Saturday 22 February 2003

Kudeta Sekelompok Sel Merah

Gerimis bunuh diri, terburai di kubangan. Tapak-tapak basah menari enggan saling menyapa, sementara tubuh terpotong-potong pada cermin yang terkapar. Sesekali, jejak-jejak roda hitam membelah, membagi genangan ke kanan dan kiri. Umpatan sudah biasa, memandang sini pada tawa di ruang hangat yang melintas.

Ah… andai saja aku ada di mobil itu, tak perlu ada terapi akupuntur ini. Jarum-jarumnya menusuk di kepala, selimut dingin merapat sangat lekat. Sepekat mendung bergayut menuju malam. Parade payung-payung bagai karnaval menyambut musim penghujan. Tak perlu katak-katak dinobatkan sebagai simbol, cukup payung dan banjir. Atau tubuh-tubuh menggigil di bantaran kali, mengumpat pada Tuhannya oleh rahmat yang kunjung salah alamat. Sudah nyata, Jakarta itu neraka, setelah Bali menjadi surga terjajah.

Badanku kian terhuyung, menjadi aneh bagi mereka yang memeluk rapat pada tungkai-tungkai payung. Bau keringat menjadi tawar, sama lelahnya di kedinginan dan kerja keras siang tadi. Aku harus mencari tempat berteduh, tapi tak ada yang menawarkan. Semua telah terbeli, halte menjadi makanan pedagang, pohon-pohon sudah modren tampak ramping tanpa dahan rimbun yang bercabang.

Sungguh kejam engkau Tuhan, ucap bibirku. Tak ada sedetik berlalu tersisa, tangan kanan menerjang bibirku, tamparan yang melahirkan nada mendesing di telinga. Tangan kanan muak oleh umpatan bibir.

Ternyata engkau lebih Tuhan dari Tuhan itu sendiri tangan, maki bibir. Kali ini bukan lagi tampar dialamatkan, tinju melayang tanpa ragu. Bibir pecah, darah mencair oleh tetes hujan yang tak mau meninggalkan kuasa di setiap detiknya.

Batin di dada berdetak kencang. Ini bukan pengingkaran diri, telah jelas aku lahir di zaman yang salah. Mengais demi hidup dan janji surga. Sungguh mahalkah surga yang ditawarkan oleh Tuhan?

Tubuhku terhuyung ke belakang, saat amuk menjadi laknat. Tangan kiri geram oleh batin yang bernyala-nyala. Niat tangan untuk bertindak lebih anarkis terhalang oleh rusuk-rusuk di dada. Andai ada belati, mungkin hati akan terlempar ke luar dan selanjutnya sudah layak menjadi santapan anjing-anjing. Sungguh murahkah harganya?

Otakku menggeleng bingung. Mencari tahu pada serpihan niat mereka. Tapi mereka bisu, hanya denyut-dsenyut mengalir cepat padanya. Ada sekelompok kata-kata yang berkubangan dalam darah, mengalir di arteri dan aorta. Menyinggahi semua sel sejalin dengan komunikasi yang berlangsung dalam bentuk detak dan gelembung yang tak dapat ditafsirkan. Selebihnya kurir-kurir mengikat panji pada simpul-simpul merah. Oh… kudeta apa yang terjadi?

Otakku kembali menangkap isyarat. Di negeri jutaan sel dalam tubuhku, ada sekelompok sel merah tak terpuaskan. Mereka penat oleh kedunguan jiwa yang terperangkap oleh teori-teori magis. Di saat seluruh indera tak bisa membacanya. Mata tak melihat ada perubahan, penindasan menjadi lukisan yang terkabar di seluruh sel-sel. Telinga tak menangkap suaraNya, akan jawaban doa-doa yang dikumandangkan mulut. Justru jerit-jerit kerakusan dan kesakitan menjadi santapan. Dan mulut muak menjadi alat bagi otak dan pikiran, memelas padaNya yang tak kunjung datang bersama kiamat. Tapi mulut tak berdaya dipasung oleh kesabaran milik nurani, hanya bau bentuk simbol perlawanan yang menjadi kian amis oleh pinta-pinta tua yang berbusa. Mungkinkah Tuhan tak punya telinga?

Jangan ditanya akan keadaan lidah. Ia tak seperti dulu, saat bisa merasakan berbagai rasa. Saat ini hanya getir yang terkecap. Bilapun akan ada hal manis, mungkin lidah akan bunuh diri atau menyerahkan diri untuk terbelah dua pada gigi-gigi yang kian kuning. Ia adalah organ tak berguna, hanya menjadi budak pembentuk kata-kata sabar yang bergumam di rongga mulut.

Sementara hidung tak pernah berbangga diri. Sejak ia ada, sudak tercetak menjadi perusak keindahan wajah. Semua orang mengatakan bentuknya jelek, pesek. Hidung menjadi buruk yang tak bisa disingkirkan. Menyembunyikannya tak mungkin. Kian terpasung menjadi simbol yang memalukan. Oleh keterasingan organ, ia menjadi budak yang setia. Nafas-nafas melaluinya tanpa henti, menjajah setiap sudut miliknya. Kebebasannya hanyalah fungsi belaka, menghirup bau-bauan. Tapi sungguh malang, tubuh telah terlahir di lingkungan miskin nan kumuh. Tak ada aroma sedap yang menjanjikan, hanya wangi sambal terasi itupun milik tetangga. Selanjutnya hidung kian merusak wajah, saat ingus bermain-main di kedua lorongnya. Sungguh bodoh kelakuan budak yang pasrah.

Nuraniku meracau kian kacau, jiwaku pecah berputar pada setiap tanya. Akan kekekalan, akan jati diri, penciptaan dan yang tercipta. Mana alur bermula dan berakhir. Mana kebenaran dan pembenaran. Semua berkubang pada penat dan perih. Pelan-pelan kata sabar menguap di kedinginan. Saat hujan bukan lagi rintik-rintik. Bukan lagi jarum-jarum yang mempenetrasikan kenihilan pada setiap sel-sel tubuh. Kini menjadi pemberontakan yang menguasai isi tubuhku. Lamat-lamat memenuhi rongga mulut dan hidung, menguasai tubuh. Ketika beberapa saat yang lalu, tubuh berontak pada jiwa. Menenggelamkan diri pada arus kemurkaan yang meluap menuju Jakarta. Di sebuah kali ketika gerimis bunuh diri dan telah terburai menjadi genangan-genangan. Jiwa tergenang di kubangan. Bukan untuk dikenang atau dikekang.
Akankah revolusi berarti bunuh diri?

Jakarta hujan,20februari2003

No comments: