Saturday 22 February 2003

Matinya Seorang Penyair

Pagi pecah berserak, bagaikan gelas yang terjatuh dari tepi meja. Oleh suara nyaring bel di pintu. Tubuh masih menyisakan penat, sisa alkohol masih masih membaui mulut dari pesta melepas bujang, teman sekantorku kemarin malam. Rasa enggan untuk bangkit entah mengapa menjadi jinak, kalah oleh dering yang terus-menerus memburu.

Engkau berdiri di balik pintu. Di balik keajaiban yang dulu menjadi mimpi usang. Seperti hari yang dipaksa sadar oleh pagi, aku kini menyadari kebodohanku. Menatapmu untuk 5 menit yang mencengangkan. Kau hanya tersenyum dibaui oleh wangi tubuh yang ku kenal lama. Walau untuk sekian waktu, kita telah berpisah jauh, sekedar mendengar rinai tawamu di ponselpun tak bisa lagi.

“Sudah lebih 3 tahun kita berpisah, tubuhmu masih seperti yang dulu,” ucapnya menyentak kebekuan nalarku. Menyadari dada tak berbalut baju, aku kikuk, mengajaknya melangkah masuk. Menuju meja makan. Dan ia melempar pandang, menjilati setiap sisi yang ada. Terhenti pada sebuah bidang, menatap gambar yang terjepit di antara bingkai kayu di dinding.

“Kau masih menyimpannya. Hmm…. Tubuhku agak lebih gemukan sekarang ya,” ucapnya, tatapannya pada gambar itu tak mau lepas.

“Emang sudah berapa bulan?” tanyaku. Aku menyadari ini pertanyaan yang bodoh. Tapi ku akui tak tersirat nada menyindir di dalamnya.

“Kosong. Tak ada bayi merah di bulan berikutnya.”

“Apa kabar suamimu?” Untuk ketiga kalinya aku menjadi dungu di pagi ini. Ku khianati janji diri untuk tak pernah mempertanyakan keadaan rumah tangganya, setelah aku menjadi sadar dungu oleh cinta.

Tatapannya menuju mataku, mencuri tahu isi otakku. Berjalan menuju kursi di depan ku, lalu duduk.

“Baik. Dia sedang menata diri, karirnya kian menanjak,” ucapnya pelan. Menunduk dan menatap isi tas kulit di pangkuannya. Mencari sesuatu dan meletakkannya di bibir yang merah. Bibir yang ku kenal baik lekuknya, walau agak berbeda kini dengan sebatang rokok yang baru dinyalakan. Aku meraih sebatang rokok lain dari kotaknya yang telah di letakkan di atas meja di antara kami. Cukup bisa untuk menawarkan mulut yang masih bau di pagi ini.

“Sejak kapan kau menjadi perokok? Gadis yang ku kenal dulu adalah manusia yang anti rokok, termasuk sikapmu yang begitu keras pada kebiasaanku. Waktu ternyata bisa merubah pendirian.” Aku mencoba mencari tahu, memandangnya di balik kepulan asap putih yang tipis .

“Hanya kau yang tak berubah oleh waktu. Seperti orang yang berlari di detik yang sama. Memaksa untuk hidup sendiri. Terimajinasi pada kekalahan. Sungguh penikmat perih sejati,” sindirnya. Gerak bibirnya meniupkan panah-panah asap yang berhamburan membidik dadaku.

Aku gugup, kembali terhenyak sadar untuk pagi yang berjalan lambat. Tersadar telah lama duduk di kursi goyang mimpi yang melenakan, ku akui aku tak bisa bangkit melangkah menjauhi rasa sakit hatiku, untuk 3 tahun lamanya. Dan dia kembali hadir untuk membuka simpul perih itu. Tapi tapi aku tak bisa marah untuk segala kebodohanku.

“Dari mana kau tahu alamatku?” Aku coba alihkan pembicaraan.

“Dari Iwan. Jejakmu tak susah dicari. Apalagi bagi mereka-mereka yang memandang kasihan padamu. Sepertinya kisah kita menjadi kitab suci bagi cinta sejatimu. Dan di pandangan mata mereka tersirat rasa sinis kala menatapku,” ucapnya. Dia hanya melirik aku, selanjutnya kembali tak putus-putusnya memandang gambar dirinya di dinding. Wajahnya ketika ia masih kuliah dulu, cantik tanpa polesan.

Aku kian terhenyak. Duduk dengan kaki kiri yang kian kebas. Siapa lagi tempat berbagi duka kalau bukan teman? Dan bukan salahku, bila cerita itu menyebar di antara teman-teman kami. Melahirkan kelompok yang terus memandang kasihan padaku bila saat bersua.

“Aku dengar kamu menjadi penulis. Bangku kuliah mungkin tak selalu menjanjikan. Kini menjadi wartawan sekaligus penyair picisan. Cerita-ceritamu selalu tentang cinta yang terkoyakkan. Andai buku-bukumu itu ada di depanku, akan aku robek satu sehelai demi sehelai. Sadarkah kau Dika, dukamu telah kau ekploitisir. Semakin menawan perih yang kau tuliskan, semakin tergambar kau manusia yang menenggelamkan diri pada pembunuhan karaktermu. Kau berbeda jauh dari yang ku kenal dulu, the better man that I ever had.”

Ahhh…. kiamat apa yang berkunjung di pagi hari. Ini bukan mimpi dari sisa ketaksadaran kemarin malam. Namun aku tak bisa berontak atau mengakhiri percakapan dengan pertengkaran yang didahului tangan kanan menampar pipinya. Seperti yang lalu, aku telah menjadi manusia penyadar, sadar bersikap akan kesalahan dan keadaan. Aku sadar, inilah kenyataanku sebenarnya.

“Jangan bengong dong. Aku datang bukan untuk menasehatimu, hanya untuk menyadarkanmu. Atau….. kau sedang berimajinasi sebuah kata-kata yang akan kau tuliskan untuk bahan puisimu. Mungkin…. syair-syair – yang kadang ku rasa terlalu berbelit-belit, ngalor-ngidul ke sana kemari – ujungnya tetap rindu dan duka. Perjumpaan semusim dengan kenangan di pagi hari atau matinya seorang penyair di pagi hari. Wake up, aku tak datang untuk membunuhmu. Bangkitlah bersama pagi. Jadilah lelaki. Sudah….. mandi dulu sana.” Sebelum ada ucap yang lain, aku bangkit berdiri. Meninggalkannya yang masih tersenyum indah. Kebenaran akan keindahan yang selalu aku tuliskan di syair-syair ku. Busyettt… aku masih sempat-sempatnya memikirkan segala syair itu.

Di kamar mandi kudapatkan kembali rasa dingin. Dingin yang mengahantui kebekuan hari-hariku. Entah mengapa aku kian tercetak menjadi rapuh sedemikian rupa. Tak seperti ketika aku memperkenalkan diri padanya dulu. Mengenalku sebagai mahasiswa yang punya prinsip dan idealisme. Mencuci otaknya hingga menjadi aktivis kampus yang perduli persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Malah suatu ketika aku menyadari, aku bagai baterai kering yang kian lemah, kehilangan power sejak ia beranjak menjadi pemimpin di antara kelompok.

Percintaan yang kian tergambar jelas di bandul waktu, di sela babak-babak menuju kejatuhan rezim otoriter. Bila orde reformasi penuh kisah akan keradikalannya, cintakupun kian menjadi begitu matang menuju kemerdekaannya. Telah kami amini di awal berpacaran, bahwa menjadi kekasih bukan untuk mengekang tapi membebaskan.diri untuk mengekspresikan kedalaman cinta masing-masing. Bukan cinta yang memberi oleh karena balas, tapi cinta yang sadar oleh keinginannya sendiri. Tak ada pengekangan atas nama cinta, tak ada pemaksaan atas nama cinta.

Walau akhirnya setelah tiga tahun kami berpacaran, di kejatuhan rezim berikutnya yang sempat dilanda isu selingkuh, tak pelak pula cintaku entah mengapa kian terpuruk. Aku melihat ada binar mata yang sangat berbeda bila mendengar kabar akan lelaki itu. Dan aku tak mau memasungnya, aku membebaskannya. Memutuskannya, memberi kesempatan untuk berpikir dan merasionalkan hatinya. Itu pilihanku sebagai demokrat sejati. Walau dalam hati, aku berharap kami dapat kembali. Dan mimpi yang terkutuk itu menjadi kian terkutuk. Hingga kini, setelah 3 tahun aku tinggalkan ia bersama kenangan di kota itu, kami kembali bertemu kembali. Bersama pagi yang membawa aroma kebangkitan, kuburku kian terkuak menampakkan mayat hidup dalam aroma kekalahan berkafan kerapuhan.

Kudapati ia sedang membenahi meja makan. Tersaji hidangan sarapan pagi. Ia masih mengenali kegemaranku. Secangkir kopi Nescafe bersama roti panggang dengan bubuk coklat. Untuknya, ia hanya menyeduh secangkir air jeruk hangat.

“Dalam rangka apa kamu datang ke kota ini? Kalau hanya untuk menjengukku, itu suatu mukjizat. Apalagi sejak kau menghilangkan jejak diri,” tanyaku membuka percakapan. Mencoba agar suasana kembali normal. Setidaknya aku tak ingin kelihatan rapuh di matanya.

“Aku bukan menghilangkan jejak. Aku tak ke mana-mana. Masih di kota kita yang dulu. Suamiku menjadi pejabat di sana, dan aku tak mau mengusiknya dengan cerita-cerita kita dulu. Apalagi bila ia tahu kita masih berhubungan,” ucapnya lembut. Di bibirnya tak ada lagi asap putih yang mengepul. Dari sudut mataku, aku masih dapat mengingat kembali beribu kecup yang pernah kami lakukan. Dan masing-masing kami tahu bagaimana membuat pasangan jatuh terlena.

“Kalian bahagia?” tanyaku, walau sebenarnya aku tak ingin mencari tahu lebih jauh keintiman mereka. Karena jawabannya dapat membuyarkan fantasiku.

“Bahagia? Hidup berdua, jalan bersama. Punya hobi baru main bowling. Sedikit demi sedikit mengisi rumah dengan perabotannya, menyesakkan rumah dengan aroma gairah pengantin muda. Dan garasi rumah kami mendapat penghuni baru, sebuah mobil sedan keluaran terbaru,” ucapnya sambil menerawang jauh.

“Bagimana dengan keintiman, maksudku hubungan suami istri. Hmm….. hal yang biologislah. Lebih mesra dari yang kita lakukan dulu?”

Dia tertawa. Tawa yang menyeret hadir segala kenangan, gambaran akan keceriaanya dulu. Tapi tawa itu juga menyindirku, mengejekku yang terlalu puas untuk hubungan kami dulu. Aku menjadi kian bertambah tolol untuk pertanyaan tadi. Sepertinya aku tak bisa menguasai diri.

“Untuk apa kau tahu. Hubungan biologis tetap sama untuk setiap pasangan. Hanya bagaimana cara menikmati dan merasakannya. Pada tahun kedua pernikahan kami. Aku keguguran di bulan ketiga kandungan.” Ada nada sendu di akhir kalimatnya. Aku tak mencoba untuk bertanya lagi, tak ingin ada ketololan lain yang akan terburai di depan meja makan ini.

Ia melihat jam tangannya. Bangkit dan permisi untuk kembali ke hotel. Mengikuti ia yang berjalan ke arah pintu. Tubuh indah itu masih nyata hingga sebuah taksi membawanya hilang di tikungan jalan itu.

Hari ini, aku putuskan tidak masuk ke kantor. Sungguh aku masih belum dapat bangkit dari musim semi yang hadir di pagi ini, ketika benih kerinduan lama terpendam di dasar lapisan salju yang meliputi musim dingin, masa kehampaan tanpa sinar pengharapan. Waktu telah memeliharanya.

Sudah sejak tadi aku tak henti melamun. Di kursi tadi pagi ketika kami bertatap muka dari kenangan yang lama hilang. Dari kursi ini pula aku memandang gambar dirinya di dinding. Bayangan itu nyata di bangku depan meja ini, seperti hadir kembali. Ini bukan ilusi dari mantera-mantera yang aku ciptakan selama ini. Bukan syair dan jalan cerita yang hadir oleh nuzum puitis.

Aku tak berharap dapat bertemu. Ini sudah aku niatkan sejak mendapat kabar akan pernikahannya dulu. Toh, yang sudah terjadi terjadilah. Itu takkan mungkin kembali seperti sedia kala. Walau waktu diputar mundur, takdir telah tercetak biru pada alurnya.

Tapi entah mengapa pula, seperti karunia baru menguasai diriku. Menikmati kesepian melahirkan berjuta-juta syair. Di jalan sunyi ini, aku memilih hidup menjadi penyair. Dan seperti ejekannya tadi, aku tak bisa membohongi diri. Tulisanku tak jauh dari isi yang menguasai ruang tahanan kegalauanku. Semua menyiratkan resah yang menghantui. Bagai hantu yang mengejutkan, tulisanku begitu mencengangkan, mengalir jujur kata-kata yang hidup. Bukan sekedar emosi, tapi proses di bawah alam sadar yang menghantarkan kabar bagai sebuah wahyu.

Memandang kursi di seberang meja makan ini, mengharapkanmu hadir di sana. Saat yang tiba-tiba hadir dan sekejap itu pula berakhir. Entah mengapa aku masih belum bisa menikmati sebuah hadiah yang diberikan oleh pagi. Tak sadar, aku lupa menanyakan alamatnya menginap di kota ini. Atau nomor ponselnya. Setidaknya aku masih bisa memuaskan diri mendengar tawanya di sela percakapan. Atau dengan sedikit cara halus, aku bisa merayu untuk menjadwalkan pertemuan ulang. Setidaknya, aku masih perayu, walau itu hanya ku miliki dalam syair-syair saat ini.

Dering bel pintu menyentak lamunan. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Mungkin itu Harry, temanku sesama wartwan. Sudah tabiatnya datang di saat-saat begini. Teman berbagi suka dan duka. Aku ingin menceritakan kisah di pagi tadi. Mungkin ia akan berkata aku bermimpi atau berhalusinasi.

Aku berani bersumpah ini bukan halusinasi. Bukan mimpi apalagi khayalan. Malah ia kini telah kembali hadir di depanku. Bergaun manis, lebih feminim dari kedatangannya di pagi tadi. Senyum tersungging, menyisakan pemandangan pada sela bibirnya yang merekah. Gigi marmutnya.

Dia mengangkat tangan kiri dan kanan. Bukan untuk merangkul atau memegang ke dua pipiku dan selanjutnya melumat bibirku untuk sesuatu yang tertunda pagi tadi. Itu tak mungkin, karena ke dua tangannya penuh plastik berisi belanjaan.

“Aku sengaja belanja dulu. Buat makan malam kita. Aku tahu kebiasaan burukmu yang malas masak sendiri,” ucapnya sambil menerobos masuk. Aku terhenyak sambil menutup pintu, tertegun mengikuti langkahnya. Ingin saat itu aku memeluk pinggangnya yang ramping dan membelai dadanya yang ranum. Tengkuknya yang putih dengan bulu-bulu halus akan aku jilati sedikit demi sedikit.

Di balik sikapnya yang tegas walau terkadang terkesan ngotot, sikap lembutnya terasa lebih kentara. Ia bangga bercerita bagaimana ia memilih masakan ini, kelebihan cita rasanya. Dan menyajikannya dengan begitu sempurna, lengkap dengan sebatang lilin.

Bagai kekasih yang lama hilang di balik kabut, di balik cahaya lilin ini kian jelas kekasih telah hadir. Cahayanya meniadakan kabar keraguan, garis-garis sinarnya membentuk lekuk-lekuk tubuh yang nyata dan menawan. Menambah suasana akrab lebih terasa romantis. Atau mungkin itu hanya turunan dari rumusan imajinasiku?

Selepas perjamuan malam, kami melanjutkan pembicaraan di sebuah sofa di depan TV. Di sampingnya, aku merasakan nafasnya di setiap kata yang terucap. Wangi tubuhnya kian menghantarkanku pada detik-detik yang terasa kian begitu indah, sepertinya detik tak ingin menjadi menit, dan menit durhaka pada jam. Kami bernostalgia pada lalu, helai-helai kisah yang kami lalui. Tentang kami, teman-teman, kedua orang tua. Terkadang tak sadar, ia bersandar di bahuku, saat aku bercerita panjang akan kebencianku pada rezim otoriter dulu. Suka dukanya ketika anjing-anjing peguasa saat itu menteror mahasiswa baik di kampus atau di kost-kotsan. Andai tak ada pagi, andai tak ada kesadaran, mungkin kami akan terus bersama di sini. Tak boleh ada perpisahan lagi karena aku tak ingin perjumpaan.
* * * * * * *
Mimpi terkadang hadir tidak pada setiap tidur. Ketika usai ketidaksadaran, dunia nyata menerawang di depan mata, menampar akal. Tak ada lagi khayal, kenyataan yang harus dihadapi. Seperti saat ini, di detik ini, tubuhnya tak kudapatkan tertidur pulas di sisiku. Ohhh….. tidakkah episode-episode tadi hanya mimpi. Aku bangkit dan terhenyak mendapati diri polos, tak sehelai benangpun menutupi. Aku berlari mencari jawaban, menyeruak ke luar kamar. Dia tak ada di kursi di depan meja makan, tak ada di dapur, tak ada di sofa. Sejauh mata mencari, tubuhnya tak tersapu pandangan. Aku letih berpikir, tubuhku terhuyung pada sepi yang kian menelanjangi diri. Sebuah belati pajang menghujam kepalaku menembus tubuhku yang termangu. Sebuah pertemuan meninggalkan kenangan yang berbekas di setiap inci tubuhku. Aku terduduk lemas di kursi ini. Hanya bisa menatapmu sebagai gambar diri di dinding itu.

Tak sadar mataku menatap secangkir Nescafe, dua buah roti bakar dan sebuah amplop kecil. Dia masih mempersiapkan semua itu. Di dalam amplop putih itu, aku menemukan secarik kertas. Dan aku mencoba mencari dirinya pada setiaf huruf yang terangkai menjadi kata dan kalimat.

To : Andika sayang
Maafkan aku bila datang sekejap. Dan maafkan pula bila waktu yang sekejap ini dapat membuatmu kembali terluka. Tak ada maksud hatiku untuk melukaimu kembali. Aku hanya ingin menghibur dirimu dan di balik semua kesalahanku aku ingin kau memaafkanku. Biarlah cerita ini menjadi nisan bagi kisah yang kita kuburkan. Hadapilah hidup dengan berjalan di atas tanah bukan menguburkan diri pada sepi. Dan ketika kita masing-masing berjalan pada waktu, mungkin suatu saat kau akan temukan sebuah nisan dan cerita yang tertera adalah kisah yang menjadi kenangan yang telah dilalui. Kau bisa beristirahat di situ lalu berjalan meninggalkannya. Biarlah itu menjadi nisan, bagi kita peziarah.
Aku datang ke kota ini karena sesuatu hal. Tak eloklah bila aku ucapkan di hadapanmu. Mungkin kau akan menjauhiku bagai bangkai atau meludahiku. Aku terkena HIV dan mencoba mencari tempat pengobatan terbaik di kota ini. Tapi itu tak ku dapatkan, dan hari ini aku akan ke London untuk mencari kembali penyembuhannya. Mungkin itu mustahil. Semua ini karena ulah suamiku, oleh kebiasaan sesama pejabat yang menjamu rekannya dari pusat dengan wanita-wanita jahanamm itu.
Andai suatu saat kau temukan nisanku, torehkan dengan sebuah syair untuk ku. Mungkin dari sekian syairmu, itu yang akan terbaik untuk ku. Di kehidupan berikutnya, ajarkan aku akan syair-syair itu. Biarlah kita bersama menciptakan pujian bagi Allah di sorga kelak.
Dari
yang datang dan pergi

Sekelebat otakku melayang, akan rindu perjumpaan. Sebuah keajaiban di pagi hari, pesona tubuhnya nyata mengingatkan waktu lampau. Keinginan untuk mengecup bibir dan memeluk tubuhmu telah terkabul. Semua itu terjadi di ranjang bersama geliat menjelang pagi. Perjalanan yang mungkin akan membangkitkan diriku untuk bersyukur untuk semua saat-saat indah itu. Cukuplah itu dapat membangkitkan diri, berjalan tanpanya kelak. Siap menghadapi kenyataan bila tak ku jumpai dirinya di saat aku terjaga. Seperti mimpi yang hilang di pagi hari. Tapi…. bukan kebangkitan yang kudapatkan kini, sebuah kematian dihadirkan bagiku. Bukan dalam syair-syair, akan tapi dalam hidup menjelang ajal yang kian pasti. Duhai alam……

Jakarta, 18februari2003

No comments: