Wednesday 17 November 2010

Syair Kesaksian Amuk Krakatau

Krakatau
Orang yang mati ketika itu,
Terlalu banyak bukan suatu,
Ada terselit di pohon kayu,
Ada yang pipih dihimpit perahu.

Inilah sepenggal syair yang ditulis Muhammad Saleh, sekitar tiga bulan setelah Gunung Krakatau meletus pada Agustus 1883. Syair yang seluruhnya terdiri atas 375 bait dalam aksara Arab-Melayu itu adalah laporan pandangan mata yang secara terperinci melukiskan kematian massal akibat letusan tersebut. Syair Lampung Karam bercerita bagaimana daerah seperti Bumi, Kitambang, Talang, Kupang, Lampasing, Umbulbatu, Benawang, Badak, Limau, Rajabasa, Tanjung Karang, Pulau Sebesi, dan Merak hancur lebur diterjang tsunami, lumpur, disertai hujan abu dan batu.

Tertuang dalam bentuk cetak batu (litografi), dokumen klasik itu baru ditemukan lebih dari 120 tahun kemudian. Adalah Suryadi, dosen dan peneliti di Jurusan Asia Tenggara dan Oseania Universitas Leiden, Belanda, yang berhasil mengumpulkan semua bait syair itu. Selama kurang-lebih tiga tahun peminat sastra Melayu klasik itu menghimpun syair yang ditemukan terpisah di enam negara, yaitu Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia. Syair yang tercerai-berai itu kemudian dialihaksarakan ke huruf Latin. Hasilnya bisa disimak dalam buku Syair Lampung Karam: Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883, terbitan Komunitas Penggiat Sastra Padang.

Buku setebal 206 halaman ini sarat dengan data yang bisa menguatkan data lain tentang peristiwa Krakatau di masa lampau. Selama ini yang menjadi sumber bacaan penting tentang letusan Gunung Krakatau adalah laporan penelitian lengkap G.J. Symons, The Eruption of Krakatoa and Subsequent Phenomena: Report of the Krakatoa Committee of the Royal So ciety, diterbitkan pertama kali di London pada 1888. Laporan ini menyebutkan letusan Gunung Krakatau di perairan Selat Sunda, Lampung Selatan, pada 26 hingga 28 Agustus 1883, terbilang amat dahsyat. Bunyi letusannya bahkan terdengar sampai Manila, Kolombo, Papua Nugini, dan pedalaman Australia.

Suryadi pertama kali menemukan salah satu edisi Syair Lampung Karam, yaitu edisi 1888, di Perpustakaan Universitas Leiden (Universiteitsbibliotheek Leiden) pada akhir 2007.

"Sebelumnya Syair Lampung Karam pernah dibicarakan oleh Sri Wulan Rudjiati Mulyadi pada 1983, tapi belum mendalam," katanya. Edisi berjudul Inilah Syair Lampung Karam Adanya itu disalin oleh Encik Ibrahim dan diterbitkan oleh Al Hajj Muhammad Tayib di Singapura. Rupanya ini adalah edisi keempat dari teks yang pernah diterbitkan.

Selain di Perpustakaan Universitas Leiden, Surya di menemukan bagian lain eksemplar edisi yang sama di beberapa tempat, yakni perpustakaan pribadi penginjil Methodist Emil Lring di Frankfurt, Jerman, Perpustakaan Universitas Malaya, Malaysia, Perpustakaan SOAS University of London, Inggris, dan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), Jakarta.

Dari hasil penelusuran selama lebih dari setahun diketahui bahwa teks ini pertama kali dicetak di Singapura pada 1883/1884 (tanggal yang pasti tidak diketahui, karena hanya disebut diterbitkan tahun 1301 H, yang jika dikonversikan ke tahun Masehi berarti November 1883-Oktober 1884). Edisi pertama itu berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu.

"Eksemplar edisi pertama ini antara lain saya temukan di Perpustakaan Lenin di Moskow, Rusia. Juga satu eksemplar lagi pernah disimpan di PNRI, Jakarta," pria berdarah Minang itu menjelaskan.


Rupanya, setelah itu muncul edisi kedua teks ini, dengan judul Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut. Edisi kedua ini terbit di Singapura pada November 1884. Menurut catatan yang ada, eksemplar edisi ini pernah disimpan di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, tapi kemudian hilang. Edisi ketiga terbit pada Januari 1886, melalui Haji Said di Singapura. Judul yang tertera adalah Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik Air Laut. "Contoh eksemplar edisi 1886 ini saya temukan di Perpustakaan Universitas Cambridge, Inggris," kata Suryadi.

Perlu waktu sekitar delapan bulan untuk mengalih aksarakan naskah-naskah itu, termasuk melakukan perbandingan dengan edisi lainnya. Maklum, selain ada beberapa bagian teks yang kabur, di situ tertulis kata-kata arkais yang tidak lagi dikenal dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia masa kini.

"Saya harus membolak-balik berbagai kamus untuk mengetahui kata-kata itu. Kerja penyuntingan sebuah teks Melayu klasik yang ditulis dalam aksara Jawi memerlukan ketelitian dan kehati-hatian," katanya.

Suryadi yakin, naskah klasik Syair Lampung Karam yang ditulis dalam bahasa Melayu dialek Riau itu benar-benar laporan pandangan mata sang penulis, bukan sekadar rekaan. Menurut dia, ada bagian-bagian dalam teks Syair Lampung Karam yang menunjukkan bahwa Muhammad Saleh, si pengarang syair, mengalami sendiri bencana itu.

"Ia mungkin berada di Lampung ketika peristiwa itu terjadi. Ia mungkin salah seorang yang selamat dari bencana itu dan kemudian mengungsi ke Singapura," ujar Suryadi.

Muhammad Saleh juga secara terperinci menyebut daerah-daerah yang terkena bencana dan tabiat orang-orang yang sedang berada dalam keadaan chaos di daerah yang terkena bencana itu. Dia bagaikan seorang reporter lapangan yang sedang melaporkan kejadian langsung dari tempat peristiwa.

"Syair Lampung Karam adalah salah satu jenis syair kewartawanan," kata Sur yadi.

Oleh : Nunuy Nurhayati

No comments: