Friday, 1 April 2011

Telunjuk Sang Presiden

ilustrasi oleh Bian Harnansa/Persda (Kompas.com)
Oleh Edi Sembiring
dimuat di Kompas.com tanggal 17 Maret 2011
 
Ruangan ini seperti gurun panas tak berbatas. Entah mengapa tiba-tiba keringat dinginnya menjalar membasahi punggung. Dahinya berkerut menyerupai garis-garis ombak yang berenang menuju tepian. Matanya tak berkedip, sejenak ingin lompat menggelinding jatuh.


Di atas meja ini benda itu teronggok diam. Pemandangan yang mungkin terasa sangat menakutkan, memikirkan bagaimana ia bisa berpindah. Mulutnya tak terkunci, sudah lebih dari menit yang kesembilan bibirnya bergetar tanpa mampu menghasilkan suara apa-apa.

Entah siapa yang nekat mengirimkan benda ini. Atau kalau memang ia sudah terbiasa melakukannya, mengapa pula ia iseng mengirimkan ke alamatnya. Bukankah masih banyak jutaan alamat lain yang bisa dituliskan. Bahkan masih banyak nama lain yang serupa yang bisa ditujukan.

Ia mengeja yang tertulis. Benar, tak salah lagi, paket barang ini memang ditujukan kepadanya : Iwan Supomo. Alamatnya pun tak salah, lengkap dengan kodeposnya. Yang tersisa tentang si pengirim tak ada, hanya beberapa sisa tetes darah.

Sepertinya benda ini sudah mulai mengering. Semula terbungkus dalam sebuah kotak kecil bersampul kertas coklat. Kertas yang dulu menjadi sampul buku-buku saat SD. Dan di dalam kotak terdapat bungkusan plastik bening yang tertutup rapat. Di dalamnyalah benda yang membuat siapapun pasti tercengang bersemayam. Sepotong telunjuk.

Belum lagi ia dapat mengerti maksud benda itu dikirimkan kepadanya, tiba-tiba terdengar suara lain yang minta dipahami. Di seberang seseorang berkata,

“Halo, siang pak Iwan. Tolong diatasi segera demonstrasi yang terjadi. Saya ingin besok semua karyawan harus mulai bekerja. Saya tak ingin produksi kita terhenti. Pecat saja bagi yang membangkang, tak ada ampun bagi para provokator. Cukup hari ini mereka berkoar-koar. Saya tunggu realisasinya.”

Ia hanya mampu mengangguk. Keputusan yang sejak dari tadi pagi belum terpikirkan sudah ditambah lagi dengan datangnya benda yang mengejutkan ini. Ia lalu bangkit dan mengantongi benda itu yang kembali bersemayam di dalam kotaknya. Seperti sebuah kotak pulpen mahal.

*****************

Pemberitaan di televisi kali ini sangat berbeda dibanding beberapa bulan sebelumnya. Bila isu sebelumnya sempat reda oleh demam bola dimana nasionalisme berdiri membelakangi tiang gawang sendiri, yang terjadi kini menjadi buah bibir baru.

Para pengamat politik melihat gebrakan baru dari sang Presiden, saat tiga orang mentri dipecat karena usahanya untuk mensejahterakan rakyat malah menyeret-nyeret rakyat ke perdebatan rumusan siapa yang layak dikatakan miskin. Sementara hukum bergulir seperti mata dadu yang dilempar, susah ditebak. Dan agama yang seharusnya menjadi milik pribadi-pribadi, dijadikan komoditas politik murahan hingga menimbulkan bahaya laten yang baru.

Tak hanya di layar beling atau media cetak, di pasar-pasar para pedagang masih termangu, saat sang Presiden berjalan menghampiri mereka. Operasi pasar membuat para spekulan lari terbirit-birit dan lumbung-lumbung persembunyiannya disita oleh negara. Tak hanya itu, ia akan berjanji memberi tempat yang layak bagi para pedagang, sehingga tak akan ada lagi penggusuran lapak-lapak yang sesukanya terjadi.

Para guru, petani, nelayan dan buruh-buruh pabrik tak lupa dihampiri. Walau tak semua disapa, namun di tengah-tengah mereka sang Presiden berkata akan memperbaiki kehidupan mereka. Ia sudah muak oleh laporan-laporan yang menutupi kelemahan kerja para mentri. Ia bersama para staf ahlinya akan membuat skala prioritas terdepan. Skema terbaru adalah sang Presiden akan menampung langsung segera permasalahan dan membuat penyelesaian terbaik.

Pergunjingan ini tak hanya dikalangan bawah, kalangan wangipun terpesona. Mereka membicarakan raut muka wajah sang Presiden yang serius menatap kekesalan buruh sepatu yang tak mampu membelikan anaknya sepatu buatannya sendiri. Mereka membicarakan payung yang dipakai sang Presiden saat terjebak dalam gerimis ketika berdiri di pematang sawah bersama ratusan petani yang mengelilinginya.

Dan yang terbaru adalah tentang sarung tangan yang dipakai sang Presiden. Lambaian tangannya meneduhkan, bagai kipas mencuri angin.

*******************

Ia tak percaya keputusan itu hadir begitu cepat. Delapan orang buruh pabrik di tempatnya bekerja telah dipecatnya, demosntrasi itu tak lagi berlanjut. Bahkan kedelapan orang itu kini mendekam di penjara, mereka ditangkap oleh karena tindakan perusakan yang terjadi. Kaca-kaca kantor pecah, termasuk terbakarnya pos satpam.

Ia mengambil keputusan cepat. Ia menunjuk seorang buruh untuk membantu rencananya. Membakar amarah para buruh dan memancing mereka melakukan tindakan anarkhi. Selanjutnya ia menaikkan gaji buruh yang ditunjuknya. Tak ada yang curiga, bahkan tak sempat lagi berfikir untuk curiga. Karena ketika polisi berdatangan, ia berdiri dan berkata, bagi yang mau bekerja lagi silahkan menandatangani surat perjanjian baru atau mereka akan digiring ke kantor polisi. Namun bagi para penggerak massa, ia tak memberi ampun.

Ia tak percaya ketika dirinya mendapatkan kenaikan gaji secepat itu. Mungkin untuk hal yang normal, akan memerlukan waktu sepuluh tahun lebih untuk memperoleh keputusan itu. Pimpinan perusahaan merasa perlu mengamankan perusahaannya, hingga prestasinya itu dianggap sebagai perlu untuk dihargai.

*************

Seseorang membuka pintu. Pelan-pelan. Berjalan berjingkat menembus gelap. Namun tiba-tiba lampu menyala.


“Tak perlu lagi kau pulang kalau sekedar hanya untuk tidur, makan dan berak. Keluar dari rumah ini sekarang juga!” sebuah suara berteriak di sudut sana.

Gadis itu terkejut, hampir saja ia terjatuh. Lalu ia menatap asal suara itu.

“Selama ini bapak tidak melarang, mengapa sekarang marah-marah?” tanyanya.

“Kali ini tidak ada ampun. Aku sudah muak dengan isi rumah ini. Setiap kali aku pulang, semua tak ada di rumah. Memangnya kalian pikir ini hotel?”

“Tapi pak ....”

“Tak ada tapi-tapi! Silahkan kau pergi dari rumah ini. Dan jangan pernah kembali. Hal yang sama sudah kulakukan dengan ibumu. Kalian berdua tak jauh beda. Berfoya-foya dan selalu keluyuran malam. Aku seperti tak ada harganya lagi di rumah ini.”

Gadis itu terdiam. Matanya tak sanggup menatap sepasang mata yang memerah. Bersama tangisnya, ia berlari menuju arah kedatangannya tadi.

Lelaki itu terduduk sendiri. Wajahnya tak menunjukkan sedih. Ia tak menyesali keputusannya, tak ada perdebatan di hatinya. Sesunyi detik-detik yang menggiring malam menuju pagi.

***************

Meja kali ini berbeda dengan meja yang dulu. Lebih besar dan mewah. Ya, ia telah menduduki ruangan baru. Ruangan Direktur Produksi. Segala keputusan perusahaan berada dalam kontrolnya, sesuatu yang dulu hanya mimpi. Dari ruangan ini, ia mengatur segalanya. Tak perlu lagi berpeluh ria di ruangan produksi, tak perlu lagi pontang panting bekerja demi deadline waktu yang disediakan untuk direalisasikan.

Ia telah mempunyai tim yang solid. Ia telah mengumpulkan bawahannya yang dianggap bisa bekerjasama dan tahu arah kemauannya. Ia tinggal menunjuk mereka dan meminta pertanggungjawaban mereka. Selebihnya, ia memberi laporan ke pemilik perusahaan untuk semua keberhasilan yang tercapai. Bila tidak memuaskan, ia akan memindahkan atau memecatnya. Selanjutnya menunjuk orang lain untuk menduduki posisi itu.

Semua ini bisa terjadi sejak ia memperoleh kiriman itu. Telunjuk itu bisa membuat ia menunjukkan pilihan dengan tegas. Tak tanggung-tanggung, perubahan besar lainnyapun mulai mengikuti. Suaranya kian berat dan menggetarkan saat memberi perintah. Tatapannya yang tajam menguliti. Telinganya suka akan puji-pujian. Semua yang berada didekatnya tahu kemauannya, hingga terkadang ia tak diijinkan untuk repot-repot memeriksa kondisi real di lapangan. Lebih baik menerima saja laporan mereka.

**************

“Apa yang selalu berada di kantong celanamu itu, mas?”

“Ah... untuk apa kau menyentuhnya. Jangan-jangan hal lain yang kau mau? Hahaha....”

“Hahahaha.... kapan kita akan menikah? Tapi aku mau itu jika kau telah menceraikan istrimu.”

“Hmmm... tentang itu bisa diatur. Aku sudah tunjuk pengacara untuk mengaturnya. Malam ini jangan lagi kau rusak suasana....”

Belum lagi ucapannya selesai, tiba-tiba suara keras terdengar. Dan beberapa lampu-lampu bersinar. Lalu mereka berdua telah berada di antara belasan orang yang mengelilinginya.

“Serahkan paket kiriman yang telah kau terima! Dan jangan banyak bicara, atau foto-foto mesum kalian akan kami sebarkan,” ucap seseorang yang berjaket hitam.

Lelaki itu gemetar, tak sempat lagi ia menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang mereka. Dari atas ranjang itu, ia menunjuk celana panjangnya yang tersandar di sofa hotel ruangan ini. Dengan sigap mereka memeriksa dan pergi begitu saja.

***************

Lelaki itu terdiam. Ruangan ini kembali seperti dulu, seperti gurun panas tak berbatas. Keringat dingin menjalar membasahi punggung. Ingatannya membuatnya ragu, apakah kejadian tadi mimpi atau nyata? Yang tersisa hanyalah, kepanikan si perempuan yang bergegas berpakaian dan lari ke luar kamar.

Dahinya berkerut menyerupai garis-garis ombak yang berenang menuju tepian. Matanya tak berkedip, menatap langit-langit yang pelan-pelan akan menindihnya. Ia ragu, apakah akan mampu berlari untuk menghindar. Dari mulutnya hanya terdengar jeritan panjang.

*********************

Pesta besar-besaran terlihat di layar kaca. Lampu-lampu taman di sekitar istana begitu cantik, tak terasa kalau malam berubah kelamin. Satu persatu tamu undangan masuk, sebentar lagi sang pemilik istana akan datang.

Di antara keriuhan tamu-tamu yang menunggu, banyak juga pekerja media meliputnya. Tak hanya media cetak dan elektronik dalam negeri tapi juga milik negara lain. Semua meliput kejutan apa yang akan terjadi setelah rujuknya kembali barisan koalisi. Semenjak dipecatnya beberapa mentri dan terjadinya banyak perbedaan pendapat akan kebijaksanaan jalannya pemerintahan, menyebabkan timbulnya keretakkan di tubuh koalisi.

Para pengamat politikpun mulai beradu pendapat, ada yang mengatakan bahwa perubahan yang menuju kebaikan beberapa bulan ini akan berakhir. Koalisi hanya akan menuju kembalinya lobi-lobi politik yang memunggungi kepentingan rakyat banyak. Sementara pengamat lain berpendapat, lembeknya kepemimpinan selama retaknya koalisi akan berakhir. Ia berpendapat koalisi yang kuat akan melahirkan kembali pemerintahan yang tegas, yang tak terlalu membeo pada kepentingan yang menurut koalisi hanya akan menguntungkan partai-partai lain yang berbasis massa. Karena justru yang terjadi, suara-suara oposisi yang terlalu diikuti.

Kabar pesta akbar ini juga menarik perhatian besar masyarakat. Mulai dari mereka yang baru merasakan kehidupan di malam hari dengan cahaya hingga mereka yang menghentikan diskusinya demi memberi masukan terbaik kembali bagi pemerintah. Tak hanya itu, anak-anak kecil yang mulai mengenal pemimpinnya dari bangku sekolah, mulai mencatat sejarah apa yang akan terjadi.

Dan dari layar kaca ini, terlihat sebuah mobil mewah memasuki istana bersama pasukan pengawal. Dan seseorang membuka pintunya. Seperti biasa, sang Presiden langsung melambaikan tangannya, senyumnya tertebar. Namun kali ini tak lagi biasa, ia tak lagi memakai sarung tangan.

06januari2011

No comments: