Friday 7 November 2003

Pada Akhirnya, Lelaki Harus Kembali Sendiri

Jalanan becek. Udara dingin menemani riak-riak kecil, langit tak lagi menangis. Sedu-sedan itu telah berakhir setelah langit terlihat muram sekian lama, awan-awan berat tadi malas menari. Tinggallah tetes-tetes yang malas bunuh diri dari jubah hitam yang membentang.

Bibirnya bergetar. Oleh dingin yang sama kembar dengan akal yang membatu. Gerimis patah-patah. Pedang-pedang tajam tak mampu kikis niat di setiap langkahnya. Hanya menemani sunyi dengan bisik-bisik pelan yang bergelantungan di udara menuju peraduan di bumi basah. Kini setelah berjalan lama akhirnya ia mendapatkan sebuah perhentian, tempat berteduh.

Otaknya tertawa miring. Tak ada guna ia berteduh. Toh tubuh telah basah kuyup. Begitu modrennya kota ini sehingga tak tersisa sejengkal perhentian yang mampu menaungi dari hujan dan panas. Pohon-pohon yang ada tangan-tangannya tak rindang. Kurus memanjang ke atas. Hanya fungsi keindahan dan sedikit kemampuan menyerap udara kotor.

Tapi tak apalah, pikirnya. Setidaknya ia bisa meringankan beban kaki. Pantatnya beralas besi tua, terlihat berkarat. Titik-titik air yang terbawa turun manja. Memeluk besi tua, semburat rona merah terlihat malu-malu. Melukis pantat yang bergetar, kaki gemetar. Dingin yang tak gentar mengganggu.

Kilat menyambar, memperkosa malam. Guntur pongah menggelegar di udara. Gigi yang gemertak, bius angin memutihkan bibir. Ia tak mampu tersenyum tapi matanya menyiratkan tawa. “Akhirnya,” ucapnya dalam. Jantungnya tak lelah berdetak, sekian juta detak menyusun rencana. Dan, “Binggo! Aku berhasil. Aku bebas,” teriakannya menggema. Memenuhi rongga dada. Keluar melalui lobang telinga. Mengancam udara. Dan guntur kecut. Langit hitam kini tak lagi kusut.

Ia masih duduk. Kaki yang gemetar. Bibir putih dengan mata tertawa. Di pekat bola hitam, ada selembar layar putih. Ada cerita yang berjalan pelan. Sebuah rumah indah dengan pagar besar. Perabot mewah memeluk penghuninya. Wanita cantik dengan kacamata membaca novel, tangannya teratur menghantar benda-benda kecil nan gurih ke mulutnya.

Rriiiinng………..

“Halo. Ini ibu ya?”

“Ya. Ada apa Nina?” sepertinya wanita itu mengenal suara di seberang.

“Perutku sakit. Bayi ini nakal. Menendang-nendang terus. Ibu kemari ya.”

“Wah, cubit saja bayimu. Mana suamimu?”

“Ibu ini gimana. Ya sakit perutku. Mas Anton belum pulang.”

“Dasar anak nakal. Belum lahir sudah bikin susah. Sudah, kamu ke mari saja.”

“Mana mungkin. Ini udah jam sebelas malam. Ayah mana?”

“Entah. Dia mengurung di kamarnya. Ayahmu kini aneh. Selepas pensiun dia tak mau keluar rumah.”

“Gedor pintunya. Aku tak mau bayiku lahir di ranjang ini. Kalau ada darah, bisa pingsan aku.”

“Ha? Memangnya kandunganmu sudah berapa bulan?”

“Yah ibu… ya udah hampir sembilan bulan.”

“Sudah, sudah. Jangan panik. Ibu juga dulu seperti kamu. Untung ada ayahmu. Oh… lagi ngapain dia?”

Hening. Hanya suara berjingkat pergi. Dan wanita itu tak lagi mendengarkan rengekan. Kini ia ada di depan pintu. Kamar suaminya.

Tok! Tok! Tok!

“Pak! Paaakkk! Buka! Anakmu mau melahirkan!”

Gedoran pada pintu itu kian lama bukan lagi seperti ketukan. Menyerupai kampak-kampak yang ingin menghancurkan. Tapi tetap masih tak ada jawaban. Tetap diam. Hening menatap.

Wanita itu tak sabar. “Dasar manusia tak berguna!” umpatnya.

Anjing! Bangsat! Maki yang diucap bergetar pada bibir yang masih saja tetap putih. Matanya tak lagi tertawa. Merah membara membakar layar yang terkembang. Dengusnya kasar, dadanya naik turun. Tetes air meronta jatuh dari helai rambutnya. Bergelimangan di bibir. Tak asin. Entah apa rasanya. Tapi, lidah selanjutnya menjilati tepian. Mencari rasa. Memecahkan murka. Menggigit bibir.

Tertunduk, kedua lengannya meremas rambut yang basah. Wajahnya kian basah. Matanya berkubangan, bercermin jarak. Penuh dan menetes. Membelah pipi menjadi banyak keping. Hidungnya menerima sapaan tangis, menangis tersendat-sendat. Entah mengapa pula mulutnya latah ikut berduka. Otaknya berputar menjauhi sumbu, melingkar kembang. Menggeleng-geleng bagai mengguncang benak kesadaran yang tertidur mengigau. Melemparkannya ke dinding-dinding rongga yang mengukung. Dan terhempas. Menggelembung bulat besar. Meletus ganas.

Bajingan! Dasar manusia tak tahu diri!
Kakinya menghantam lantai. Pecah cermin-cermin yang mematut diri, berlarian menghambur sejauh-jauhnya, berserak ketakutan. Berselingkuh bersama genangan lain yang menatap curiga.

Tawa entah lari ke mana dari mata itu. Hanya ada tetes-tetes yang sama beningnya dengan ingatan saat itu. Mengalir cerita lama begitu lugas. Jenih berbayang dari setiap masa yang ada dulu. Pada tetesan masa muda yang penuh gairah. Lajang yang tak berpuan. Bebas menjamah hari dan mencengkram keinginan. Meraup ilmu tanpa ragu seakan hari depan adalah ladang tuaian. Menari dalam langkah di jejak-jejak jaman. Memberontak pada rezim. Menelanjangi kebodohan yang lama dikemas dalam nilai-nilai masyarakat. Memecah tabu, menghantam langit batas. Dinding-dinding yang membutakan pandangan.

Di tetes yang lain, harapan ada di negeri ini. Ambisi ada bagai api yang sangat kalap menyala di musim kemarau yang panjang. Akar-akar rumput kering itu mulai bangkit. Tapi masih tetap kering. Kemakmuran tanah negeri ini tak menyimpan kesuburan yang cepat datang. Kemarau lama mematisurikan dewi sri. Malah terkadang serimbun rumput dianggap sampah dan dibakar. Merah. Menyala. Akar-akar lain ciut. Panasnya menempa dendam yang terkubur diam-diam. Bagai bara di bawah ladang gambut yang terhampar pasrah.

Di masa itu ada tetes lain. Kebahagian ketika melepas lajang. Gadis cantik itu menjadi miliknya. Bening, suci mengucap ikrar. Sepertinya langkah tak lagi panjang., ia terhenti untuk membangun dunia baru. Dunia kecil bernama keluarga. Ada bapak, istri dan anak.

Masa tak terlupakan ada saat ia merawat keduanya. Istrinya yang selalu harus diawasi. Penyakit asamanya selalu kumat. Terkadang di saat malam ia harus melarikan istrinya keluar rumah. Menuju jalanan sepi. Mencari udara segar hingga ke puncak. Dan saat pagi menyapa, ia harus pulang membawa istri, dan anaknya tertidur pulas di kursi belakang. Kemudian bergegas bertarung mencari keping-keping di antara serpihan-serpihan hidup.

Kian waktu terus menetes, kasihnya tak mampu luntur. Istrinya masih tetap istri yang perlu udara segar. Dan anaknya masih anak yang menanti dimanja. Menyiapkan sarapan kesukaannya. Membantu menyelesaikan tugas sekolah. Memenuhi apa yang dibutuhkannya. Semuanya ada disaat dia ada. Dan dia merasa ada untuk mereka. Dia telah mengada..

Dan tetes itu terhenti. Di wajahnya tak terlukis tangis. Kini keras bagai batu yang membesar menemani sungai yang tak pernah henti mengalir. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Jejak-jejak itu terantuk-antuk di dinding ingatan. Dan meninggalkan keping hati yang tercecer. Berdarah.

Aah…. mereka telah berubah, batinnya. Istrinya bukan lagi istri yang ramah dan menanti dimanja. Anaknya bukan anak yang bisa mengabdi. Mereka menjadi mahluk aneh di malam hari. Ada dan tak bersembunyi. Sejak ia memasuki masa pensiunnya, mereka mentertawai resah yang dimiliki lelaki itu. Mereka menari-nari di atas tiang-tiang galaunya.

Ketakutannya adalah ketakutan mereka yang tak siap dengan pengasingan dari dunia kerja. Ia ingin beristirahat tapi ingin mengais hidup. Ia ragu pada masa depan. Oleh mulut besar istrinya yang selalu pamer harta. Oleh rengekan anaknya yang tak puas akan gaji suaminya. Sepertinya semua ini tak cukup menjalani sisa-sisa hidup. Tapi ia tak mampu buat apa. Mereka hanya mampu mentertawai.

Di saat gelisah kian datang, tubuhnya kian kurus. Sedikit demi sedikit melemah. Tubuh terkadang panas tak beraturan, lemas. Atas saran dokter pribadinya, ia dinyatakan terkena kangker prostat. Dan harus dioperasi.

Berangkatlah ia ke Singapura, diagnosanya tetap sama. Harus dioperasi. Ia terpana menatap meja operasi. Bagai peti mati yang ingin memeluk. Refleks ia melompat dan berlari menjauhi meja operasi, kursi dorong, dokter dan suster yang terperangah.

Mereka bukan terpana pula. Malah tertawa. Menganggapnya gila. Lelaki tua yang bodoh tanpa pengharapan. Sesungguhnya ia berharap mereka ada menemaninya saat itu. Tapi entah setan apa yang membisikkan istrinya untuk tidak membatalkan kehadirannya pada sebuah arisan kumpulan ibu-ibu gemuk itu. Sedangkan putrinya tak mungkin dibujuk pula, ia tengah hamil dan sibuk mempermasalahkan suaminya yang katanya kurang perhatian.

Lelaki itu sadar ia kini sendiri. Tak ada yang mengenali derita yang dialaminya. Sebenarnya saat menuju operasi ia tersadar. Bukan takut untuk mati. Ia takut istrinya akan lebih kejam memvonis keberadaan dirinya. Cap-cap baru akan jadi ucap yang terus mengiang dan menyakitkan disetiap pertengkaran. Ia tak siap dikatakan lelaki lemah. Lelaki yang tak sejati. Lelaki yang mungkin akan mandul.

Hujan telah berhenti. Langit merah menyiratkan kemegahan hari. Waktu ada di depan. Lelaki itu bangkit untuk melaluinya, ia ingin berjubah detik-detik yang manja menyapa, dan membuat sejarah baru. Biarlah yang lama hanyut dibawa gelombang sungai yang meluap-luap. Setidaknya mereka pasti mengiranya telah mati tenggelam, setelah membaca surat yang ditinggalkannya di ranjang malam tadi.

Dan pagi menuntun langkah tuanya, tak lagi gemetar. Tak lagi gentar. Udara segar membusungkan dadanya, bukan dada yang rapuh menyimpan gunungan resah. Di benaknya hanya ada satu ingatan, “Pada akhirnya, lelaki harus kembali sendiri.”

grogol,9oktober2003

No comments: