Thursday 24 February 2011

Arah Baru Perhimpoenan Indonesia

sampul buku Gedenkboek Indische Vereeniging
 Awal 1923 pengurus Perhimpoenan Indonesia (PH) secara pasti meninggalkan masa lalunya sebagai perhimpunan untuk bersenang-senang. Hatta dan Darmawan Mongoenkoesoemo sudah berpengalaman sebagai anggota pengurus, sedangkan yang baru ialah mahasiswa hukum Iwa Koesoema Soemantri dan Satromoeljono, serta mahasiswa kedokteran J.B. Sitanala. Yang terakhir ini digantikan oleh mahasiswa hukum Sartono sebelum masa jabatan berakhir.

Pernyataan asas yang dikemukakan secara singkat dan jelas oleh pengurus itu pada 3 Maret 1923 menjadi pegangan bagi PH di tahun-tahun mendatang. Dalam pernyataan asas itu dinyatakan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, self-help yang belakangan berkembang menjadi asas nonkooperasi dan perjuangan ke arah kesatuan.

Untuk pertama kalinya nasionalisme radikal mengambil bentuk yang terorganisasi di negeri Belanda. Ini mendahului keadaan Indonesia sendiri, karena Indonesia waktu itu Islam, komunisme dan kepentingan kedaerahan masih menentukan pembentukan partai.

Terbitlah buku Gedenkboek 1908-1924 Indonesische Vereeniging (buku Peringatan  Perhimpoenan Indonesia 1908-1924) pada akhir 1924. Pada kulit buku terpampang bendera merah putih dengan kepala kerbau yang akan menjadi lambang pergerakan nasional. Sebuah komisi redaktur telah mengumpulkan 13 sumbangan karangan dari berbagai kalangan anggota yang kemudian diterbitkan secara anonim.

Maramis menulis “Terugblik” (Tinjauan ke Belakang), didalamnya ia memuji “ semangat segar perhimpunan” yang kini telah menjadi sebuah “wahana pendidikan politik yang menguntungkan.” Ia memaklumi kegiatan PH sebelum tahun 1919, tapi menurutnya hanya susunan sekaranglah yang berkerjasama erat dengan gerakan rakyat Indoensia yang menjanjikan “masa depan yang cerah” bagi PH.

Kebanyakan artikel itu nada dan isinya tidak menyimpang dari isi majalah Indonesia Merdeka. Soebardjo, Hatta dan mahasiswa hukum Nazif menyumbangkan tulisan yang bernada antikolonial, mengecam pengelolaan daerah jajahan oleh Pemerintah Belanda dan menunjukkan adanya pertentangan mendasar antara yang menjajah dan dijajah.

Di dalam sumbangan yang berjudul “Comunistische invloeden in het Oosten” (Pengaruh Komunis di Timur), dengan nada memuji Iwa Koeseoma Soemantri bahkan membicarakan Partai Komunis Indonesia sebagai “satu-satunya organisai yang menjaga semangat agar terus hidup di kalangan rakyat.”

Kemenangan Komunisme bagi Iwa bukanlah gambaran yang menakutkan: ”Pokoknya keselamatan kemerdekaan umat manusia tidak terletak pertama-tama dalam stelsel politik di negeri-negeri Barat yang demikian diagung-agungkan. Lembaga-lembaga yang lain pun bisa menjadi pilihan dan lembaga-lembaga lain itu barangkali memiliki efektifitas dan sifat yang lebih cocok bagi perkembangan masyarakat Timur.”

Reaksi dalam pers Belanda atas buku ini sangat keras dan menunjukkan bahwa orang Belanda tergoncang. Universitas Leiden dituding sebagai pihak yang bersalah. Gurubesar-gurubesar “etis” yang terkenal itu dianggap bertanggung jawab dalam meradikalkan para mahasiswa Indonesia yang banyak diantaranya belajar di Leiden. 

Dalam hubungan itu J.E. Bijlo menulis karangan yang lunak dalam majalah Koloniaal Tijdscrift, disertai seruan bernada ancaman kepada pemerintah untuk menarik kembali mahasiswa penerima beasiswa.
Tidak dapat dihindari bahwa politik yang terang-terangan dalam PH itu pasti mengakibatkan perpecahan dengan para anggota kelompok yang politiknya lebih moderat dengan yang lebih menekankan unsur-unsur hiburan di dalam PH.

Perpecahan dengan wakil kelompok moderat yang paling berwibawa dan paling terkemuka yaitu Noto Soeroto, terjadi pada tanggal 14 Desember 1924. Ketua kehormatan dan salah satu pendiri perhimpunan itu dipecat dalam suatu rapat angggota. Pemecatan terjadi tepat sesudah terbitnya buku peringatan itu, buku yang merupakan tanda baru yang demonstratif dan menatang bahwa kesadaran nasional Indonesia telah bangkit.
Pemecatan itu terutama dimaksudkan untuk menyerang semangat asosiasi Noti Soeroto yang dikalangan Belanda sangat dihargai.

disadur dari buku : Di Negeri Penjajah, orang Indonesia di negeri Belanda 1600-1950 oleh Harry A. Poeze (halaman 174-177)

No comments: