Thursday 6 January 2011

Ketika Waktu Terlelap

15 Ordnance Street (sumber : www.lilfordgallery.com)
Ia membayangkan ayam-ayam di belakang rumah beratap rumbia itu tak akan lagi berkokok jantan membangunkan tuannya. Ia membayangkan pagi akan sunyi saat ia menimba air untuk mengisi bak penampungan air untuk memandikan ketiga putrinya. Ia membayangkan istrinya menangkap kelima ekor ayam jantan itu sambil menggendong bayi mereka. Lalu menjualnya ke pasar.

Suaranya sayup-sayup terdengar di kamar sebelah. Suara batuk yang terdengar berat. Dan sebentar lagi pintu kamar itu akan terbuka, lalu ia melangkah menuju kamar mandi. Suara dari mulutnya akan terdengar seperti sedang mencoba mengeluarkan sesuatu. Seperti sedang meludah, atau seperti mencampakkan dahak.

Tidurnya malam ini tak kan puas. Dan esok aku akan menjumpainya dalam kondisi setengah mengantuk dan mendapatkan kenyataan ada aroma baru di rumah kami yang kecil. Bau yang menyeruak dari kamar mandi. Bekas kencingnya yang selalu lupa disiram.

Entah mengapa, semenjak kakek ditinggal mati oleh nenek setahun yang lalu, sikapnya terlihat begitu lamban. Ingatannya tak lagi berdiri tegak, seperti tubuhnya yang mencoba selalu bersandar saat menonton TV. Ia tak mampu bertahan lama duduk tegap. Ia tak lagi seperti kisah-kisah yang selalu dituturkannya saat kami selalu bertemu.

Ayah menitipkan kakek pada kami dengan alasan ia ingin menjauh dari saat-saat kematian nenek dulu, di rumah ayah. Ayah menyadari kakek masih terpukul oleh situasi yang di luar dugaannya. Usia kakek 83 tahun dan nenek tak terpaut jauh, 80 tahun. Usia yang sangat jarang dijumpai di negeri ini, apalagi bisa hidup bersama pasangannya hingga usia demikian tanpa ada percekcokan rumah tangga berarti.

**********

Wajah manis ketiganya membuat hari-hari terasa indah. Bahkan menjadi hiasan menawan saat para tetangga datang bertamu, walau mereka hidup di sebuah rumah beratap rumbia dan berlantai tanah. Namun senyum dan tawa ceria mereka, mengosongkan kekalutan.

Ini sudah bulan yang kesembilan ia tak kembali. Dan ini sudah bulan kedua anak mereka yang ketiga lahir. Namun wajahnya tak pernah hadir menatap ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Ketiga putri yang tak pernah merengek-rengek berlebihan. Ketiganya sadar, wajahnya menanti kabar tentang ayah mereka.

Siang itu begitu terik, hingga bayangan sang pembawa kabar tertinggal entah di mana. Sejenak ia berdiri menjadi tanda seru hingga begitu banyak jeda di mulutnya saat mendengar. Lalu ia memberi salam perpisahan dan samar menghilang di ujung jalan.

Selepas kepergiannya, matahari tak mau juga berpindah. Tepat di atas kepala, ia menelanjangi kekalutan. Haruskah  pergi?

Namun ia tak punya lagi pertimbangan lama. Bergegas ia masuk ke dalam rumah, mengangkat bayinya dari dipan bambu dan menggendongnya dengan sebuah kain. Ia berjalan menuju halaman belakang rumah, menuju sebuah kandang dan dengan sebuah harap.


***********

Kakek terlihat asik membersihkan halaman, atas permintaanku. Semenjak ia tinggal di sini, kakek sudah menjadi begitu terkenal. Semua menyapanya saat mereka berpapasan di jalan, lebih tepat lagi saat mereka melihat kakek terlihat kotor saat membersihkan selokan-selokan di kompleks perumahan ini. Mungkin mereka menyapa hanya sekedar menutup rasa malu terhadap penghuni baru di kompleks perumahan ini yang mungkin terlihat (terlalu) rajin.

Kakek terlihat bersiul sambil membersihkan halaman, atas permintaanku. Ini bukan sikap tak menghargai orang yang lebih tua, namun untuk membuat mereka agar tak terlihat bertambah malu atau terlihat bodoh. Bayangkan, setelah membersikan selokan mereka seminggu sekali, kakekpun setiap hari menyapu dan mencabuti rumput/semak yang tumbuh di pinggir jalan/selokan di depan rumah-rumah mereka.

Sikapnya ini bermula saat ia sadar bahwa siapa lagi yang akan membersihkan semua itu kalau bukan kita. Tak perlu menunggu bantuan Tuhan dengan mengirimkan banjir besar untuk membersihkan sampah-sampah beserta kehidupan manusia. Dan tak perlu sampai kita terkena penyakit menular lebih dulu, baru mampu mengerti harus bekerja gotong royong untuk membersihkan yang kotor.

Semuanya selalu dimulai saat ayam berkokok. Bila mendengarnya, ia akan membuka jendela kamar. Menatap sang ayam yang berdiri gagah di pagar. Lalu mulut tuanya bergetar pelan, menyebut sesuatu.

“Karenamu, aku bisa kembali kuat. Karenamu, kekasihku datang dengan anak kami yang belum sempat kulihat. Lukaku yang parah bisa sembuh, setelah menatap yang kurindu, setelah mengetahui kabar yang disayang baik-baik saja.”

Ia membayangkan ayam-ayam di belakang rumah beratap rumbia itu tak akan lagi berkokok jantan membangunkan tuannya. Ia membayangkan pagi akan sunyi saat ia menimba air untuk mengisi bak penampungan air untuk memandikan ketiga putrinya. Ia membayangkan istrinya menangkap kelima ekor ayam jantan itu sambil menggendong bayi mereka. Lalu menjualnya ke pasar.

Esoknya, ia membeli tiket untuk menemuinya di sebuah rumah sakit di Kabanjahe. Perjalanan 4 jam yang melelahkan, terutama bagi sang bayi. Tetapi perjumpaan yang dirindukan berabad-abad. Walau 9 bulan bukan waktu yang lama bagi gerilyawan yang bertempur di hutan, tapi usikan oleh omongan orang-orang yang mencemooh penantiannya cukup melukai hati. Apalagi mereka tak punya cukup rejeki untuk disantap sehari-hari.

Lelaki itu menatap kagum pada istrinya, yang merawatnya disela-sela mengasuh bayi mereka. Dan tak sampai sebulan, merekapun pulang ke Medan. Menemui kedua putrinya yang dititipkan pada paman mereka yang menatap heran pada kesetiaan sang adik menunggui suaminya kembali. Kesetiaan sang adik pada pejuang yang tak pernah membawa pulang gajinya, apalagi membawa kebutuhan makanan sebagai simpanan kelak saat sang pejuang harus pergi diwaktu yang dikasihinya masih tertidur lelap.

***********

Sore bersandar pada lambaian yang terakhir, di antara kaki-kaki petani yang pulang ke rumahnya masing-masing. Baunya kuning.

Anak-anakku sudah mandi. Perempuan-perempuan kecil yang tau diri pada kondisi ibunya yang harus banting tulang sendiri di sawah. Mereka memelukku manja dan berkata saling bersahutan, bercerita apa yang mereka perbuat hari ini. Aku hanya terkekeh melihat si kecil yang merengek manja. Ia hanya ingin suaranya yang didengar duluan.

Kami terpaksa hidup di kampung ini, sudah hampir setahun. Kampung ini adalah tempat kelahiranku dulu, tempat ibu dan ayah membesarkan kami dalam suasana kekeluargaan yang tinggi, dalam semangat bertani yang kuat apalagi ditunjang dengan suburnya kampung kami.

Ibu memberi sepetak sawah untuk ditanami ketika mendengar maksud kedatanganku kembali ke kampung ini beserta ketiga anakku. Sebenarnya ia tak setuju, bahkan berkata :

“Sudah. Ceraikan saja suamimu. Mengapa kau susah-susah banting tulang, sementara suamimu bersembunyi ketakutan di hutan-hutan.”

Ibu tak mengerti apa yang dimaksud bersembunyi, karena bang Tongat bersembunyi bukan sebagai pengecut namun sebagai usaha menyelamatkan diri sementara. Itulah tugas yang harus diembannya kini, setelah kedatangan tentara Sekutu bersama Belanda ke tanah Sumatera Timur. Tugasnya sebagai pelatih laskar berganti kini menjadi mata-mata. Memasuki kampung-kampung tempat tentara-tentara sekutu bermarkas, lalu menyampaikan kabar rahasia tentang sekutu kepada laskar-laskar yang berada di dalam hutan. Tentu proses ini memakan waktu berbulan-bulan dengan penyamaran segala cara.

Walau terkadang ada nada sumbang, ketika mereka beberapa mengendap-endap di tengah malam menuju kampung terdekat. Lalu meminta bantuan beras dan bahan makanan lainnya untuk dibawa kembali ke dalam hutan sebagai bekal bergerilya. Bagi yang tak rela, tentu menganggap mereka pemalas yang bersembunyi di hutan. Padahal ini sebuah pembagian tugas demi kemerdekaan negeri ini.

Beberapa minggu lagi padi kami akan dipanen. Bulir-bulir padinya sudah berisi dan mulai menguning. Setelah menjualnya, aku akan kembali ke Medan. Mendirikan warung kecil di gubuk tempat kami tinggal selama ini. Mungkin cara ini mampu menghidupi kami berempat sampai suamiku kembali dari tugasnya.

***************

Saat itu aku sangat terkejut, mendapati perubahan rumah yang kutinggalkan hampir 2 tahun.  Tapi aku yakin, inilah rumah yang aku bangun dulu bersama istriku. Dengan bahan seadanya pelan-pelan rumah itu mampu menaungi kami dari panas dan hujan. Dan keadaan sekitarnya menandakan aku bukan salah tempat.

Anak kecil yang berkepang dua itu tertegun menatapku, aku mengenalnya sebagai anak tertuaku, si Alem. Ketika aku mengembangkan tangan, ia lari ketakutan. Ah... dia tak mengenalku lagi. Kemana ibunya?

Terdengar suara berisik dari arah belakang. Bukan saja suara orang sedang mencucui piring namun juga suara menenangkan anak-anak yang terlihat bertengkar di dalam rumah. Ah.. aku rindu suasana ini, sepinya hutan tak mampu membunuhku karena aku masih selalu mengingat suara-suara mereka yang tersimpan rapi di gendang telinga.

Istriku sangat terkejut mendapatiku berdiri di depan pintu dapur. Ia menghambur diri memelukku. Lalu ia mengajak anak-anak kami bergabung.

“Bapak sudah pulang. Ayo peluk bapak kita hehehe....”

Hanya si kecil yang tertegun diam. Sepertinya ia lupa siapa diriku. Ya... namanya Ulin, aku memberinya nama itu agar semua kembali baik setelah kelahirannya. Sementara kakaknya Alem dan Dame sudah tertawa senang sambil memeluk kedua kakiku. Istriku meraih Ulin dan memberinya ke pelukanku. Bau Ulin tercium lembut, bau minyak alun yang selalu diusap ke kepalanya untuk mengusir dingin.

Itulah masa kebangkitan kami, perubahan hidup kami. Istriku berharap agar aku tak lagi bergerilya. Cukuplah warung kecil ini menghidupi kami. Dan ia yakin, warung kecil ini mampu memberi makan kami semua.

“Aku bawa beras satu karung, aku tak mampu membawa lebih. Cukup berat sekarung beras sambil menggendong si Ulin dan menggiring Alem dan Dame pulang ke rumah ini. Lalu hasil penjualan hasil panen itu aku belikan minyak makan (goreng) satu kaleng, minyak tanah satu kaleng, gula dan lainnya beberapa kilogram saja. Dan berkat doa hasilnya tak terduga.” Ia tersenyum bangga sambil menemaniku makan di meja bambu kami.

“Oh ya, seperti apa pula itu yang tak terduga?” tanyaku penasaran.

“Ingatkah kau kisah tentang sang Kudus yang memberi makan 5.000 orang dengan 5 roti dan 2 ikan? Ternyata mampu mengenyangkan semua yang berharap padaNya. Begitulah yang kualami. Beras kita kini tetap satu karung, minyak makan satu kaleng, minyak tanah satu kaleng juga dan barang lainnya terlihat utuh. Sementara pundi-pundi uang kita sedikit demi sedikit terisi. Artinya jualan tetap berjalan dan kita semua mendapatkan makanan.”

Aku tertegun lama, menghela nafas. Sudah lama aku tinggalkan ingatan pada kisah yang pernah di ceritakan ayahku ketika aku kecil dulu. Yang aku ingat hanya, semua bisa kumiliki kalau aku bekerja keras. Tapi apakah usaha kerja kerasku di tempat jauh mampu pula menjaga istri dan anak-anakku di tempat lainnya? Tentu tubuh dan pikirankku tak mampu melakukannya bersamaan. Ternyata Tuhan menjaga keluargaku selama aku pergi. Oh... aku terlalu sombong, maafkan aku Tuhan.

***********

Pagi itu semua hadir seperti biasanya. Kokok ayam di atas pagar kayu di belakang rumah. Si sulung yang tak malas saat dibangunkan. Ia sudah tahu tugasnya, perempuan suku Karo mempunyai naluri untuk mengabdi pada orang tuanya. Ia sedang meniup bara kayu agar kian menyala, asapnya mengisi ruangan dapur. Seperti biasanya ia akan menanak nasi dan tak lupa memasak air panas.

Tapi aku tak menemukan bang Tongat di semua ruangan. Sepertinya ia sudah terbangun lebih dulu, namun entah ke mana ia sekarang. Apakah mungkin ia sedang menemui temannya yang pagi-pagi turun dari gunung untuk berjualan sayur mayur ke Medan? Dan seperti biasa ia akan pulang ke rumah membawa banyak bawang, cabe, kol, kentang serta buncis. Warung kami sudah kian semarak dengan jualan sayur mayur di pagi hari. Tak sampai pukul 9 pagi akan habis oleh pembeli yang enggan berbelanja ke pasar yang kebetulan sangat jauh bila berjalan.

Berkat pertemanannya selama ini, teman-temannya silih berganti datang menemuinya untuk memberikan hasil panen mereka untuk dibeli. Tentunya dengan harga sangat murah dibanding membeli sayur di pasar. Dan terkadang pula ketika mereka membutuhkan garam, gula atau rokok yang tak ada di gunung, mereka membelinya pada suamiku.

Matahari sudah tinggi, tapi bang Tongat belum juga datang. Nasi sudah dingin di atas meja, sementara kopi yang terhidang di meja juga sudah tak lagi mengepulkan asapnya. Aku terduduk di bangku bambu di dekat warung. Ingatanku kembali menerawang pada pembicaraan beberapa minggu ini. Ia sangat kesal pada pemberontak-pemberontak itu. Darahnya mendidih mengetahui kisruh di negeri ini tak pernah berakhir. Sebagai mantan prajurit, ia tak rela kesatuan negeri ini hancur lebur. Abang ke mana kah kau pergi?

************

Badanku tak lagi seperti dulu saat melatih laskar-laskar rakyat. Pengalamanku di Heiho dan selanjutnya melatih TKR membuat tubuhku selalu dalam kondisi prima. Kini setelah lama tak bergerilya, perjalanan berkilometer menembus hutan membuat dengkul dan lututku nyeri. Tapi ini semua keputusanku, kemuakkanku pada mereka yang tak pernah puas.

Bayangkan selama hidupku mengabdi pada negeri, tak secuilpun kudapatkan apa-apa. Pangkat tak pernah kuingat, karena memang aku tak seperti mereka yang berlomba untuk meraih jenjang kepangkatan lebih tinggi. Aku puas dengan pengabdian dan lalu mundur. Namun ketika seseorang teman datang meminta bantuanku, aku sempat berpikir panjang untuk kembali terjun mengawal negeri ini. Aku tak sampai hati meninggalkan keluarga dan usaha yang telah kami rintis sendiri.

Tapi hasutan itu begitu membuatku mendidih. Pemberontak itu menginginkan kesatuan negeri ini porak-poranda dan aku tak mau itu terjadi. Setidaknya hasil selama ini yang bersama-sama diperjuangkan, janganlah begitu saja sia-sia. Nyawa sebagai taruhan janganlah dipunggungi oleh perwira-perwira yang tak puas pada pemerintah pusat.

Mereka memintaku memandu bergerilya di hutan. Mencari para pemberontak itu dan menangkapnya. Aku menyanggupinya, hanya meminta sekejap masa. Ketika waktu terlelap, aku tinggalkan mereka terbaring pulas. Aku berdoa, biarlah Tuhan yang mengawal mereka dan semoga bila Tuhan beri waktu kami dapat kembali berjumpa di waktu yang terindah.

***********

Perpisahan kami tak lama, musuh yang dimaksud ternyata tak begitu sukar ditumpas. Walau kemarahanku sudah meninggi, menemukan senyumnya mampu meluruhkan hati. Aku hanya sanggup memeluknya ketika ia sudah berdiri di depan pintu. Anak-anak menghambur ke kakinya. Bapak mereka ini lumayan tinggi dan gagah.

Ah... si Ulin gambaran dari sikapku. Ia terlihat marah di sudut rumah. Mukanya memandang ke arah lain. Pelan-pelan suamiku datang memeluknya dan menggelitiki pinggangnya, tawa kecil itu berhamburan keluar. Kakinya berusaha berlari.

Ia berjanji kembali, tak akan ada lagi perpisahan. Ia akan mengabdi pada keluarga dan ia berkata, bahwa sang komandan sedang memperjuangkan status kepangkatannya demi memperoleh santunan pensiun prajurit. Ia tertawa senang, setidaknya ada sebuah tambahan baru walau nilainya mungkin kecil.

Dan entah dari mana si sulung tahu, sempat pula terucap dari mulutnya, “Wah... bapak akan diangkat jadi pahlawan hehehehe...”

“Kalau jadi pahlawan, nanti akan dikubur di Taman Makam Pahlawan ya pak?” tanya si tengah.

“Jangannnnnn..... bapak masih hidup kok sudah mau dikubur!” jerit si kecil.

Tawa berhamburan keluar, disela-sela argumen masing-masing anak-anak kami yang mencari pembenaran dari mulut suamiku.

**************

Dari warung dan kelak ditambah uang pensiunku di hari tua, telah mampu menyekolahkan anak-anak kami. Tak hanya 3 tapi telah menjadi 9 orang. Ini bukti keseriusanku untuk mengabdi pada keluargaku. Dan kami walau tinggal di rumah yang kecil dapat saling bahu membahu mengurus rumah tangga dan warung kecil kami. Pelan-pelan atapnya telah berganti menjadi seng dan lantainya telah berkeramik.

Ketika semua beranjak dewasa dan telah berumah tangga, kami berdua kembali menjadi seperti sepasang pengantin baru. Berdua sepanjang hari, tapi saat-saat seperti ini kami nikmati sebagai saat-saat terindah. Hal yang menjadi rasa syukur adalah ketika masih diberi hidup hingga usia di atas 80 tahun. Aku mengingat bagaimana dulu saat usiaku 7 tahun, ayah telah tiada dan dua tahun kemudia ibu juga menyusul. Sementara kami bersaudara ditinggalkan ayah dan ibu berjumlah 7 orang. Sebagai anak bungsu, aku dicurahi kasih sayang oleh abang dan kakak. Namun keadaan ini justru membuatku menjadi lelaki yang mandiri

Di usia seperti ini kelelahan kerap mampir. Badan tua ini tak bisa dipaksa untuk bekerja lebih keras. Selebihnya aku banyak istirahat, malah terkadang dengan kaos tipis putihku aku terlelap tidur di kursi depan.

Hingga semua kedamaian kami terusik oleh kepergiannya di pagi hari. Ia tak kemana-mana, ia berbaring di sampingku seperti biasa. Namun ia tak terburu-buru untuk menanak nasi dan memasak air. Atau membuka jendela dan menyapu lantai. Ia menyimpan waktu yang terlelap. Ia tersenyum untuk kesetiaannya selama 80 tahun bersama keluarga. Dan akupun meraung-raung. 
Edi Sembiring

No comments: