Sultan HB IX telah menyelamatkan negeri ini, ketika negeri ini masih berumur 5 tahun. Bila tak ada ia, mungkin di PBB Indonesia tetap tak diakui kemerdekaannya.
Dalam tulisan ini dapat dibaca bagaimana Tan Malaka meminta Soekarno untuk mendekati HB IX, lalu pasukan Tan Malaka yang menolak adanya pemerintahan Swapradja di Solo, hingga kenyataan bahwa Ratu Juliana adalah teman sekolah HB IX, hingga hubungan ini mampu menjinakkan Belanda.
Pernyataan SBY (sumber) yang mengatakan: "Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi,” dalam rapat terbatas untuk mendengarkan laporan dan presentasi dari Mendagri (tanggal 26 November 2010) tentang kemajuan dalam penyiapan empat RUU di Kantor Presiden, membuat gerah banyak pemerhati. Padahal jelas-jelas Sultan terpilih melalui sistem yang ada dan pemerintahan di Yogya bukanlah pemerintahan berbentuk kerajaan. Hingga Sultan Hamengku Buwono X menyatakan kepada pers di kantor Gubernur Kepatihan, Yogyakarta, Sabtu (27/11/2010) :
”Saya tidak tahu yang dimaksud dengan sistem monarki yang disampaikan pemerintah pusat. Pemda DIY ini sama sistem dan manajemen organisasinya dengan provinsi-provinsi yang lain, sesuai dengan Undang-Undang Dasar, UU, dan peraturan pelaksanaannya,” (sumber).
Lalu kitapun (termasuk pemimpin) perlu belajar pada sejarah, mengapa Yogyakarta diberi gelar Istimewa, agar kita paham dan tak bodoh oleh pemikiran sempit.
![]() |
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X (foto oleh : Bian Harnansa/Persda Network) |
Oleh Anton
Pernyataan SBY dirasa tidak memahami sejarah serta perasaan orang Yogya membuat banyak pihak meradang, begitu juga dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Kenapa SBY bisa tidak mengerti sejarah Yogyakarta dimana Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada waktu itu mempertaruhkan kedudukan politiknya, tidak mempedulikan tawaran Ratu Juliana yang akan memberikan kedudukan Sri Sultan HB X sebagai Pemimpin Koalisi Indonesia-Belanda dan Menggadaikan kekayaannya untuk berlangsungnya Pemerintahan Republik Indonesia. Generasi muda ada baiknya mengetahui asal usul kenapa Yogyakarta diberikan status wilayah Istimewa sebagai konsesi politik dan penghargaan Pemerintahan Republik Indonesia terhadap peranan rakyat Yogya yang gantung leher mempertaruhkan eksistensi Republik Indonesia.
Tak lama setelah Proklamasi 1945, pemimpin pusat macam Sukarno, Hatta, Subardjo dan Amir Sjarifudin menyatakan bahwa "Eksistensi pengakuan pernyataan Pegangsaan harus didukung kekuatan riil di daerah, Belanda atau pihak asing hanya akan mengakui kemerdekaan itu bila kekuatan-kekuatan daerah mendukung" memang pada hari-hari pertama Jawara Banten sudah mendukung pernyataan kemerdekaan RI dengan mengirimkan pendekar-pendekarnya mengamankan Jakarta. Kekuasaan Jepang di seluruh wilayah Banten direbut oleh para pendekar. Tapi kekuasaan pendekar itu bukan jenis kekuasaan formal yang teratur rapi. Begitu juga dengan dukungan jago-jago silat Djakarta dan Bekasi yang kemudian membentuk laskar bersendjata untuk langsung tarung di jalan-jalan Cikini sampai Kerawang. Kekuasaan Informal langsung mendukung Sukarno. Tapi bagaimana dengan kekuasaan formal yang telah didukung administrasi rapi dan memiliki massa pengikut jutaan. Kekuasaan formal itu terletak di Solo dan Yogyakarta.
Solo dan Yogyakarta disebut dengan daerah Voorstenlanden, atau daerah yang diberi kekuasaan khusus oleh Hindia Belanda sebagai buntut perjanjian Giyanti 1755. Setiap terjadi suksesi Belanda sebagai pemerintah pusat bernegosiasi terus menerus dengan raja baru untuk menambah konsesi wilayah dan peraturan-peraturan baru. Lama kelamaan daerah Voorstenlanden hanya sebatas wilayah Yogyakarta dan Surakarta seluruh wilayah Mataram asli semuanya masuk ke dalam pemerintahan Hindia Belanda. Namun wilayah boleh direbut tapi pada hakikatnya rakyat Jawa Tengah dan Sebagian Jawa Timur menganggap raja mereka berada di Solo dan Yogya. Seperti orang Madiun yang lebih berorientasi pada Mangkunegaran atau Blitar yang menganggap Yogya lebih representatif ketimbang Solo. Namun terlepas dari itu semua raja-raja Yogya dan Solo dianggap bagian dari trah resmi raja-raja Jawa.
Pengumuman kemerdekaan Indonesia dilakukan pada sebuah rumah di Pegangsaan ini artinya : Kemerdekaan itu lahir bukan dalam situasi formal. Pemerintahan pendudukan Jepang tidak lagi pegang kuasa di Indonesia setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom atom dan Hirohito dipaksa menandatangani surat pernyataan kalah tanpa syarat dihadapan Jenderal MacArthur dan sebarisan perwira AS bercelana pendek. -Pemerintahan Jepang dipaksa oleh pihak sekutu sebagai pemenang perang untuk mengamankan seluruh aset-aset di wilayah Asia yang diduduki Jepang termasuk Indonesia. Namun perwira-perwira samurai itu juga sudah pernah berjanji pada sebarisan kaum Nasionalis untuk memerdekakan Indonesia, tapi tujuan kemerdekaan itu adalah membentuk : Persekutuan bersama Asia Timur Raya. Kemerdekaan itu ditunda beberapa kali sehingga sempat membuat berang Sukarno. Namun pada malam 16 Agustus 1945 Laksamana Maeda dengan garansi dirinya pribadi membantu kemerdekaan Indonesia sebagai bentuk pemenuhan janji. Hanya saja statement kemerdekaan dikesankan bukan dari Jepang.
Dan Sukarno butuh formalitas. Ia butuh rakyat Jawa, hatinya orang Jawa untuk berdiri dibelakang dia setelah pengumuman kemerdekaan. Sementara Tan Malaka sendiri yang belakangan muncul meragukan kemampuan Sukarno menggalang dukungan rakyat secara utuh, Tan Malaka bilang pada Subardjo "Suruh Sukarno cepat cari dukungan di tingkat daerah, dia jangan bermain di wilayah elite melulu". Apabila tidak mendapat dukungan formal minimal di Jawa maka sekutu dengan cepat bisa melikuidir Indonesia.
Barulah pada pagi hari saat Sukarno sedang rapat dengan beberapa menteri datang sebuah surat kawat (telegram) dari Yogyakarta. Sukarno membuka telegram itu dan langsung melonjak dari tempat duduknya. Mukanya yang sedari awal kusut kurang tidur sontak gembira. Di depan menterinya Sukarno berkata "Surat ini adalah langkah awal eksistensi secara de facto bangsa Indonesia, sebuah functie yang bisa mendobrak functie-functie selanjutnya. De Jure kita sudah dapatkan secara aklamasi pada Proklamasi Pegangsaan tapi De Facto surat ini menjadi pedoman kita semua". Surat 5 September 1945 yang berisi maklumat itu berasal dari Sri Sultan yang berisi bahwa :