Friday 15 November 2002

Ziarah sebuah larangan

Lincah mendayu suara kecil itu menyapa pagi di Minggu yang tenang. Siulan angin bagai seruling mengisi kekosongan tangga nada dari hari yang baru di mulai. Pucuk-pucuk hijau menari bagai menikmati ruh-ruh yang bangun dari kubangan malam. Gerakannya sungguh meresap bersama embun yang berkilau bagai permata diterpa garis-garis sinar mentari. Binatang-binatang pemakan biji kepalanya menoleh kiri kanan, siulannya mencari nada-nada pelengkap makna. Terlukislah pagi dengan bingkai kebangkitan, aroma nafas kehidupan bermula.

Suara mendayu itu terhenti, digantikan bunyi kecipak air di permukaan kolam. Lingkaran-lingkaran makin membesar menyentuh tepi yang melingkari kolam. Ikan-ikan bersisik keemasan itu berenang menjauhi batu kecil yang lamat-lamat tenggelam. Bersembunyi pada gua buatan di dasarnya. Dan sang jantan mencoba melindungi dengan mengitari betinanya.

Kepalanya mendongak ke atas ketika melihat sebuah bayangan muncul membekas bersama bayangannya di permukaan air kolam. Ia menatapku, ada nada keheranan mendapatkan ku persis di belakang tubuhnya yang sedari tadi jongkok di tepi kolam. Tanpa memberi kesempatan sebuah tanda tanya berlanjut menjadi sebuah ketakutan, aku menyapanya, “sedang mengagumi mahluk-mahluk yang gembira itu?”

“Tidak, mereka justru mahluk malang yang terkukung pada kehidupannya. Tak jauh beda dengan burung di dalam sangkar. Kolam ini pasti sebuah dunia yang membosankan bagi diri mereka, seumur kehidupannya akan terus melingkar pada tepian yang sama, yang itu-itu saja,” dia membantah, nadanya sangat cerdas.

Aku mencoba bersahabat, duduk di batu besar dekatnya. Kolam itu sungguh sangat asri, di kelilingi oleh taman yang penuh bunga-bunga dan pepohonan. Serangga dan binatang-binatang taman menemukan surga kebebasan, walau tak jauh dari situ gedung-gedung pemukiman angkuh memagarinya. Pada masing-masing rumahpun terdapat taman-taman kecil, tapi itu terkesan hanya menjadi penghias, gambaran keindahan hanya menjadi pelengkap saja.

“Bersyukurlah kalau kau masih menghargai hidup. Tinggal bagaimana kita menjalaninya, seperti ikan itu yang tak mampu memberontak untuk kehidupan yang diterimanya. Bila mereka hendak menyangkalnya, kematian akan diterimanya. Melompat dan mati kehausan,” aku mencoba menariknya untuk lebih bersahabat lagi.

“Kita yang memberi mereka kehidupan walau mereka tercipta bukan untuk menjadi sebuah tontonan. Keindahan milik mereka yang kita inginkan, bukan keajaiban akan kehidupannya. Apakah kita tak bisa menghargai kehidupan mereka seperti kita menghargai kehidupan kita. Kita mencoba untuk menjadi tuhan-tuhan kecil,” nadanya begitu menyindirku yang hanya sebuah ciptaan dari debu yang di beri nafas kehidupan. Aku sedikit tertegun, mencoba menyusun kata untuk dialog-dialog berikutnya. Sebelum kernyit di dahiku kembali hilang, kata-katanya mulai memburu.

“Sama seperti orang tua dari anak-anaknya, mereka telah menjadi sang pencipta dari bayi-bayi yang mereka lahirkan. Keilahian mereka begitu merasuki, mereka memberi dogma dan aturan-aturan pada boneka-bonekanya. Hidup ada dari kata-kata dan perintah mereka, nasehat menjadi kekang untuk tak lari jauh ke depan.”

“Itu sebagai wujud akan kasihnya, seperti Tuhan memberi nabi-nabi sebagai penerang umatnya, orang tua yang tak mau sang anak menjadi liar pada imajinasi yang sesat. Atau seperti ikan ini, kita tak mau mereka kekeringan dan mati menjadi santapan sang predator. Janganlah kau berpraduga buruk pada orang tuamu, mereka mengasihimu,” aku mencoba menebak kerisaunnya. Sepertinya kalimat terakhirku menyapa galaunya.

“Aku tak pernah menyalahkan mereka. Hanya aku merasa mereka telah mengingkari waktu. Mengingkari aku sebagi buah kasih mereka,” ada sebuah mendung bergayut di wajahnya.

“Mereka tak mengakuimu sebagai anak?” tanyaku memburu.

“Tepatnya tidak seperti itu. Tapi pertengkaran mereka meniadakan kasih yang menciptakan aku, mereka meracuni kelembutan hati yang membesarkanku. Aku terjebak dalam persoalan masa lalu mereka.”

“Masa lalu seperti apa?” tanyaku berusaha mencari jawab.

“Ketika cinta mekar dan bersemi, buahnya tumbuh dan membesar, sementara akar lama tak pernah terpelihara. Terciptalah tanaman yang kerdil pada wadah perkawinan yang agung dan sakral. Mereka meracuni akar dan menyangkal jenis tanaman itu. Aku terjebak dalam kelahiran tanpa cinta.”

Dia terpakur menatap di kedalaman dasar kolam, mencemburui sepasang ikan bersisik keemasan yang berenang mengitari tepian kolam. Aku tersudut diam, tak mencoba mengusik galaunya terlampau jauh. Biarlah ia yang mengungkapkan sendiri di deti-detik yang berjalan. Lelaki kecil itu, sejenak menikmati keheningan. Siulan binatang-binatang pemakan biji terdengar bagai nada sendu, seakan tahu gundah gulana yang menaungi.

“Ibu tak menemukan cinta pada ayah, ia tak menemukan bayangan yang diimpikannya. Dan aku menelan semua mimpi yang dipaksakan untuk menjadi sama dengannya. Menjadi sama dengan manusia abadi yang mengisi relung-relung hatinya. Ada manusia masa lalu yang menghantuinya,” katanya datar.

“Dan aku terjebak dalam dunia kasih yang berjalan sendiri-sendiri. Terkukung pada mimpi-mimpi mereka dan segala kepalsuannya.” Ia tertunduk jatuh, tubuhnya bergerak bangkit menjauhiku. Gontai berjalan menuju rumah di seberang taman.

Aku mengejarnya, sahabat baruku pagi ini terjebak dalam kesedihannya. “Jangan pernah menyerah pada keadaan bukankah waktu yang menciptakan kita. Sobat kecilku, terimalah ini sebagai kenangan bagimu. Berjanjilah untuk tak menyakiti ke dua orangtuamu, dan kiranya kalung ini akan mengabadikan pemaknaan kasih yang sesungguhnya.”

Tangan kecilnya menggenggam erat pemberianku itu, sebuah kalung dengan mata batu hijau dan berlalu menuju rumah dengan dua kursi di teras depan, sebuah pot bunga dan asbak di atas meja kecil di antara kedua kursi. Tanaman mawar masih tetap tertata rapi di pinggiran lantai teras dan sebuah guci besar tetapseperti dulu terduduk di sebelah kanan dekat pintu masuk.

* * * * *
Itu rumah ayah, beratap genteng merah yang sudah tua. Tak jauh beda dengan sepuluh tahun yang lalu, masa yang cukup lama aku tiada mendapati senyum kerinduannya yang selalu mengembang walau sehari saja aku menghilang. Dan tangannya akan memeluk rapat tanpa setetes tangis yang jatuh. Tangannya yang kekar akan mengusap-usap pundakku, membaluri kasih di kepala pada usapan-usapan lembutnya.

Halaman samping rumah tertata rapih, sebuah ayunan tua tetap berdiri di bawah pohon mangga itu. Mainan itu buatan ayah sendiri di pabrik tempatnya bekerja. Dengan memanfaatkan sisa-sisa pipa besi yang tak berkarat lagi setelah diolesi cat hijau. Tapi ayah mendapat teguran keras akan tindakannya memakai pipa besi tua itu. Untung saja ayah punya sedikit tabungan untuk mengganti nilainya.

Apa kabar ayah? Engkau pasti merindukanku. Engkau pasti akan tergopoh-gopoh lari bila tahu aku ada di sini. Binar matamu menutupi kerisauan tuamu, dan bibirmu akan bergerak-gerak mengucap sapa, keheranan akan tubuhku yang telah mekar dan sebuah pertanyaan apakah anak ayah tak lagi manja. Engkau selalu menganggapku anak manja, sesungguhnya engkaulah yang memanjakanku. Sebelum aku berpikir, engkau telah mengendus pikiranku. Sebelum aku melangkah, engkau telah membukakan pintu. Sejuta cara kau buat agar aku merasa nyaman bersamamu. Tapi tidakkah kau tahu, aku merasa risih akan itu semua. Mukaku merah padam menahan malu ketika teman-teman SMU ku dulu tahu aku selalu kau antar di tiap pagi dan ritual peluk dan cium pipi tak pernah tertinggal. Dan di luar rumah aku belajar untuk lari dari bayang-bayangmu, aku mencari jawab sendiri akan segala pertanyaan hidup.

Suara tembang lama dari piringan hitam berhamburan dari kisi-kisi jendela rumah. Ayah pasti sedang mengenang masa mudanya dulu bersama Elvis Presly, Beatles, Everly Brothers dan tembang-tembang yang tak begitu ramah ku kenal. Engkau pasti sedang duduk di sofa merah tua itu, di dekat jendela yang selalu kau buka lebar. Matamu tak kan lepas memandang kumpulan kata-kata bagai semut beriring di koran hari ini. Dan secangkir kopi ada di atas meja di sisi kananmu. Sebatang rokok pasti kau biarkan terus menyala di asbak, karena berita hari ini begitu mencuri perhatianmu. Gambaran hidupmu tak pernah berubah, mungkin kau merasa nyaman dengan waktu yang berjalan dan kau menganggap hidup tak perlu dipersulit.

“Mengapa kau tak masuk saja? Menyapa rindu dan memeluk bongkahan kenangan,” suara tua menghasutku. Aku menatap asalnya, sebuah bibir kering milik wanita dengan uban yang tak malu-malu. Wanita itu adalah sebuah lukisan dari umur yang berjalan tegap tanpa hendak berpaling, sisi kehidupan telah dilalui semua, sepertinya kematian yang sudah jauh lama merindukannya. Cukup untuk merasakan kenikmatan eksperimen waktu dan menciptakan lembaran-lembaran sejarah yang tak kan pernah usang bagi keturunannya. Usianya tak jauh beda dengan ayah.

“Aku ingin mengenang kembali masa-masa yang kami jalani bersama. Buntelan cerita-cerita yang tersusun rapi dalam ingatan. Saat ini aku merasakan hawa kerinduan melingkupi rumah kami, dan seonggok tubuh tua itu bukan lagi terdiri dari tulang dan daging, tapi ia adalah sejarah dan jam waktu. Ia bagai pena dan cermin waktu yang menciptakan lika-liku hidup. Hingga akhirnya aku dipaksa oleh ayah untuk tak kembali ke kota ini, meninggalkan jejak-jejak langkah tersapu oleh waktu.”

“Adakah kau merasa membencinya ketika ia melarangmu kembali ke kota ini?” tanya wanita tua yang telah duduk di sampingku, di sebuah bangku di taman kecil seberang rumahku.

“Sebuah pilihan berat yang aku hadapi dulu, mengikuti keinginannya akan menyiksaku, mengeringkan sungai cintaku. Menyangkal keinginannya akan membuat ia terbunuh oleh rasa bersalah, menenggelamkan harapannya. Hingga akhirnya aku memilih ayah dan membiarkan kekasihku diambil oleh lelaki pilihan orang tuanya,” sejarahku menerawang jauh di pelupuk mata.

“Mengapa ia begitu yakin itu yang terbaik bagimu?” tanya wanita itu.

“Ia tahu aku begitu keras hati, bila aku di kota ini dengan segala cara aku akan menghempang perkawinan mereka. Itu tak diinginkan oleh ayah, karena akan ada jiwa-jiwa yang terluka dari mereka yang melahirkannya. Membiarkan mereka menikah di depan mataku akan menyumbat mata hatiku. Untuk itu ia melarangku kembali ke kota ini, menghindari puing-puing hati menjadi meranggas.”

“Sungguh mulia hatinya. Sepertinya ia menemukan pembelajaran dari makna kasih yang sesungguhnya, ia mengenal dekat wujud cinta yang sesungguhnya. Sungguh berbahagia wanita yang menjadi istri ayahmu,” wanita itu mengucap puji.

“Aku tak mengenal siapa kekasihnya yang akan ku panggil ibu. Ia tak memberiku ibu, ia memberiku lebih dari ibu. Sedangkan aku hanyalah anak angkat yang diambil dari sebuah panti asuhan, itupun baru ku tahu ketika aku telah dewasa. Tapi... sedari tadi aku bercerita, aku belum mengetahui siapa ibu sebenarnya?” aku menatap pada mata teduhnya.

“Aku hanyalah seorang peziarah. Berjalan dan menemukanmu di menit-menit yang lalu. Aku kagum pada binar matamu yang menyemburatkan kerinduan yang mendalam. Dan aku terhenti untuk itu,” katanya lembut menjelaskan.

“Sama seperti aku, meninggalkan danau kenangan di kota ini?” selidikku.

“Seperti itulah, lebih tigapuluh tahun aku tak menyapa kota ini. Tak lagi pernah menyapa pagi hari karena aku lenyap bersama malam kota ini. Membiarkan sejuta kehidupan berjalan tanpa mencoba untuk mencekokinya. Membiarkan seorang lelaki menghadapi hari-harinya tanpa pernah menawarkan janji akan tiba ‘masanya bila’ aku kembali ke pelukannya,” mata wanita tua itu berkaca-kaca, bibirnya bergetar.

“Engkau mematikan mimpi-mimpi lelaki itu. Begitu kejamnya,” aku memvonisnya. Ia tertawa kecil sambil menutup mulut menahan tawanya. Ia mengusap dua tetes air mata di pipinya yang terukir guratan waktu. Ia menarik nafas yang terasa tertahan di tenggorokannya. Tapi ia tak bisa menahan tawa kecilnya kembali.

“Tidak, aku tak kejam. Aku hanya seorang wanita petualang yang tak bisa hidup di satu tempat. Aku bosan dengan kota ini, dan aku mencari suasana baru di kota lain. Aku mengabarinya sesampai aku di Jakarta, mencari kerja. Tapi aku tak menjanjikan akan kembali ke sini. Tapi kalau kau mau menyimpulkan, jangan katakan aku kejam, katakan saja aku mengabaikan ketulusan cintanya. Mungkin saat itu aku tak begitu yakin akan cinta kami, aku coba biarlah waktu yang menjadi cermin pembelajaran diri. Tapi ternyata.....” ucapannya terhenti, wajahnya menengadah ke langit entah mencari apa.

“Tapi apa?” aku mencoba mencari jawab kegusaran akan cerita-ceritnya tadi.

“Cinta tulus yang aku abaikan berubah menjadi karma. Aku terlantar untuk obsesi yang aku ciptakan sendiri, hingga di detik ini aku baru merasakan akan nilai-nilai itu semua. Sungguh mahal nilai sebuah kesetiaan, aku malu pada mu dan cerita tentang ayahmu. Hai.... tunggu apa lagi. Jemputlah kerinduan yang menantimu, jangan biarkan ayahmu menahan kerinduan lebih lama lagi, walau itu untuk beberapa detik yang kau tunda sejak tadi.” Wanita itu seperti mencoba menghentikan pembicaraan akan rasa bersalahnya dan ia memaksaku pergi. Aku hanya tersenyum, dan beranjak pergi menyeberangi jalan raya ini, jalan yang membelah rumahku dan taman itu.

Kakiku terhenti ketika ia meneriakkan sesuatu, “sampaikan salamku padanya. Aku tak mampu berinya janji karena ‘masanya bila’ hanya di sebuah keabdian kelak di sumber kasih itu mengalir. Aku akan menantinya di sana.” Sebelum aku mendapatkan wujudnya, sebuah bayangan besar menjemputku, melemparkan ketidaksadaranku.

“Mas, mas........ bangun. Jangan tinggalkan aku,” rengek tangis mengisi relung sadarku. Tetes airmatanya jatuh di wajah. Lamat aku tersadar dan menatap wajahnya, hidungnya nyaris menyentuh pipiku. Aku memeluknya dan pasrah pada dekapannya.

“Bagaimana aku bisa ada di sini?” Aku menatap ruangan putih dengan wangi obat yang menyengat.

“Wati yang beri kabar ke kantor, jantungmu berdetak lemah. Aku hanya berdua dengan paman. Dan paman sedang mengurus obat di apotik. Kata paman ada berita duka dari kampung yang ia kabarkan padamu, itu yang membuat sakit jantungmu kambuh,” tangisnya menjadi, memelukku begitu erat. Ada rasa bersalah menggerogoti nuraninya.

Aku tersadar oleh ziarah di sakratul mautku. Kerinduan mendapatkan ayah - yang kembali sendiri untuk hari-hari tuanya. Aku menoreh luka yang dalam padanya, dan membiarkan luka itu tetap abadi menganga.

Aku menatap istriku, wanita dengan kalung mata batu hijau. Hanya dia yang aku miliki kini, biarlah ayah tenang menemukan wanita tua kekasihnya yang abadi di sebuah sumber kasih mengalir. Dan aku mengerti arti sebuah larangan itu, ketika ia mendapati dirinya telah luka cukup lama oleh cinta dulu.

Jakarta, 8 Nopember 2002

No comments: