KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO |
Oleh Edi Sembiring
dimuat di Kompas.com tanggal 31 Maret 2011
Arakan berjalan lambat, meliuk mengikuti alurnya. Terkadang bunyi gaduh timbul dari benturan sesamanya, ritme jeg-jes-jeg-jes melantun statis tiada tinggi tiada rendah. Pepohonan belari kencang di kiri dan kanan, petak-petak sawah tersusun rapi bagai teka-teki hidup yang belum terpecahkan. Air mengalir jauh di bawah sana, tiada kebosanan pada riak-riak hidup yang terasa kaku, tapi laut membutuhkan luapan kasihnya. Sungguh sungai cermin hidup yang agung, memberi namun ia tak merasa kekurangan, laut adalah nama kumpulan kasihnya, tapi ia tak perlu memilikinya, ia tak perlu posesif. Karena mata-mata hatinya masih bening mengalir di relung-relung nadi tanah. Mata hatinya adalah mata kasihnya, kejujuran dan ketulusan tanpa pamrih.
Aku membaca habis semua gambaran alam, menelusuri jejak-jejak detik yang berlalu. Aku menjadi penikmat waktu yang tiada bosan mengamati, keingintahuanku akan hidup. Seperti keingintahuanku sejak dulu yang tak terjawab, ketika semua manusia harus mati, bumi akan dihuni oleh siapa? Dan siapakah sang pencipta itu? Bila Ia dapat menciptakan segala macam benda, apakah Tuhan diciptakan oleh diriNya sendiri? Untuk itu tentunya Dia mempunyai “diri” sebelum menciptakan diriNya sendiri. Aku bukan seorang filosof atau anak kecil yang peka. Aku hanya merasa seorang mahluk luar biasa. Aku mahluk yang misterius, ketika aku menemukan diriku sendiri di suatu hari dengan suatu kesadaran yang sama sekali baru.
Tidak semua orang pernah bertanya pada dirinya tentang dirinya sendiri, tidak semua orang ingin mengetahui tentang kehidupan, tentang dunia. Mungkin karena telah terbiasa, atau terlalu disibukkan oleh permasalahan-permasalahan sehari-hari sehingga keheranan pada dunia tercampak ke belakang. Kita kehilangan kemampuan untuk bertanya-tanya tentang dunia. Mungkin hanya bayi-bayi yang mempunyai rasa ingin tahu. Baiknya kita kembali jadi seorang bayi, bukan menjadi mahluk dewasa yang menganggap dunia ini begini karena sudah seharusnya begini.
Di kursi ini aku bukan sedang belajar filsafat atau mereka-reka tanya. Sungguh perjalanan ini sangat membosankan. Tapi aku tak perlu bertanya dari mana asalnya bosan, karena di detik ini aku hanya mengamati tidak bertanya-tanya lagi. Mengamati adikku yang tertidur di samping, kasihan dia yang seharian tadi menungguiku menyelesaikan testing masuk kerja. Di kursi depan, membelakangiku, aku melihat dua pasang muda sedang bercengkrama. Sisa tubuh yang terlihat dari belakang hanya ujung kepala yang saling bersandar. Sungguh mesra, ada aroma asmara. Aku tak ingin dicemburui oleh pemandangan itu, aku hanya menatap.
Di kursi belakangku ada pasangan yang lain, baru saling kenal sepertinya. Dua lelaki yang sama-sama ganteng. Putih dan manis. Andai aku wanita mungkin akan jatuh hati, sedangkan saat inipun aku sudah merasa ada rasa suka. Sayang aku ditakdirkan jadi lelaki tulen. Tutur kata mereka begitu ramah dan nyambung. Aku menatap dan mencuri dengar.
Lelaki dengan baju kaos ketat bercerita tentang dirinya. Ia membuka diri. Katanya dia adalah mantan lelaki bejat. Sungguh bejat dulu. Masa muda yang indah oleh aroma kenikmatan duniawi. Seks, narkoba, kehidupan malam, minuman keras. Semua telah dirasakan, semua tanya telah dijawabnya. Ketertarikannya pada sebuah tanya akan dalamnya sumur kenikmatan duniawi, sudah terjawab. Katanya, itu semua semu. Tiada yang berbekas selain hanya kehancuran pada dirinya. Badannya penat dan letih. Pencariannya telah berakhir pada sebuah dasar dalam yang bertuliskan kata “dosa” pada dindingnya. Dan ia tak mau lagi mencari jawab.
Lawan bicaranya tersenyum, ia mengangguk pelan, coba memahami. Lelaki berkemeja biru itu terkadang menimpali dengan pendapatnya. Mereka saling mengisi. Seorang kawan layaknya harus seperti itu, walau mendengarkan kadang menjemukan. Lelaki berkemeja biru itu bercerita tentang rasa sakit hatinya pada wanita dulu, dulu sekali. Ketika sebuah keinginan tak didapatnya.
Cinta dan benci begitu berbeda, tapi sungguh tipis jaraknya. Hanya dibatasi oleh selembar rambut. Empedocles, seorang filosof dari Sicilia (490-430 SM), berkeyakinan bahwa ada dua kekuatan yang bekerja di alam. Dia menyebutnya cinta dan perselisihan. Cinta mengikat segala sesuatu dan perselisihan memisahkannya. Inilah yang mempengaruhi unsur-unsur yang terdapat di dalam tubuh. Pada akhirnya tergantung pada kekuatan mana yang menarik kuat. Akan berbeda sekali bila segalanya dibaluri oleh kasih, kebencian akan melunak dan cinta akan dipenuhi oleh kerasionalitasan.
Aku teringat pada kemarin malam, di sebuah penginapan yang murah, aku dan adikku menginap semalam. Sungguh malam itu dibaui oleh cinta yang penuh nafsu. Di sebelah kamarku aku mendengar nafsu yang membakar habis cinta, memeras cinta menjadi rintih dan erangan kenimatan. Sungguh itu hanya sesaat. Sungguh semu, tapi mungkin hanya itu yang ingin dicari mereka dari cinta di sebuah ranjang. Dan di luar kamar, aku mendengar seorang wanita yang tak rela “pacarnya” pergi, ia ingin selalu memberi cinta, memberi dosa. Wanita itu sekali lagi luka oleh cinta, ataukah oleh nafsu?
Pasangan yang di depanku tertawa lepas. Saling bercanda tiada henti, mengusir kantukku. Mereka saling bercerita tentang kisah lama mereka dulu. Sepertinya mereka telah saling kenal sejak lama. Sungguh cinta mereka begitu panjang dan melelahkan. Seperti lelahnya pengamatanku saat ini. Mungkin sebentar lagi aku akan sampai di Gambir setelah hampir dua jam Kereta Api Parahyangan ini membawaku dari Bandung sejak sore tadi. Dan aku masih mengamati file-file kehidupan yang terbuka di tiap detiknya.
Kereta telah mencium tepi stasiun Gambir, manusia-manusia menatap pada gerbong-gerbong yang mendekat. Penghuni Kereta Api pun telah berkemas diri, semua bangkit dan menunggu saatnya berhenti.
Aku sekali lagi masih mengamati. Mengamati lalu-lalang manusia yang bergegas, ada wajah lelah, ada pancaran kegembiraan, kerinduan. Ada yang hanya diam, ada yang resah. Aku mencari pasangan muda di depanku tadi. Di sana di dekat pintu keluar stasiun. Mereka kini tak lagi berdua, jalan terpisah, terpisah sangat jauh.
Di sana telah menunggu seorang pemuda lain yang menyambutnya. Memeluknya hangat penuh kerinduan. Dan seorang bayi yang baru berumur sekitar dua tahun ada di antara mereka. Dan lelaki masa lalunya, yang menemaninya di perjalanan tadi, hanya bisa menatap di kejauhan. Tak ada rasa kecemburuan, tak ada rasa menjadi orang kalah. Ia hanya menikmati mimpi-mimpinya tanpa ada ingin memilikinya kembali, sebab itu sungguh sangat mustahil. Dan tak ada tanya untuk itu.
Aku mencari adikku, ia jauh tertinggal di belakang. Adikku sedikit agak berjalan tergesa-gesa menghampiriku, menyejajariku.
“Sorry agak lama di toilet. Dan aku mau muntah melihat pemandangan di salah satu kamar mandi tadi. Ada dua pasangan yang saling berpagutan, begitu ganasnya. Seakan takut untuk berpisah. Mereka itu dua lelaki tampan yang duduk di belakang kita,” kata adikku, ada nada mual di perutnya.
Kepalaku ikut mual, bukan oleh cerita itu. Tapi oleh segala tanya yang dari dulu belum pernah terjawab. Seperti apakah bentuk mu itu cinta? Begitu ganasnya racunmu. Dan kembali aku terus bertanya-tanya pada setiap langkahku.
Bumi Parahyangan, 1-2 September 2002
No comments:
Post a Comment