknya menuju langkahnya terhenti.

Di depan kediamannya, tangannya melambai mesra, ajak aku masuk. Aku tak mampu berpikir panjang karena dadaku telah tertambat pada pesonanya. Dia letakkan bayinya di sebuah peraduan kecil dan kami menjauh tak mau meninggalkan keributan kecil yang mampu mengusiknya. Menatap punggungnya yang indah berjalan di depan menuju sebuah kolam kecil. Menghempaskan tubuh di tepiannya.

Aku kagum pada suasana kediamannya yang indah. Pada pandangan yang ditimbulkan oleh matanya yang bagus. Dan ia hanya tersenyum ketika aku ucap puja dan puji itu. Hanya menggerakkan hidungnya ketika pujianku kian bertambah rakus. Aku baru tersadar, sedari tadi aku yang terus mengusir hening melahirkan percakapan-percakapan. Dan aku mencoba diam bagai lampu dengan sorot yang menyeringai.

Dia tertawa ketika aku baru menyadari kebodohanku. Dan aku pun tak mampu hanya menahan senyum, tawa kecilku pun menyertai. Mulailah ia bercerita akan hidup dan waktu-waktu miliknya. Akan kebebasan saat-saat yang tersedia untuk mencipta sejarah, mengukir dinding batu hidup dengan tetes-tetes akal karena takdir bukanlah mata ukir yang tajam untuk menulis kata nasib. Dan masa bukanlah teman yang baik untuk diajak menanti akan datangnya burung bagau membawa bayi-bayi perubahan.

Pada setiap percakapan terkadang di antarai tawa. Aku suka caranya tertawa dan segala leluconnya. Memang hidup ini bagai parodi-parodi, dagelan yang abadi walau tersadar akan segala kesalahan di waktu yang dikemudiannya. Aku menemukan kemerdekaan pada dirinya, jiwa yang tak terjamah oleh pikiran-pikran yang menindas. Semakin lama aku kian memerdekakan nilai-nilai, bebas dari segala nilai yang mengikat erat. Seperti peluknya tak mau melepaskan degup jantung di dadaku, berbaring di pelukkan hangatku. Selanjutnya naluri kami berbicara begitu lancar dalam bahasa-bahasa gerak yang tak berkesudahan. Hingga pagi menghantarkan embun yang tawar di bulir-bulir keringat kami.

* * * * *


Sebuah tendangan terhantar ke hulu hatiku, aku tercampak bersama kesadaran membentur sebuah dinding tinggi. Belasan pasang mata menatap buas, ludah mereka tercecer bersama maki dan umpatan. Aku mundur dan tertahan di dinding tinggi ini, mataku mencari wanita dengan anaknya. Ohh..… di sana, wanita itu terduduk di tanah mencoba meronta-ronta ketika ada beberapa tangan kasar menjambak rambutnya. Dan belasan pasang mata itu melahap keindahan tubuh moleknya. Ocehan usil begitu tajam merobek ketelanjangannya.

Aku berlari ke arahnya, tak sudi bagiku memperlama penderitaannya. Mereka telah merajam sungguh laknat sebuah nilai yang diyakini wanita itu. Hanya beberapa langkah aku telah kembali terjungkal kebelakang. Kemaluanku yang menjuntai menjadi sasaran tendangan lelaki kekar itu. Dadaku begitu sesak ketika kaki itu pula yang menendang kepalaku saat aku roboh di tanah. Untunglah hal itu tak berlangsung lama, ketika empat orang berbaju putih menyelamatkanku. Seperti malaikat yang menuntunku ke sebuah surga.

Tapi kurasakan ini bukan sebuah kematian, karena aku masih bisa merasakan dinginnya dinding kabin mobil ini. Dan wanita itu pun dituntun masuk ke dalam kabin tempatku berada. Ia menangis keras ketika sadar bayinya tertinggal, ia menyebut nama bayinya. Dari kerumunan orang yang masih menatap kami di dalam kabin mobil putih ini, ada yang melempar sebuah mahluk. Ya, bayi wanita itu dan terbentur di lantai tak jauh dari pahaku. Aku memungutnya dan menyerahkannya dengan lembut pada wanita itu. Ia tersenyum senang, dan mencoba menenangkan tangis bayinya sambil memberi ujung putingnya untuk diisap.

Dan lagi-lagi mulut mereka masih berbusa, tawanya bukan lagi tawa milik kami. Tawa mereka sungguh merampas kemerdekaan kami. Tawa mereka tak membebaskan. Mereka sungguh tak paham pada arti tawa itu sendiri. Mereka seperti orang gila yang menertawakan segala kemapanan, orang-orang kalah yang kalap pada kegagalan hidup. Amarahku kian memuncak ketika mulut-mulut mereka meludahi tubuh-tubuh kami dan memaki sejuta bahasa.

“Dasar orang gila. Enyah kau dari sini, merusak pemandangan saja.”

“Iya, malah kemarin mereka bersenggama di kolong jembatan layang ini. Di tepi kali.”

“Tak bermoral. Duniamu tak di sini. Rumah sakit jiwa itu istanamu.”

“Hehhe…. para pemimpi yang gelisah. Tertawalah kau di keterasingan diri. Di kerdilnya jiwa. Meranggas menanti ajal. Jelas mimpimu tak bisa bersanding bersama kerasnya hidup yang berjalan. Manjalah kau pada dewa mimpimu. Terkuburlah kau bersama mimpi dan belatung-belatung pemberontakan.”

“Ehh… tahu enggak gara-gara dia orang pada takut membeli koranku. Orang gila itu sok pintar membaca koran, hahhaa……..”

Dan untunglah tawa-tawa yang gila itu tak berlangsung lama. Ketika sedetik kemudian pintu mulai tertutup. Namun perutku kian mual berputar-putar secepat putaran sirene bersama mobil yang berjalan menjauhi mereka. Aku jijik pada ketidakwarasan dunia.
Grogol, 5april2003

No comments: