Wednesday 17 November 2010

Kuasa Soeharto atas Gerhana (bagian 2)

Di Mojokerto, tim Jepang dari ILOM (International Latitude Observatory Mizusawa), dipimpin Dr. Sato. Ilmuwan itu yang masih saja merasa dongkol, karena kehilangan delapan buah peralatannya yang penting di Pelabuhan Tanjungperak. Di antaranya satu set kamera kontrol dan sebuah cermin untuk teleskop 20 cm. "Saya sudah urus ke Bea Cukai dan Ekspedisi Samudera Indonesia," ujar Sato kesal. "Semuanya buntu."

sambungan dari bagian 1

Peneliti tuan rumah yang bermodal dengkul
Sementara pihak Indonesia selain Lapan, banyak yang sudah mempersiapkan diri, atau sudah mulai melakukan berbagai penelitian. Hanya LIPI yang tak melakukan penelitian. Menurut Soedito, kepala Biro Humas LIPI, "tenaga LIPI hanya membantu penelitian yang dilakukan ahli Indonesia."

Peneliti dari UGM, Yogyakarta, juga mengambil bagian. Dengan total usulan penelitian yang hendak dilakukan berjumlah 47 buah dengan biaya sekitar Rp 11 juta. Ada di antaranya yang ingin mengukur tinggi manusia tatkala gerhana matahari itu berlangsung atau pengaruh GMT terhadap kekuatan peras tangan.

Tak ketinggalan Pusat Penelitian Penerapan Tenaga Matahari UGM pimpinan Dr. Seno Astroamidjojo. Kelompok ini memanfaatkan berbagai peralatan yang dibuat sendiri dari barang bekas. "Modal kami hanya dengkul," komentar Dr. Seno dengan khasnya. Alat itu berupa pemotret spektrum. Bentuknya mirip gerobak pedati dilengkapi dengan teleskop, yang menurut Seno, dari "zaman baheula". Alat ini digunakan untuk memotret spektrum dari bagian kromosfir dan fotosfir - keduanya lapisan terluar matahari. Melalui percobaan itu ingin diketahui reaksi dari atom, ion, dan elektron yang ada di lapisan itu.

Sebetulnya Seno merencanakan banyak lagi eksperimen. Karena peristiwa GMT ini dianggapnya sangat penting bagi penelitian ilmiah. Tapi proposal yang diajukannya setahun lalu, nyatanya ditolak UGM, termasuk anggaran yang ia usulkan sebesar Rp. 10 juta. "Baru kemarin secara lisan diberitahukan disetujui Rp. 800.000," katanya. "Itu pun uangnya belum saya terima."

Satu keinginan Seno ialah mengulang eksperimen yang membuktikan teori relativitas Einstein - yang antara lain mendalihkan bahwa berkas cahaya akan membelot oleh daya gravitasi massa besar seperti bintang. Eksperimen ini pertama kali dilakukan oleh Eddinton, ahli fisika Inggris, ketika mengamati gerhana matahari di Pulau Principle di Samudra Atlantik pada 1919.

Einstein terbukti benar dan eksperimen itu merupakan suatu puncak penelitian yang unik. Namun kini tak ada ilmuwan yang melakukannya lagi. "Soalnya kini ada cara yang lebih teliti dengan menggunakan gelombang radio," ujar Morris Aizeman dari NSF menjelaskan. "Kalau toh ada orang yang ingin mengulang eksperimen itu, tentu boleh saja," tambahnya, "tapi tak ada lagi nilai ilmiahnya."


Seksi Geofisika dari MIPA-UGM menyiapkan penelitian tentang geomagnetisme dan pengukuran intensitas sinar infra-merah matahari. Sementara Panitia Penelitian UGM, yang diketuai Sugeng Martopo, kepala PPSL-UGM, meneliti tentang persepsi dan perilaku masyarakat di pedesaan, soal meteorologi dan pengamatan terhadap pasang surut air laut.

Masih ada lagi, Fakultas Biologi UGM merencanakan penelitian pengaruh GMT terhadap tingkah laku binatang. Juga terhadap gerak tumbuhan dan bio lingkungan. Dan rencana penelitian kelompok Biologi dari ITB maupun UI tak berbeda. Obyek penelitian ialah tubuh manusia dan berbagai perilaku satwa dan tetumbuhan.

Rezeki datang bersama gerhana
Bisnis Pariwisata tak hanya datang di saat liburan. Namun dimasa "liburan" dadakan kali ini, bisnis perhotelah mendulang emas. Sebagian hotel di daerah lintasan gerhana mulai berbenah sejak dini dan tentunya tak lupa menaikkan tarif. Misalnya Hotel Ambarukmo di Yogya, memasang tarif US$110 untuk kamar yang biasanya bertarif US$61. "Begitu juga Hotel Simpang, di Surabaya. yang menaikkan tarifnya 30%. Di Semarang, kenaikan tarif bergerak sekitar 20-35%. Kesempatan menaikkan tarif tidak dilewatkan pula oleh para pengusaha penginapan di Pantai Pananjung, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Desa ini yang pertama kali akan tersentuh gerhana, tepat pukul 09.49 Wib.

Tingkat kenaikan 100% konon terutama dilakukan hotel berbintang tiga dan empat. Rata-rata akan mengutip US$ 100 sampai US$ 125 per malam untuk suite room. Apalagi lampu hijau sudah dinyalakan Achmad Tahir, Menteri Pariwisata, Pos & Telekomunikasi. "Selama kenaikan itu masih bisa dijangkau turis, kita tidak akan melarangnya." Tamu yang akan datang diperkirakan sekitar 20 ribu orang.

Bukan dengan sembunyi di kolong.
Sabtu Pon 11 Juni 1983 merupakan hari bersejarah. Berbondong-bondongnya para peneliti asing datang menuju negeri yang sepi. Seperti yang dirasakan oleh Adam Malik, "daerah Tuban dan sekitarnya seperti negeri yang mati. Penduduk ngumpet, karena diperintahkan begitu."
Ada nada menyesali dikalimat selanjutnya, "padahal ini bukan malapetaka. Ini toh satu fenomena alam biasa. Kenapa mesti khawatir?"

Bekas wakil presiden itu sengaja datang ke Tuban bersama keluarganya, dan selama gerhana berlangsung ia tak lepas dari kamera Nikon dengan lensa tele 1.000 mm. "Foto-foto ini akan saya kirim ke Boscha, Lembang, untuk majalah Astronomi Internasional."

Ternyata tak hanya beliau yang mengindahkan larangan itu. H. Boediardjo, mantan menteri penerangan ini (saat itu menjabat direktur utama PT. Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan), sudah siaga di selatan candi sejak subuh di hari gerhana itu. Dengan dua kamera Nikon plus sebuah tele 500 mm, ia mengabadikan juga suasana di sekitar candi Borobudur.

Boediardjo hanya membawa dua kemanakannya, "Untuk membantu saya membawa peralatan," katanya. Ada niatnya membawa cucu, "tapi eyang putrinya nggak kasih. Takut buta. Padahal saya ingin beri cucu saya pengalaman seperti GMT ini. Kan, edukatif," katanya. Sekaligus ia juga menyayangkan banyak orang yang jadi takut melihat gerhana.

Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Prof. Emil Salim bahkan menyarankan, peristiwa yang indah itu perlu dipopulerkan. Bersama istri, menteri ini turun di Tanjung Kodok. Mulanya mengamati gerhana sebelum total di layar TV, tapi setelah total, langsung melihatnya di lapangan. Mata pak Menteri ternyata sehat-sehat saja.

Kejadian yang memalukan dari bangsa ini menjadi sindiran Prof. Jay Pasachoff. Pasachoff mengatakan orang awam pun bisa terlibat. "Gerhana matahari itu merupakan peristiwa yang paling indah dan mengagumkan yang mungkin terjadi di bumi ini." Dan mereka akan menyadari kehebatan peristiwa alam itu, tentu ingin memahaminya.

"Maka sangat penting jika banyak remaja menyaksikan peristiwa itu," kata Pasachoff. Jika sebaliknya, kepada kaum muda itu diajarkan bahwa gerhana itu berbahaya, atau berpengaruh buruk, atau memancarkan sesuatu yang jelek - generasai muda bisa hilang perhatian pada ilmu, karena takut.
"Banyak calon tenaga cerdas menjadi tidak tersedia karenanya," ujar Pasachoff. Takut jadi buta, dengan kata lain, perlu diatasi dengan cara ilmiah, bukan dengan sembunyi di kolong.

Kuasa Soeharto atas Gerhana
Mau apa dikata, itu sudah berlalu. Ini merupakan hari terburuk dalam sejarah astronomi Indonesia. Peristiwa yang hanya berlangsung 5 menit 11 detik namun luput di depan mata di tanah sendiri. Gerhana matahari total melintasi wilayah Indonesia, terutama Jawa, dan Soeharto menyadari itu. Hingga ia yang memang paham benar kebudayaan Jawa mereproduksi terus menerus mitologi gerhana matahari sebagai akibat ditelan oleh Bathara Kala.

John Pemberton, antropolog yang meraih gelar PhD dalam studi tentang Indonesia di Cornell University, mengeksplorasi persoalan ini dalam salah satu bab disertasinya yang berjudul On the Subject of Java. Peristiwa GMT itu dijadikan salah satu titik pijaknya untuk membedah logika kekuasaan Orde Baru yang digelar dengan mentransmutasikan kode-kode kebudayaan Jawa.

Pemberton mengajukan konsep "slamet" dalam kebudayaan Jawa sebagai kunci untuk memperjelas bagaimana Orde Baru mencoba membangun hegemoni tentang pentingnya kekuasaan negara sebagai pengayom dan pelindung masyarakat dari ancaman marabahaya apa pun, termasuk bahaya kebutaan massal dan permanen akibat gerhana matahari total.
Soeharto "menelan" matahari dari mata kita dengan memberi "slamet." Kuasa Soeharto atas gerhana.
Edi Sembiring
Sumber data :
Tempointeraktif 19 Maret 1983
Tempointeraktif 26 Maret 1983
Tempointeraktif 11 Juni 1983 (klik dan klik)
Sumber foto : klik

No comments: