Friday 7 November 2003

SARA

Matanya lapar menatap halaman-halaman yang berkumpul jadi satu. Liurnya menetes, pada setiap lembar yang dilalui. Kali ini jari telunjuk kanan menghampiri lidahnya lalu membelai tepi halaman. Menerkam kata-kata yang berlari menuju halaman berikutnya.

Saman, Yasmin, Leila, Shakuntala. Leila mampir di New York. Tidak lebih 5 kilometer jaraknya dari Sihar. Dari Sihar dan istrinya. Aahhh…. Ayu kamu nakal, menciptakan kenangan pada mereka yang telah tiga kali berbaring bersama tanpa bersetubuh. Sementara Saman pun kau hadirkan di kota itu. Kini dua lelaki yang ada di hati Leila ada di kota yang sama. Seorang Saman adalah Frater Wisanggeni, buron hingga ke kota ini oleh karena dituduh dalang kerusuhan di Medan tahun 1994.

Ada tangis. Sepertinya Ayu Utami tak menitipkan kata itu di akhir kalimat yang baru dijamahnya. Ia berlari kecil, sementara buku “Larung” ia biarkan terlarung di peraduan. Dari celah pintu yang dibuka pelan-pelan, Sara mencuri pandang. Di sebuah sofa di depan TV, Peter, abangnya, kikuk bagai kerbau bungkuk. Dibelainya rambut gadisnya, Eva, tapi tangis kian menjadi. Sara tertawa tertahan, ia geli. Peter bukan lelaki yang mampu menenangkan, buktinya ketika ia kecil dulu tak mampu ditaklukan ketika merajuk. Atau mungkin kak Eva memanfaatkan kodratnya sebagai wanita untuk mendramatisir suasana. Wanita kan tidak dilarang menangis, hanya pria yang dilarang, hehe….

Sara kembali ke peraduannya. Ia tak berusaha menutup kembali pintu kamarnya. Ia biarkan terbuka sedikit agar udara yang juga usil mau berbagi cerita. Tentang pertengkaran yang ia coba cari tahu, curi tahu.

Eva terisak-isak. Ia mengeluhkan sikap Peter yang kadang tidak pedulian. Tidak ada perhatian, katanya. Sudah sekian tahun berpacaran, Peter tak mampu memanjakannya. Bukan berkeinginan menjadi anak kecil kembali, tapi perhatian terkadang dibutuhkan untuk menciptakan waktu-waktu yang romantis.

Dan sekali lagi, Peter hanya bias mematung. Seperti patung dewa cinta yang tak mampu melepas anak panahnya. Ia tak tahu harus berbuat apa.

* * * *

“Halo, bisa bicara dengan Peter?” tanya suara di seberang.

“Bang Peter lagi di luar kota. Ini dengan kak Eva?” tanya Sara. Sepertinya ia mengenal suara merdu itu.

“Yap. Kapan Peter berangkat. Kok ndak bilang-bilang?” suara Eva terdengar kecewa.

“Berangkatnya tadi pagi-pagi. Mendadak. Menggantikan temannya yang berhalangan,” kata Sara. Ia mencoba meluruskan persoalan.

“Oh gitu. Udah dulu ya, kakak masih ada kerjaan di kantor nih. Eva nggak berangkat kuliah?”

“Ini mau berangkat.”

“Ok. Hati-hati di jalan. Have a nice day. Bye.”

Klik…

Sara diam. Di seberang sana Eva hening. Sara tak habis pikir sikap abangnya. Eva tak sadar, ada dua tetes tangis di pipinya. Sara dapat merasakan kekecewaan perempuan itu. Eva hanyut dalam kesedihannya.

* * * *

Telah dua hari ini Sara tidak ke kampus. Setelah tiga hari yang lalu teman-teman kampusnya marah besar. Mengejeknya yang tak mampu tepati janji. Ulin, Mitha, Artha dan Lina mengejeknya sebagai nenek sihir. Pembohong besar. Tetapi mana ada nenek sihir bertubuh bongsor, takkan bisa terbang dengan terbangnya, pikir Sara.sambil menahan tawa.

Bengkak! Itu kata yang dibencinya sejak kanak-kanak. Selain kata tongos. Mereka mengelilinginya seperti menari. Tarian yang menjulurkan lidah dengan kedua tangan berputar-putar di telinga. Selanjutnya akan ada lagu yang melengkapi pertunjukan. Bernada tinggi yang diakhiri dengan gerakan duduk sambil kaki menendang-nendang. Meraung-raung.

Untunglah Peter menyelamatkan ‘riwayat’ kelam itu. Pahlawannya itu memberi kesempatan untuk tidak dipermalukan lagi. Memang tubuhnya yang gemuk tak mampu berkurang kiloannya. Tapi Peter memberi kesempatan lain. Ia membawa Sara ke dokter gigi. Untuk merapikan giginya yang tongos, nongol, walau harus menggunakan kawat gigi tak apalah. Dari pada diejek sebagai mahasiswi gendut dengan gigi yang tongos pula.

Bukan berarti Sara tak percaya diri. Tapi kenyataan kadang memang bisa melunturkannya. Seperti kerasnya patung tanah liat, bila ribuan ejekan menghantarkan ludah-ludah, sedikit demi sedikit patung itu akan lumer dan tak berbentuk. Hingga rupa dan perasaan sama remuknya.

Untuk sang pahlawan itu pulalah, hari ini Sara mengorbankan perasaannya. Biarlah teman-temannya menganggapnya penipu. Toh, tadi ia juga memberi alternatif lain. Mereka dapat menikmati kue bikinannya di rumahnya. Pasti enak. Tapi lidah mereka lebih mengenal baik makanan-makanan kapitalis itu. Mereka tetap hanya ingin ditarktir, seperti jadwal kebiasaan mereka bergilir untuk saling mentraktir setiap minggunya di tempat tongkrongan mereka di salah satu mall. Dan kali ini giliran jatuh pada Sara.

Sara bukan tak punya uang. Peter selalu bermurah hati menyisihkan gajinya untuk Sara. Sara lebih memilih memakai uang itu untuk membeli seikat bunga. Rangkaian bunga mawar yang indah. Sangat indah. Harganyapun lumayan mahal, dari sebuah toko bunga yang siap mengantar pesanan ke tempat tujuan selama masih di kota yang sama. Untuk Eva.

Duh….kak Eva pasti senang, pikir Sara. Ia membayangkan senyum yang lebar akan terlukis di wajahnya yang cantik ketika membaca nama pada kartu yang terselip di antarannya. Love and thousand kisses, from Peter.

* * * * *

Sore ini matahari membakar senja. Langit merah meradang di ufuk sana. Udara sudah gerah sejak siang tadi. Lama hari-hari tak dikunjungi hujan. Tanah sepi merindukan awan menteteskan kasih.

Sementara itu, suara langkah tak lagi terseret. Kini berjingkat sambil bersenandung. Sara membuka pintu rumah. Ia meninggalkan topeng muram bersama sepatu yang terhampar di keset kaki. Ia tak mau Peter tahu akan kekesalannya di gereja tadi saat latihan koor buat Natal nanti. Mata mereka menuding Sara, suara sumbang itu dirasa milik Sara, sehingga latihan sempat diulang-ulang belasan kali. Dan sara tahu diri dengan menghilang pelan-pelan, keluar dari ruangan dan pergi.

“Kukasihi kau dengan kasih Tuhan. Kukasihi kau dengan kasih Tuhan. Kulihat di wajahmu kemuliaan Raja. Kukasihi kau dengan kasih Tuhan. Bagaimana aku harus mengatakannya. Tentang perasaan di hatiku. Oh, Tuhanku aku sungguh mengasihinya. Kukasihi kau dengan kasih Tuhan…”

Sara berjalan di dalam rumah sambil bersenandung, melewati Peter dan Eva yang duduk di sofa depan TV. Mereka diam. Sepertinya lagi marahan. Dan semoga merekapun tak memintaku untuk menghentikan laguku, kata Sara dalam hati.

Sara menyibukkan diri di dapur. Menyiapkan makan malam. Apalagi ada kak Eva, ia tahu apa kesukaan pacar abangnya ini. Malam ini ia coba memberi suasana yang indah bagi mereka mereka berdua. Sara membuka laci lemari dapur. Untung masih ada sebatang lilin. Candle light dinner. Oh, so sweet…

* * * *

Malam itu langit bersih, awan memeluk dengan mesra pada langit. Bintang berkerjap-kerjap di sudut sana. Sementara selimut malam membawa angin yang bertiup pelan seakan siap membawa mimpi berkubang hingga pagi datang.
Peter tak sabar menanti fajar tiba. Esok adalah hari yang bersejarah bagi hidup Peter. Ia dan Eva akan menikah, setelah mereka berpacaran 3 tahun lebih lamanya. Dan di beranda ini, ia berdua duduk dengan Sara. Meninggalkan kehangatan di dalam sana, percakapan yang tak habis-habisnya dengan mamak, bapak, bibik, kila, nini dan saudara lainnya yang teelah datang dari kampung.

“Sara, abang dan kak Eva banyak berterimakasih padamu. Karenamulah hubungan kami tetap langgeng hingga hari ini. Dan abang dapat berubah, hingga dapat lebih mengenal hati perempuan,” kata Peter sambil menatap mata Sara.

Sara yang duduk di sampingnya jadi kikuk. Ia bingung.

“Alasan apa abang berkata seperti itu?” tanya Sara mencari jawab.

“Hehehe… abang tahu segala perbuatanmu. Mengirim seikat mawar indah ketika aku dan Eva lagi bertengkar. Mengirim coklat kesenangannya saat Eva ulang tahun. Dan lagu itu……lagu itu sangat indah, menyindir kami yang terlalu dikuasai emosi belaka. Lagu itu menghantar kasih yang berkelimpahan. Dan kau beri kami jamuan malam yang indah, malam yang sangat romantis untuk kami berdua.” Peter tersenyum. Ia sangat bangga pada adiknya.

“Ahh…. abang. Dari mana abang tahu semua itu?” Sara tersipu malu. Wah, ketahuan nih.

“Ya, awalnya abang bingung. Eva selalu menelepon setelah menerima kiriman-kirimanmu itu. Padahal aku nggak merasa melakukannya. Tapi di saat-saat itu aku hanya bersyukur, Eva tak lagi marah. Yang penting ia senang. Mungkin aku bukan tipe lelaki romantis. Tanggal kelahirannya saja aku lupa, hehhee….. Sara, kau punya segudang keajaiban. Makanya aku bisa menduga, kau yang melakukan semua itu. Kau punya danau kasih. Kasih yang mungkin belum ditemukan orang lain selain aku. Mengapa tak mencoba cari pacar? Kamu romantis, penuh perhatian, anak yang periang, pinter bikin bikin makanan lagi. Pasti pacarmu akan senang banget.”

“Ahh, mana ada yang mau denganku,” kata Sara malu-malu. Pipinya merah. Seperti tomat yang ranum.

“Hei, jangan langsung nggak pede (percaya diri) gitu. Mungkin saja mereka belum menemukan kelebihanmu. Bukan maksudnya kelebihan berat loh, hehe…. Mungkin suatu saat Arjuna yang kau impikan di semua puisi-puisi dan tulisanmu akan hadir mengunjungi hatimu dan bersemayam selamanya. Tapi… aku pikir-pikir, punya cewek seperti kamu lebih menyenangkan. Tahu perasaan lelakinya. Nggak seperti Eva, emang sih cantik, tapi cepat marah, hehhee….”

“Awas ya, aku kasih tahu sama kak Eva nanti,” ancam Sara sambil tertawa lebar.

“Ya, jangan gitu. Eh….. tapi abang bisa minta tolong lagi nih,”

“Untuk pahlawanku, aku sedia mengabdi,” kata Sara sambil memberi hormat, membungkukkan badannya.

“Hmm, besok pada saat acara pemberkatan nikah, Sara tampil ke depan ya. Sara nyanyi ya, suaramukan bagus. Mau ya sayang,” pinta Peter memelas.

Sara hanya diam. Bengong. Ia panik. Terbayang esok suasana yang bakal dihadapinya. Semua akan menatapnya. Tubuh ajaibnya. Ah… sejak kapan sih Celine dion bertubuh gemuk, pikirnya.

grogol, 9 september 2003

No comments: