Wednesday 17 November 2010

Kuasa Soeharto atas Gerhana (bagian 1)

gerhana
Pada peristiwa tanggal 11 Juni 1983 patutlah kita merasa malu. Ketika berbondong-bondong wartawan media cetak dan elektronik serta ilmuwan-ilmuwan asing datang ke Indonesia, bangsa kita dibodohi oleh sebuah aturan. Di depan para wartawan Menteri Penerangan Harmoko (ketika itu masih beberapa bulan menjadi menteri) mengatakan bahwa Presiden meminta rakyat Indonesia agar pada saat gerhana nanti tinggal saja di dalam rumah. Dan tentunya Menpen Harmoko memulainya dengan perkataan, "Bapak Presiden memberi petunjuk...."

Entah apa yang ada di benak pemerintahan rezim totaliter saat itu, namun ada yang membela mungkin Presiden Suharto saat itu kurang mendapat informasi tentang apa sebenarnya gerhana matahari tersebut, ketakutannya sungguh berlebihan. Namun di kemudian hari ketika ketakutan itu tak terbukti, Harmoko mengatakan bahwa Presiden menyuruh rakyat untuk mengurung diri sebenarnya demi untuk melindungi kesehatan mata rakyat, yaitu agar jangan terlalu lama memandang proses gerhana tersebut dengan mata telanjang. Namun itu sepertinya alasan yang dibuat-buat, mengapa tidak pada saat konfrensi pers, ia memberi penjelasan seperti itu. Seakan Harmoko tetap membela "majikannya."

Semua struktur pemerintahan dari unit teratas hingga terkecil "mengamankan" perintah tersebut. Hingga para Camat, Kapolres dan Danramil turun di daerahnya masing-masing mengamankan rakyat agar tidak keluar pada saat terjadinya gerhana total nanti. Dan bila sudah terjadi hal seperti ini, siapa berani melawan. Bumi Indonesia hening dan rakyatnya bersembunyi dalam ketakutan yang spektakular. Seperti ketakutan kanak-kanak yang bersembunyi di bawah kolong tempat tidurnya.

Kebingungan para ahli
Sebelumnya ternyata ada pro dan kontra di antara para ahli mengenai boleh tidaknya masyarakat awam menyaksikan gerhana tersebut. Salah satunya adalah Prof. dr. Sugana Tjakrasuganda, bekas kepala RIS Mata Cicendo Bandung, yang mengimbau agar masyarakat awam tidak usah melihat gerhana matahari tanpa alat pengaman. Ahli mata terkemuka dari Bandung itu menyatakan kebutaan yang diakibatkan karena melihat matahari tersebut tidak ada obatnya. Ia mengkhawatirkan penduduk yang sangat awam di pedesaan bakal menjadi korban kerusakan mata tersebut.

"Karena hari tiba-tiba gelap, mereka ingin melihat matahari. Pada saat itulah matanya rusak dan mereka tidak menyadarinya. Sebab mereka tidak merasakan sakitnya," kata Sugana Tjakrasuganda dan ia menyarankan untuk melihat peristiwa itu melalui televisi saja.

Dan ada juga yang mendukung pendapat tersebut. Menurut Dr. Andrianto Handojo, ketua Jurusan Fisika ITB saat itu, bahwa yang sangat berbahaya sesungguhnya bukan peristiwa gerhananya, melainkan pancaran cahaya matahari yang langsung mengenai mata. Hal ini juga sama berbahayanya dengan menatap matahari dalam keadaan tidak gerhana.

"Pada saat keadaan sekitar kita gelap, pupil mata membesar, berusaha menembus kegelapan. Ketika bagian matahari yang berbentuk sabit itu muncul, terpancarlah cahayanya langsung mengenai mata yang melihat peristiwa gerhana tersebut, padahal pupil mata masih dalam keadaan membesar. Saat inilah yang paling berbahaya. Karena itu berhati-hatilah," nasihat Adrianto.

Berbeda halnya dengan Prof. Dr. Bambang Hidayat, Direktur Observatorium Bosscha di Lembang. Ia termasuk salah seorang ahli yang tak percaya bahwa mata akan buta bila memandang gerhana matahari total.
"Peristiwa ini jarang terjadi, karena itu harus dinikmati dan diamati beramai-ramai." Ia tidak setuju dengan berbagai larangan yang didasarkan informasi yang keliru. "Soalnya pada saat gerhana matahari, tak terjadi radiasi tambahan seperti banyak diduga orang," katanya tegas.

Prof. Dr. Bambang Hidayat dan tokoh astronomi Indonesia lainnya, jengkel menghadapi berbagai anggapan keliru sekitar peristlwa alam yang lazim itu. Kala itu ada kabar yang ditiupkan, berita tentang 3.000-an orang India menjadi buta karena melihat gerhana matahari tahun 1981.

"Saya minta bukti, tapi ternyata sampai sekarang tak dapat diberikan."


"Dari semua kejadian itu tak ada catatan adanya peristiwa kebutaan karena gerhana," ucap Bambang. Ia bukan tak menyadari maksud baik dari larangan pemerintah itu, "tapi sebaiknya tidak dilakukan dengan membohongi masyarakat."

Dari Tanjung Kodok mengapai matahari
Sabtu Pon 11 Juni 1983, Desa Tanjung Kodok, Lamongan, Jawa Timur. Puluhan orang asing telah berkumpul. Menunggu sabar sambil tersenyum menatap 7 buah batu yang, menyerupai bentuk kodok, yang moncongnya menatap ke laut. Dan di bawahnya, air laut tampak bening sementara dikelilingi pohon kelapa berjajar menyapa langit.

Tempatnya terpencil namun bagi mereka yang berbondong-bondong ke situ, tentunya untuk pertama kali, Tanjung Kodok mempunyai keistimewaan bagi para pengamat gerhana. Tanjung Kodok langsung berada di bawah garis tengah lintasan bayangan gerhana matahari yang dinanti, sesuatu yang menguntungkan pengamatan, karena menembus lapisan atmosfir bumi yang tertipis. Kemungkinan langit tertutup awan juga lebih kecil di pantai utara Jawa itu, hal yang sangat penting tentunya bagi para pengamat.

Yang datang dari jauh sudah bersiap-siap. diantaranya tim AS dari NSF (National Science Foundation) yang terdiri dari 30 orang ilmuwan dan dipimpin oleh Dr. Morris Aizeman. Peralatan dan instrumen yang mereka bawa, mencapai berat 6 ton, telah dipasang di lokasi. Tim ini terdiri dari ilmuwan berbagai disiplin ilmu dan persiapan membentuk tim ini sudah berlangsung sejak tahun 1981.

Beberapa eksperimen penting akan dilakukan mereka adalah mengukur garis tengah matahari (sesuatu yang terutama bisa dilakukan selama berlangsung gerhana matahari), penelitian terhadap debu matahari yang berkisar di bidang eklipsika (yang juga hanya terlihat di saat gerhana berlangsung). Dan tentu saja eksperimen terpenting menurut mereka adalah pengamatan terhadap korona. Bagaimana caranya energi dari permukaan matahari berpindah ke korona yang ternyata ribuan kali lebih panas.

Di samping itu, dilakukan juga beberapa eksperimen mengamati sifat gelombang tekanan halus, yang timbul bila tiba-tiba bayangan bulan menggelapkan atmosfir bumi. Ini dilakukan tim AS itu dengan menaikkan sejumlah balon, dilengkapi berbagai instrumen pengukuran yang amat peka. Juga akan diukur dampak terhadap permukaan bumi, yang tiba-tiba tidak mendapat masukan energi dari matahari. "Seluruhnya akan dilakukan sekitar delapan eksperimen," ujar Aizeman.

Tak hanya dari AS dari negeri India pun hadir. Mereka terdiri dari tujuh orang ilmuwan dan teknisi, dilengkapi peralatan yang jauh lebih sederhana dari pada tim AS. Mereka menempati lokasi seluas 21 m2 berdekatan areal tim AS yang 400 m2 luasnya. Pagar sekelilingnya mengamankan berbagai peralatan yang tampak sudah terpasang.

Namun yang pemula juga hadir dari negeri yang jauh. Empat orang amatir dari Jerman Barat dengan sebuah teropong mini. Margot Soh, gadis remaja pimpinan tim kecil yang menamakan diri Volkstern Warte am Hamburg datang tanpa dibiayai pemerintah. Jauh berbeda dengan dukungan AS pada peneilitinya yang memerlukan dana sekitar US$ 200 ribu belum termasuk nilai berbagai peralatan dan instrumen yang canggih.

Seperti juga tim amatir dari Jerman, banyak juga peneliti yang datang dengan biaya sendiri dan kalaupun ada yang beruntung dibiayai oleh universitas mereka. Antara lain : Dr. George Dale, biolog yang berspesialisasi pada kehidupan jenis ikan karang. Ilmuwan dari Universitas Fordham di New York itu ingin meneliti perilaku ikan yang hidup di karang selama terjadinya gerhana matahari. Ia menunggu kesempatan ini sudah lama dan mempersiapkan diri dari sepuluh tahun sebelumnya. Penelitiannya dilakukannya di Pulau Panjang, sebelah utara Jepara, dan sudah dimulainya lima hari sebelum terjadi gerhana matahari total (GMT). Ini untuk mendapat bandingan dengan perilaku selama gerhana itu berlangsung.

Tak hanya di Tanjung Kodok, para pencari matahari itu juga tersebar di beberapa tempat. Tim dari Inggris memilih desa Cepogo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Tim ini terdiri dari empat orang disponsori Royal Society di Inggris. Mereka ingin meneliti komposisi kimiawi dari debu matahari yang beredar di bidang eluator matahari, yaitu untuk membuktikan suatu teori yang disusun Linda Grimshaw, salah satu anggota tim itu.

Tim Prancis yang dibiayai dana pemerintahnya menempati dua lokasi. Satu di sekitar Yogyakarta dan satu lagi di Cepu. Dipilihnya dua tempat ini, untuk menjamin salah satu berhasil, jika satu tempat ternyata tertutup awan. Tim ini terdiri dari tujuh astronom, dibawah pimpinan Dr. S. Koutchmy dan Dr. G. Stellmacher dari Institut Astrofisika dari Pusat Penelitian Ilmiah Nasional (CNRS). Bersama mereka, ada sekitar 20 astronom amatir yang tergabung dalam Himpunan Astronom Prancis (SAF), yang membantu para astronom itu melakukan berbagai eksperimen mereka.

Jepang juga tak mau ketinggalan, mendatangkan ilmuwannya sebanyak 21 orang. Tim ini dipimpin Prof. Dr. Enjiro Hiei dari Observatorium Astronomi di Tokyo. Sebetulnya, rombongan ilmuwan Jepang ini terbagi 6 tim, yang masing-masing menempati lokasi yang berbeda. Uniknya, lima dari enam tim itu menggalang kerja sama dalam berbagai penelitian dengan para ahli dari Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), khususnya dengan tenaga dari Pusat Riset Dirgantara Lapan di Bandung.

Tim Dr. Hiei berlokasi di Cepu. Dan eksperimen utamanya ialah pemotretan korona, untuk mengetahui struktur halusnya. Seperti tim AS dan tim Prancis, mereka juga mempelajari mekanisme pemanasan energi korona.

Eksperimen ini tentunya sangat berharga bagi Ir. Wilson Sinambela, kepala Stasiun Pengamatan Matahari di Tanjungsari, Sumedang. Ia bersama Drs. Manurung mewakili Lapan dan kerja sama dengan Jepang itu. Pengamatan sudah dimulai dua minggu sebelum GMT. "Ini untuk mengetahui daerah keaktifan matahari," ujar Sinambela. Mendampingi peralatan milik Jepang di Bukit Mentul, kompleks Akamigas, Cepu, terpasang 2 teleskop celestron milik Lapan.

Di lokasi lain, yaitu Watukosek di Mojokerto, tim Jepang bekerja sama dengan tenaga Lapan akan meluncurkan balon stratosfer raksasa dari Stasiun Peluncuran Balon Stratosfir milik Lapan. Balon ini akan membawa teleskop dengan kamera yang akan merekam GMT secara otomatis. Penelitian ini erat hubungannya dengan masalah klimatologi dan meteorologi. Peralatan akan diterjunkan dengan payung. Sedang balon sebesar 15.000 m3 dan panjang 100 m itu dimusnahkan.

Di Mojokerto, tim Jepang dari ILOM (International Latitude Observatory Mizusawa), dipimpin Dr. Sato. Ilmuwan itu yang masih saja merasa dongkol, karena kehilangan delapan buah peralatannya yang penting di Pelabuhan Tanjungperak. Di antaranya satu set kamera kontrol dan sebuah cermin untuk teleskop 20 cm. "Saya sudah urus ke Bea Cukai dan Ekspedisi Samudera Indonesia," ujar Sato kesal. "Semuanya buntu."

Bersambung ke bagian 2

Sumber data :
Tempointeraktif 19 Maret 1983
Tempointeraktif 26 Maret 1983
Tempointeraktif 11 Juni 1983 (klik dan klik)
Sumber foto : klik

No comments: