Friday 10 January 2003

Tokek……tokek…..bokek….

bersekutu dengan mereka adalah kematian. bandul lamat bergerak.
itu milik buruh. bandul lamat berdentang,
walau kan lahir hanya perulangan abadi
: tokek....bokek....bokek.... (dari penulis)

Sebuah titik kian mengecil. Titik. Kecil. Menerawang ke sumbu kekosongan. Tapi entah mengapa di beberapa detik kemudian, terpecah menjadi titik-titik yang terburai. Terserak. Pecah sebuah keping ketaksadaran. Aku menjadi bagian dari pecahan hidup yang terjaga.

Sialan! Untuk kesekian kalinya mata susah rapat menutup. Gelisah? Tidak, justru aku menanti ujungnya pagi. Ya, esok sebuah pertarungan akan dihadapi. Bersama ribuan jiwa-jiwa yang resah dan marah.

“Bergerak atau mati!”

Itu kata Iwan, sang pemimpin aksi, tadi sore di hadapan buruh-buruh pabrik. Sungguh sebuah pilihan yang tak mengenakkan di kondisi yang kian menjepit. Sempit sudah ruang-ruang mimpi, kini tak berharap banyak hanya mencoba untuk bisa bertahan hidup.

Sebuah syair membakar iman-iman yang kian memerah :

semua naik, kian melambung
menjuntai bersama bual-bual kaum pragmatis
di perut kekuasaan
kita dan mereka kian terpisah
leher kita tergantung di pohon-pohon peradaban
mereka terbang tinggi
bersama sayap-sayap milik nabi palsu
tetes ludah mengenai bibir-bibir kering menengadah
sungguh silau kelamin di bibir mereka
ucapan kian sundal
mereka onani di gerbang perubahan
sebelum ereksi kian jahanam
lempar setan-setan di diri mereka
ke api revolusi
atau di antara mereka
adakah setan penyala api itu?

Tangan-tangan meninju langit. Terkepal.
“Hidup rakyat! Hidup buruh!”
Ombak kegelisahan tak menyusut langkah. Justru jejak-jejak akan terlihat jelas berbaris bagai mata tombak menghujam nadi kesombongan yang berdiri mengangkang. Pemerasan ini harus dihentikan. Pejabat-pejabat itu telah menjadi kucing garong, memecut rakyat untuk mengisi pundi-pundi kekuasaan. Yang terjadi kini, rakyatlah yang harus menanggung beban negara. Tarif-tarif dinaikkan, sementara taraf hidup kami kian jatuh mencium tanah, ditakdirkan mati di atasnya kelak.

Di perjalanan pulang setelah pertemuan, pemanasan aksi untuk esok, aroma kebangkitan membaui langkah milik robot-robot pengusaha. Ternyata perut juga punya bandul kesadaran. Tak jelas parameternya, yang pasti kegelisahaan lebih menakutkan dari kematian. Karena hari ini atau lusa toh mati adalah kado yang istimewa. Di kematian tak ada kegelisahan lagi. Untuk apa buang-buang waktu. Mengakhiri kegelisahaan atau mati. Membunuh kegelisahan atau mati terbunuh.

“Kenaikkan UMR yang 5-7% tak mampu membantu. Justru habis untuk menutupi uang kost yang ikut-ikutan naik. Selebihnya untuk biaya hidup dan transport kita harus bayar pakai apa? Karena dengan gaji selama ini pun habis tanpa sisa untuk hidup sehari-hari,” kata Parmin sambil melangkah gontai.

“Pedagang-pedagang tak bisa menolak untuk tidak menaikkan barang-barang. Aahhh…. Aku tak bisa lagi menyantap ayam goreng siap saji di restauran di tiap saat gajian tiba. Padahal itu ritual yang aku amini untuk mengobati lelah sebulan penuh, sedikitnya ingin mengecap cita rasa yang menjadi menu harian mereka kaum yang mampu itu,” gerutu Sarinah sambil mendekap tas sandang yang sudah tak jelas warnanya.

“Mungkin mulai besok aku mangkin rajin berolahraga. Selain olahraga membongkar peti-peti kemas di gudang, aku akan jalan kaki walau itu memakan hampir sejam lamanya. Ongkos ojek naik, sudah tak tertahan lagi,” tekad Yanto sambil mengelus dada.

“Benar itu To. Ini mungkin juga jalan untuk berhenti merokok. Sebab untuk makan saja hampir tak berbekas. Yah, setidaknya Wulan akan senang bila tak lagi merasakan tengik bekas asap rokok di rongga mulutku. Asam di mulutku akan hilang oleh lisptik di bibirnya,” celotehku sambil bercanda.

“Kau yakin itu? Boro-boro mikir beli alat kosmetik, makan aja udah susah. Mimpi kau….” Canda Sarinah. Kami tertawa melihat cemberut di wajahnya. Sudah lama rasanya tak melihat topeng itu. Wajahnya kini polos tanpa perias muka.


“Kek……tokek……..tokek…..”

Sialan! Suara-suara itu telah lama mengisi ruang ini. Kamar kecil dengan dinding triplek yang ditindih sebuah poster gadis setengah telanjang. Di atas sebuah kasur yang kian menipis menyentuh lantai dingin, aku memandang tepat di atasku. Di langit-langit kamar dekat lampu yang redup. Sebuah tokek besar dikelilingi tiga ekor tokek lainnya.

Ada sebuah rapat sepertinya. Tapi mengapa harus malam ini, di kamar ku pula. Apa tak ada waktu dan tempat lain? Seperti membaca isi pikiranku, mereka diam sesaat. Memandangku tepat di bola hitam mataku. Mencari hening. Mencium gelisah yang membaui malam. Oh….. mungkin mereka mata-mata. Mencari tahu, esok akankah ada demo. Atau seanarkis apa hati-hati yang berkerumun di depan istana. Jangan-jangan ada sebuah penyadap di perut mereka. Merekam isi otakku. Sebab alibi esok akan tercetak di ribuan lembar tuduhan-tuduhan. Akan diteriaki “makar!” Makar untuk sebuah pembelaan diri?

Mata-mata itu mata-mata yang tajam. Membelah batok kepala. Mencoba lebih dekat membaca isinya. Perih kian tak tertahan kupalingkan wajah menjauh mata pisau yang kian menikam. Menatap dinding putih kekuning-kuningan. Oh…. mata-mata lain ada di dinding itu. Kepalaku berputar melayang di empat sisi. Puluhan mata-mata. Ratusan mata-mata. Ribuan mata-mata. Jutaan mata-mata. Mata-mata. Mati……. aku!

“Matilah kau bedebah bangsat!” makiku pedas menghantui malam. Secepat kilat kuambil sapu ijuk dan sambil berdiri di atas kursi aku usir mereka. Sungguh kejam sapuanku. Tapi mereka sungguh lihai, sejahat pandangannya. Lari ke penjuru lain dan menghilang di sisi luar kamar. Sekejap jutaan mata-mata. Ribuan mata-mata. Ratusan mata-mata. Puluhan mata-mata. Lenyap. Menjadi dinding putih yang kekuning-kuningan.

* * * *

Sebuah palu godam memecah titik. Titik kecil yang kian berserak menjadi besar. Menjadi keping-keping. Menjadi cermin yang retak. Menjadi wajah yang berbayang di cermin. Dan dia nyata. Aldian.

“Aduh Al, udah pagi ya….. sudah jam berapa? Kita hari ini mogok kerja kan?” tanyaku sambil mengucek mata. Sepertinya masih ada serpihan-serpihan pandang yang mengendap.

“Iya. Kawan-kawan sudah kumpul di depan pabrik,” katanya.

“Sabar….. aku cuci muka dulu ya. Tak usah mandi, toh mulut-mulut mereka yang di Istana lebih bau lagi. Busuk oleh janji-janji bohong,” kataku sambil bangkit ke luar kamar.

“Tunggu…… jangan tergesa-gesa,” katanya sambil menarik lenganku.

“Ada apa lagi? Kau takut? Pada peluru-peluru yang dibelanjakan dari keringat rakyat?” tanyaku sedikit agak marah.

“Bukan itu. Di tengah kerumunan, pimpinan perusahaan hadir dan mendukung kita….”

“Bagus itu. Walau selama ini mereka menjuluki diri tuhan atas kita. Mungkin persoalan ini telah menciptakan musuh bersama. Kita akan semakin kuat,” potongku mencoba meninju ragu di mukanya.

“Mereka mendukung kita. Tapi…… mereka tak sanggup lagi berdiri. Bos bilang, perusahaan akan ditutup. Bukan untuk selama demo berlangsung, tapi untuk selamanya. Perusahaan sudah tak sanggup lagi bersaing dengan segala persoalannya.” Kata Aldian bagai menujumkan kiamat. Lekat dan memampatkan nafasku.

“Kek……tokek………bokek……..bokek…..”

Bangsat! Seekor tokek besar itu kembali hadir lagi. Kali ini bukan matanya saja yang laknat. Tapi ucapnya sangat jahanam. Bagai paduan suara di parlemen, sebuah nada sumbang membunuh kematian-kematian. Puluhan mulut-mulut di dinding. Ratusan mulut-mulut di dinding. Ribuan mulut-mulut di dinding. Jutaan mulut-mulut di dinding.

“Tokek……….bokek……bokek…..setuju……”

No comments: