Friday 21 November 2003

Pinokio Menulis

Jika anda sudah biasa berbohong, mengapa tidak menyalurkan kebiasaan yang penuh dosa itu dengan menulis fiksi?
(Josip Novakovich)


Angin malam itu duduk tergeletak di sudut kamar. Tak mampu berjaga. Sementara lampu redup tak sudi berkhianat. Matanya lelah menatap. Hanya daun jendela memancing pandang, melambai-lambai di luar sana. Dan cicak terbaring menelan ludah untuk tanya yang tak pernah terjawab.

Ia mengusap peluh. Peluh yang tak jujur hadir di malam yang datang dingin. Otaknya berputar bagai memeras anggur-anggur yang tergilas roda waktu. Menetes ke pipi dan menitipnya pada hidung yang kian bersinar. Ia mengusap mata. Mata malasnya.

Ahh…. sudah empat jam. Buntu, batinnya. Membakar tembakau. Menciptakan awan-awan kecil yang mencoba menggoda hayal yang menerawang.

“Apa yang akan aku ucap esok? Mereka sudah menungguku. Aku datang untuk menang,” ucapnya dalam. “Tapi aku harus berkata apa?”

Terbayang olehnya Bukhori akan menepuk dada. Dan mulutnya akan menyala-nyala. Seperti sebuah pertunjukan sirkus keliling di kota-kota kecil. Dan badut Bukhori akan menciptakan bola-bola api dari mulutnya. Mereka terpesoan. Berdiri dan memberi sejuta tepuk.

Atau mungkin Ahmadi akan meninju langit. Memecah awan-awan yang menggumpal. Memberi lautan jawab yang menetes bagi mereka yang lama menengadah di musim-musim berjalan. Jadilah dia malaikat pongah yang lupa akan sayapnya telah lama digadai pada borjuis-borjuis itu.

Sialan! Mengapa otakku terkunci rapat. Ruangan-ruang apa pula yang membius kecerdasanku terperangkap tanpa pintu. Aku telah berkeliling pada semua sudut kota. Telah menyapa pada semua peristiwa. Tapi adakah yang bisa kubaca? Dia bertanya dalam tanya.

Semua sudut terpapar di depan mata. Mata malas. Antara fakta dan fiksi. Atau percampuran kedua kelamin itu. Bila keduanya dituliskan dalam gaya bahasa Ibrani kuno, yang keduanya dituliskan tanpa huruf hidup, keduanya akan ditulis FK dan cara membedakannya tergantung pada cara melafalkannya. Begitu tipis……

Bukakah fiksi bisa menggunakan banyak fakta? Aku bisa bermain-main dalam ruang fakta untuk merangkainya menjadi cerita. Sejarah adalah batu-batu yang kuat untuk membangun pondasinya. Pramoedya bilang, nasion kita tak sadar sejarah. Sejarah itu tempat kita memulai perjalanan. Kalau tempat berangkat itu kita tak tahu, bagaimana kita tahu tujuan kita? Itu sebabnya Pram berkenalan dengan realisme sosialis. Karena realisme sosialis harus mengangkat orang-orang yang tak punya sikap dan menjadi hamba keadaan.

Tapi aku bukan hidup dalam penindasan. Tak melahirkan sikap perlawanan (atau mungkin dendam) oleh akibat penindasan seperti yang dialaminya. Tapi aku punya sedikit sikap memberontak, walau itu memberontak terhadap kemampanan berpikir.

Setidaknya aku bisa mencoba meramu sejarah itu dan memolesnya menjadi sebuah fiksi. Tentu tak membosankan. Karena di saat orang-orang perlu makan dan lapangan kerja, mereka akan muak oleh kehebatan raja-raja di tanah Jawa yang menyisakan feodalisme dalam birokrasi. Artefak-artefak bukan lagi bukti warisan kehebatan budaya, karena turunannya hanyalah budaya kepasrahan ditindas dan dibodohi, sudah mengakar di akar rumput.

Aku harus menemukan sejarah-sejarah baru. Sejarah kolonialis, feodalis, militeristis, dan paham ketunggalan sudah telanjang. Bugil tanpa malu-malu ditatap dan yang menatapnya tak jengah. Aku akan membuat mereka sadar sejarah dan bersatu mengahalaunya. Hanya dalam prosa sejarah akan gampang dicerna.

Tapi jari ini masih tak bersahabat. Diam tak sudi menari, walau nyanyianku adalah nyanyian jiwa yang melantun keluar dari gendang telinga. Sedangkan nadiku terpacu kencang dengan sejuta kata yang ingin tumpah di jemari. Tapi jemari diam. Aku ingin menulis. Menjadi pengarang. Menjadi resi-resi sejarah, julukan yang diberikan Ben Okri (novelis Afrika) bagi pengarang. Karena pengarang adalah barometer zaman. Pengarang adalah orang yang menulis melawan arus zaman, pengibul tentang kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan dan penebar janji-janji yang bisa dipercaya. Aku ingat, ucapan itu dikatakan lantang oleh Gunter Grass pada pidato pengukuhannya sebagai laureat Nobel Sastra 1999.

Oh….. aku kini sudah mulai berdamai. Aliran darah dan oksigen berjalan tenang, bergerak maju. Jari-jemari menjadi kepanjangan otak. Syaraf-syaraf mulai saling memangut, bermesraan. Sebuah emosi ternyata mampu mendorong untuk menulis. Mampu menjiwai alam pikir orang lain. Mampu menjiwai suara seseorang. Jerit orang-orang. Harap yang masih tersisa dari nafas tersenggal-senggal sebelum pintu kubur ditutup.

Mengalir bagai banjir yang menggenangi rumah-rumah di dataran rendah di sekeliling perumahan megah. Menerjang kaki-kaki alas tidur di pinggir kali. Menyapu nafas manusia-manusia yang menjajakan peluh di tepi-tepi jalan karpet mobil mewah. Menenggelamkan hak-hak pemilik negeri hingga terlihat teduh keruh menjadi lautan, terpasung pada waduk angker yang dijaga berabad-abad pada pintu airnya.

Lelaki itu mengamini. Cerita fiksi mirip dengan dusta. Memulainya dengan suatu yang nyata. Mengubah menjadi alur yang bisa diatur bermuara untuk tujuan tertentu. Dan esok, di atas podium itu, membuai jelata dengan kata-kata indah. Ia akan menang pada pemilu kali ini. Wakil dari kaum pendongeng.

Grogol,20nopember2003

No comments: