Thursday 20 January 2011

"Ethok-ethok" Tahun Kelinci 2011

Perbanyaklah senyum di tahun Kelinci. Menurut mitologi Cina, kelinci sanggup menyembunyikan diri di balik jubah kesopanan untuk meluluhkan lawan. Kelinci juga melambangkan keanggunan, sopan-santun, kebaikan dan kepekaan terhadap segala bentuk keindahan. Ia juga memiliki perasaan yang cenderung berubah-ubah, alias moody.

Berbeda dengan shio Naga, Anjing, Macan atau Ayam, yang memilih bertarung sekali-sekali, kelinci tak suka "berperang". Ia bukan tipe orang yang dilahirkan untuk menjadi pejuang. Ia bercokol di belakang layar, karena itu ia cakap bernegosiasi.

Bukan tidak mungkin sang Kelinci memerankan ethok-ethok atau berpura-pura ketika ia menginginkan pamrih dari lawannya. Ada udang di balik burger.

Dengan seni ethok-ethok, menurut guru besar filsafat STF Drijarkara, Franz Magnis-Suseno SJ, seseorang dapat memberi jawaban tanpa isi ataupun yang sedikit tidak tepat atas pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut urusan pribadi. Pada umumnya, seorang Jawa yang sopan menghindari keterusterangan yang serampangan.

Bukan ethok-ethok dan bukan moody di awal tahun kelinci, bila penaikan tarif kereta Kereta Api (KA) kelas ekonomi di kisaran 14-150 persen dengan pertimbangan beban ekonomi masyarakat kelas bawah. "Saya kira itu bukan pembatalan, melainkan penundaan. Menhub sudah mengambil keputusan untuk menunda penaikan," kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa.

Bukan ethok-ethok dan bukan moody di awal tahun kelinci, bila penyesuaian harga pangan tidak dibarengi dengan peningkatan daya beli. Sampai-sampai harga cabai ikut nimbrung menekan daya beli.

Dampak ethok-ethok meluber ke saku kalangan industri. Kalangan industri menafikan penerapan tarif dasar listrik (TDL) secara penuh mulai 1 Januari 2011. Selain miskin sosialisasi, keputusan itu dinilai mencederai janji pemerintah soal batas kenaikan tarif (capping) 18 persen.

Meragukan kesungguhan dapat dibaca sebagai ethok-ethok. Ethok-ethok dalam tipikal bahasa birokrasi negara mewujud dalam kata-kata dan kalimat-kalimat eufimistik, umpamanya menaikkan harga yang dihaluskan menjadi harga mengalami penyesuaian, atau kalimat aparat menangkap pelaku kerusuhan menjadi kalimat pihak berwajib telah mengamankan pelaku korupsi.

Penghalusan -baca: penghinaan nalar- kata kerap terjadi, seperti kata kolusi menjadi kesalahan prosedur, desa miskin menjadi desa tertinggal, kampanye menjadi temu kader, dan satu lagi istilah yang kerap diobrolkan dan disuratkabarkan, yakni "usut tuntas kasus Gayus". Bahasa mengalami kekaburan makna dan menganulir misi sucinya yakni mewakili sesuatu yang konkret.

Ethok-ethok bagi publik dan pelaku bisnis mengerucut kepada ungkapan bahasa Jawa: Esuk dhele sore tempe. Umumnya tempe diolah dari kedele pada pagi hari. Sore harinya, kedelai yang dibumbui telah berubah jadi tempe.

Ungkapan itu merujuk kepada perkataan dan pendapat seseorang yang tidak bisa dipegang, berubah-ubah alias plin-plan. Tembunge mencla-mencle.

Mengapa ethok-ethok merasuk dan merusak nalar nurani elite birokrasi? Dari kacamata telaah filsafat postmodern, elite birokrasi telah lama berkencan dengan pembentukan dan pengolahan citra (image-processing). Mereka terperosok dalam "labirin beribu-ribu cermin", meminjam istilah filsuf Jacques Derrida. Subyek terperangkap dan terjebak dalam lautan imaji.

Ethok-ethok yang berkolaborasi dengan pengolahan citra, di mata novelis Milan Kundera, terjelma ke dalam diri agen-agen periklanan, para manajer kampanye politik, para perancang busana, para bintang show business yang mendiktekan norma-norma keindahan dan kepantasan penampilan fisik di hadapan umum. Ini yang disebut sebagai Imagologi!

Akibatnya, imajinasi menjadi tidak terperhatikan, ujung-ujungnya mereka mengekor dan mengembik kepada kekuasaan tanpa mau mempertanyakan secara kritis. Mereka tidak terbakar oleh api yang menjilat-jilat dari kreativitas, namun para birokrat justru silau dan terbakar oleh panas api yang tidak diketahui asalnya.

Inilah tragedi dari figur manusia bertubuh kuda (centaurus) di tahun kelinci 2011. Masih ingin tersenyum? Cukup kesengsem!

sumber : antaranews

No comments: