Saturday 22 February 2003

“Eli, eli lama sabakhtani”

Gelisah malam merambat, bara yang ditelan waktu ketika masa mencuri detik menuju resah yang kian menua. Tanpa denting, gelas pecah menjadi berjuta sadar dan kembali terhenyak pada kursi kepasrahan, suara reotnya mengiris telinga menjadi serpihan-serpihan kecil.

Dan liur setan menanti tak sabar, ketika akal kian bercabang oleh suburnya gema-gema yang saling bersahutan. Lorong yang menelan kunang-kunang meniupkan kata-kata berserakkan, tak jelas induk dan anak sementara penciptanya bersikukuh pada kesempurnaan nuzum.

Terlalu getir bila boneka-boneka tanah yang dititipkan nafas suci berjalan sendiri di kaki langit. Karena langit kian meruntuh di tepi zaman saat Lucifer diberi tahta oleh iman-iman yang kian memerah dibakar oleh hujanan dengus hidung yang kian berair.

Kaki mengetuk mencari irama yang kehilangan bentuk. Kembali untuk detak yang ke sembilan puluh satu kalinya, biji-biji logam itu berlari menautkan diri. Bergambar sketsa yang berganti ujud, layaknya kelamin yang kian menegang.

Silau berpendar, sangar mencari liang. Jemariku meraba dan selalu berakhir pada tepi yang menajam, lekuk yang tak pasti menitipkan rindu darah. Mungkin ia ingin bercermin padanya, atau kelak sayatannya melahirkan senandung kenikmatan purba yang konon menjadi lagu suci penyembahan akan kutuk yang tak pernah selesai sejak Kain menikam Habel nun jauh di seberang Eden.

Sudah saatnya suara-suara itu harus enyah. Perulangan sandiwara yang berputar tak menemukan sumbu. Oh…. itu telah tertoreh lama di kitab-kitab kumal kaum peziarah, ada sisa ludah di tepi-tepi halamannya. Lakonnya telah aku amini, berkaca pada kata-kata yang saling membayang.

Semakin lama aku tenggelam, kian lamat aku terjerang oleh gelora pusaran panas yang menistakan kekalku. Aku batu yang digiring menuju laut yang tak berbatas, sementara pasir putih di pantai tak mengenal saudara tuanya.

Aku berpijak pada jejak-jejak usang yang melarikanku dari pemandangan akan salib di sebuah bukit. Tak kudengar sayup burung nazar yang kecut pada tubuh terpaku di kayu silang. Punggungku menutupi suara yang berseru, “eli, eli lama sabatani.”

Kian lama dengung tak berujud rupa, bukan putih atau hitam. Memenuhi rongga, enggan berlayar menuju alam lain. Bebal kian menebal, menyamarkan sadar atau mimpi. Saatnya harus bermula, ketika biji-biji logam kian menegang mencari lubang. Tak ada masa, aku harus tikam ular yang bersarang di otakku. Desisnya sangat mendesah, lama terbuai oleh aroma nikmat yang ditawarkan.

Lompatan-lompatan ingin yang kian membunting, menitipkan bayi-bayi jadah pada harapan yang ditanam. Sebelum waktu sempat berpikir, belati telah aku sisipkan pada belahan daging-daging yang kian tersayat. Tak ragu menyentak, memberi ruang baru pada batok putih yang terukir merah pada selaput tipis ari.

Nikmatnya meniadakan resah, biarlah galau terbang mengepakkan sayap. Kian melambung mengibaskan butir-butir merah yang mengotori. Berjuta batang-batang panah menari liar, terburai bersama kekosongan yang menghampiri. Aku bukan naungan kepenatan, sumur dangkal kemuakkan. Telah aku akhiri jalan sesat yang tak terpetakan, entah angin mana yang dulu menghantarkanku terbuai lalui segala jembatan rapuh. Seolah mata tua menuntun tongkat menari di depan sendiri.

Kian dalam kian matilah sepi. Walau syair malam terpercik pada peraduan, tapi dingin tubuh tak mungkin ingkari. Pada permadani telah tersulam onani-onani diri dan sepi tetap ada pada akhir pertarungan. Aku tak ingin ilusi persetubuhan di depan altar pemujaan, tubuh tetap tubuh yang haus penciptaan. Dan aku hentikan janji setan bertanduk akan bidadari pengganti rusukku berikutnya yang hilang. Cukup Adam telah korbankan diri untuk semua lelaki, walau kelak boneka tanah yang bernama wanita lupa akan asalnya.

Mataku berbayang merah, menembus tiap tetes darah yang pelan jatuh setelah sekian detik bergelantungan di atas bulu mataku yang katanya lentik. Udara tak kosong, jelas memerah dari sudut sini, wanginya pun amis.

Hidungku merangkum semua nikmat yang tak ingin kulepas, nyeri hanyalah gula di saat secangkir darah akan hambar tanpanya. Layaknya berdansa berdua, linu di kaki hanyalah akhir di setiap tarian, atau penat di pinggang setelah persetubuhan. Itu bukan halangan atau ketakutan yang menghampiri.

Tapi nikmat tak berlayar lepas, suara-suara di dalam dada nyinyir mencibir. Suara-suara yang mengejek parau.
Dikatakan : aku manusia bebas yang sombong pada kebodohan, untuk apa percaya pada janji surga, toh tak satupun dari kita telah kembali dari sana. Jangan pernah menyalahkan orang lain bila diri tak mampu baui utara dan selatan.

Kian lama kian berpusar, walau dengung telah lenyap tapi dada kian sesak. Oleh berton-ton ejek dan cibir yang menyentak-nyentak dada. Palu godam yang menghantam pilar-pilar kokoh bentuk bangun segi enam ruang kata dan tanya saat saling berdialog dulu.

Entah murka apa yang bisa aku tafsirkan, ketika tanganku mencabut biji-biji logam yang menegang bersolek darah. Tak sampai sedetik berpindah mata menuju dada. Ranum darah merah kembali mengairi, baunya sungguh melegakan nafas yang tersumbat sekian detik lalu. Hujaman pasti tak bertameng ragu.

Crattt…

Erangan hembuskan sumbat berlumut yang bau oleh musim saat kemunafikan menemukan lahar suburnya dulu.. Aku tak mau kalah oleh hasut yang menawan nurani sejak mana moral dan iman telah digusur hingga tak mempunyai sepetak peraduan di hatiku. Ohh….. aku telah melarikan mata hati dari pasung egois dan serakah.

Kematianku adalah kematian menguburkan kealpaan. Nikmat tak bernama yang niscaya akan lahir oleh setubuh iman dan pengharapan. Biarlah kelak akal dan nuraniku tumbuh bersama iman, telah dikabarkan dengan iman hanya sebesar biji sawi dapat memindahkan Sinai bersama sepuluh tauratnya.

Sebelum aku bersetubuh dengan malaikat mungil itu, mulutku sempat berucap.
“eli, eli lama sabakhtani.”

Bekasi, 15 february 2002
“jangan tinggalkan aku Tuhan”

No comments: