24 |
Ingatan kadang kian menua, bersama waktu yang berjalan. Ingatan bagai sebuah lentera kecil yang berpendar, yang berjalan mundur melewati lorong waktu. Hingga ada yang berkata, ingatan yang kita miliki bukanlah pengetahuan, melainkan justru sebuah fiksi (Josip Novakovich, 1995). Dan Socrates mengelus dada dengan berucap, bahwa satu-satunya hal yang dia yakin dia ketahui adalah bahwa dia tak mengetahui apa-apa. Maka untuk mengingatnya dan semoga berujung pada pengetahuan, kita perlu mereka-reka. Seperti mencari kunci yang hilang, hingga kita pun mereka-reka dengan mengingat kembali, mengisahkan apa yang kita lakukan dengan ingatan yang berjalan mundur.
Membaca satu persatu kumpulan cerita pendek 24, Senarai Kisah dari Kampung Fiksi, seperti mencumbu ingatan. Seperti mengingat kembali tembang-tembang pada jamannya. Seperti menemukan kilas balik hidup kita. Kedelapan penulis menuliskan daftar (senarai) kisah sebanyak 24 cerita pendek yang dijalin dalam putaran waktu : pagi, siang, senja, malam dan larut malam. Kedelapan penulis ini membawa kita ke ruang keseharian, sehingga saat mulai membacanya, kita menemukan satu persatu lakon kehidupan yang mungkin terlupakan atau ingin dikenang kembali.
Tapi bukan berarti ini keseharian biasa, ditangan kedelapan penulis ini kisah-kisah keseharian justru menjadi luar biasa. Semisal cinta selalu dikatakan jatuh pada pandangan pertama. Justru pada kisah “Bagai Shabu-Shabu” (Endah Raharjo) dikatakan cinta berawal dari kaki. Tepatnya tahi lalat yang berada di bagian bawah betis kanan itu menjadi ingatan bagi pasangannya saat melepas sepatu dan kaus kaki ketika mereka hendak masuk masjid, di sebuah desa di Aceh Tengah.
Begitu pula penggambaran keseharian tentang kedekatan ibu dan anak terbaca pada “Cupcake Cinta” (Winda Krisnadefa), namun masih ada keraguan saat ibunya merahasiakan resep kue ini. Kue yang mampu membuat orang di kota itu berbondong-bondong datang karena efek cinta yang ditimbulkan dari memakan kue ini.
Ingatan lain yang semua kita miliki adalah masa kecil. Setiap kali memandang anak-anak yang lucu, kita gampang terbawa ke masa lalu dan tersenyum. Bertemu teman sepermainan dulu, kita seakan memeluk masa lalu dan tak ingin melepasnya. “Aku dan Bayu” (Deasy Maria) bercerita tentang kenakalan masa kecil Dani dan Bayu. Penggambaran suasana yang ada detail terperinci, termasuk cara memanggil nama “Dani”. Namun ada kejutan di akhir cerita, pembaca akan terhenti menarik nafas sejenak, ketika ia tak lagi menyebut nama itu dengan nada meninggi di ujung nama. Kisahnya tak harus berpanjang dan serumit kisah Laskar pelangi. Kisah ini berakhir pendek namun menakjubkan. Kisah ini lebih enak dibaca dengan mengeluarkan suara, karena akan mampu membawa para pendengarnya ke suasana lain yang dimaksud di ujung cerita.
Kisah “Friends Forever” (Ria Tumimomor) memiliki kemisteriusan tersendiri. Awal membacanya seperti terhantarnya keingintahuan seorang gadis cilik akan kepindahan sebuah keluarga tepat di depan halaman. Dan di ayunan itu, menjadi awal perkenalannya dengan lelaki kecil yang kelak terlihat kian menua. Kalimat berikut ini mungkin akan membuat anda ingin melahap isi cerita seutuhnya :
Telah lama aku kesepian di sana dan tidak bisa sering-sering, bermain di ayunan karena aku telah berhasil membuat beberapa tetanggaku hampir mendapat serangan jantung. Aku mengira-ngira apa yang akan terjadi jika mereka melihatku bermain dengan Ronny? Ah, tapi apa peduliku akan masalah itu?
Bila dikatakan anak-anak memiliki dunia imajinasinya, bagaimana dengan manusia dewasa? Indah Widianto pada “Bertualang dalam Lamunan” membuktikan, bahwa perempuan lebih mampu berimajinasi. Ini bukan sulap atau sihir, ketika sang tokoh tiba-tiba sudah ada di sebuah kolam renang milik Francesco Totti. Ia bagai jatuh dari langit masuk kedalam kolam. Dia menatap idolanya, kapten kesebelasan AS Roma, yang membelalakan mata. Selanjutnya keruwetan terjadi.
Yang menyelamatkan dirinya, keriangannya dan hari-hari yang penuh harapan adalah sebuah kamar. Bilik kecil di otak manusia dewasa bernama dunia kecil. Maka setiap saat tiba-tiba akan ada semangkuk bakso di meja, es cone stroberi dengan taburan coklat chip di tangan, hingga membayangkan dirinya yang menjadi model di poster tersebut, bukan lagi terhias tubuh wangi Elizabeth Hurley.
Wanita memang ingin dimengerti. Kalimat itu bukan hanya pada syair lagu atau kalimat yang “menghantui” pria untuk bisa bersikap pada pasangannya. Winda Krisnadefa dalam kisah “Tujuh Korban Rambutku” bercerita akan petualangan rambutnya. Ia berharap bisa menemukan seorang pacar yang mampu mengerti tak hanya dirinya namun juga rambutnya. Bukankah ini permintaan yang terlalu berlebihan?
Bagaimana perempuan memandang perempuan lainnya? Endah Raharjo mempertemukan kedua perempuan yang mempunyai nama sama dalam kisah “Sepasang Sepatu.” Walau nama mereka sama, namun nama panggilan ternyata menunjukkan status berbeda. Latifa. Yang satu dipanggil Tifa dan yang satu Ipah. Endah Raharjo jujur bercerita, bahwa tetangga sepertinya tak sudi melekatkan nama Tifa pada Latifa, lebih cocoknya Ipah. Karena, apabila diucapkan dengan benar, maka akan terdengar pasrah. Nama, harus cocok tak saja bagi mulut si pengucap, namun juga bagi telinga si pendengar.
Dua perempuan yang sama-sama berusia 35 tahun itu tidak saling mengenal. Namun di suatu siang yang terik, di tepi jalan raya Yogyakarta-Semarang mereka bertemu oleh alasan yang sama, karena sepasang sepatu. Untuk kisah ini, sangat mampu membuat surga di bawah kaki ibu ada atau tidak bukan ditentukan oleh sepatu yang menutupinya.
Ada yang unik dalam kisah “Bayi dalam Diksi” oleh G, ini adalah sebuah eksplorasi cara bercerita. Diawali dengan kalimat-kalimat pendek. Atau mungkin nafas yang tersenggal-senggal. Terkadang mirip dengan bibir yang cerewet. Pikiran yang kusut atau efek dari PMS? Dan… bagaimana bila hamil? Savanna tak siap ada mahluk lain di otak suaminya, di kehidupan mereka. Walau dikatakan “aku harus bertanggung jawab atas punahnya spesies manusia di dunia.” Akan tetapi tak semua harus selaras dan hidup bukan ditentukan oleh nafas panjang atau pendek. G, mengajak pembaca untuk memahami, “perkara hidup tidak selalu selesai dalam satu paragraf, bukan pula soal diksi yang hanya perkara pilih-pilih kata agar selaras…”
Buku kumpulan cerita pendek 24, Senarai Kisah dari Kampung Fiksi, memiliki beragam cerita yang tak membosankan, tak hanya kisah tentang persoalan cinta, keluarga, namun juga kepekaan lainnya. Dalam konteks kekinian, perempuan mampu mengikuti degup jantung jaman. Seperti penggambaran bencana letusan merapi oleh Sari Novita dalam “Sri dan Merapi,” yang menggambarkan tentang perempuan di kala Merapi gelisah. Proses Merapi hingga menyemburkan laharnya tak jauh beda dengan erangan perempuan saat menghadapi persalinan. Sri dan Merapi berada pada posisi yang sama.
Sri mengadu pada Durga sambil meneteskan air mata dan akan perbuatan seorang pria yang berbaju Pangeran kerajaan. Pria itu telah pergi melalui kedua kakinya tanpa dosa, setelah puas mendengar lolongannya. Tidak melewati tangga-tangga candi Prambanan. Durga tidak mampu berbuat apa-apa.
Sari Novita melukis duka tanpa melukai, menghapus air mata tanpa maksud mengeringkan mata hati. Sejenak mengingat untuk mengambil hikmahnya.
Di antara begitu banyak penulis perempuan di bawah kepak sayap Garuda, masih susah menemukan tulisan yang bertema rasa kebangsaan yang seperti dituliskan oleh Meliana Indie dalam “Lelaki yang Melukis Negeri di Seberang Laut.” Kisah kali ini melengkapi kesadaran, bahwa perempuan adalah pilar negara. Mereka yang memperlengkapi negeri ini dengan jiwa-jiwa nasionalisme. Meliana Indie menulis tentang lelaki yang bercerita pada kekasihnya akan negeri di seberang. Negeri yang dulunya gersang namun subur oleh tetesan air mata musafir yang terenyuh akan derita negeri ini.
“Dik, negeri tempat kita berdiri ini adalah negeri Badee Tan Reuda. Orang-orang saling menghujat, mengambil apapun yang disediakan oleh cinta dengan serakah. Tapi bukan berarti tidak ada cinta yang tersisa, kan? Selalu ada perlawanan yang terbaca, Dik. Entah di gerakan yang terus menulis bait-bait cinta di atas sajadah atau di doa-doa yang meliuki udara….”
Masih banyak kisah lainnya yang sangat menarik, antara lain : Bibir (G), Wanita di Balik Jendela (Indah Widianto), Perempuan di Perbatasan (Sari Novita), Akhir Sebuah Perjalanan (Deasy Maria), 13 Perempuan (Endah Raharjo), Setia (Ria Tumimomor), Aku Akan Mati di Laut (Meliana Indie), dan lainnya. Jumlah keseluruhannya adalah 24 judul yang menggambarkan keseharian, kesederhanaan tema yang mampu menjadi santapan lezat kaum-kaum pecinta sastra. Ini sebuah bentuk kepedulian para penduduk Kampung Fiksi yang tak pernah berhenti untuk terus menulis dan saling mencerahkan para penulisnya
Benar yang dikatakan oleh Claude Simone (novelis Perancis), bahwa tidak perlu pengalaman yang luar biasa untuk digunakan sebagai bahan cerita fiksi. Cukup tuliskan apa yang diketahui, tidak perlu menebak-nebak hal yang tak diketahui. Dan ada juga yang berkata, tuliskan apa yang tak kita ketahui, karena kita akan bebas berkhayal, pengetahuan hanya akan membatasi. Maka dunia di benak penulis-penulis ini, menjadi bacaan yang menarik. Kemampuannya tak dibatasi oleh ruang gerak pemikiran orang lain. Kejelian mereka mengemas cerita-cerita pada rentetan kisah sebagai : pagi, siang, senja, malam dan larut malam. Rotasi waktu tak berubah, hanya kisah-kisah dibawahnya yang bermain di layar-layar yang sama.
Maka, buku kumpulan cerita pendek 24, Senarai Kisah dari Kampung Fiksi, ini adalah benar ingatan yang kita miliki. Seperti dituliskan di awal bahwa ingatan yang kita miliki bukanlah pengetahuan, melainkan justru sebuah fiksi. Dan semoga kelak akan dipahami bagaimana pentingnya sastra sebagai teks dalam melawan lupa sejarah. Dengan memfiksikan ingatan. Karena ternyata dalam fakta ada fiksi begitu juga di dalam fiksi ada fakta (Art van Zoest, 1980:3). Dan imajinasilah yang mempertemukan semua itu.
Penulis : Kampung Fiksi
Cetakan Pertama, Mei 2011
Penyunting : Tim Kampung Fiksi
Desain Sampul dan Tata Letak : Cindhil
ISBN: 978-602-99225-0-9
No comments:
Post a Comment