Tuesday 5 October 2010

Sudjinah, Ingatan Memecah Gelombang (bagian2)

'Women on Trial, Jakarta, February 1975. From left to right: Suharti Harsono, Sri Ambar Rukmiati, Sudjinah and Sulami.'   From Tapol, Indonesia: The Prison State, p. 12.
Sudjinah dan penanya

Sudjinah bukan hanya seorang politikus dan aktivis perempuan, tetapi ia juga seorang jurnalis sekaligus sastrawan. Cerpen-cerpennya banyak ditemukan, terutama di Harian Rakjat, dengan memakai nama S. Djin sebagai nama pena. Disinilah Sudjinah memainkan idealisme dan buah pikirnya, perjuangan pikiran atas kondisi sosial masyarakat saat itu bersama ketidakberuntungan perempuan di tengah masyarakat.

Cerpen S. Djin yang berjudul “Onah di Tepi Ciliwung,” dimuat di Harian Rakjat edisi 16 Juli 1955 itu mengisahkan tentang kehidupan Onah, gadis miskin yang diangkat anak oleh Mak Idjah, seorang mucikari yang tak kalah melarat. Cerita mengambil latar tempat di kompleks lokalisasi kelas teri di seputaran kali Ciliwung, Jakarta, dengan kurun waktu pertengahan dekade 1950-an, masa di mana PKI sedang merajut impian kejayaannya.

Lazimnya aktivis perempuan, aroma perjuangan emansipasi wanita langsung terendus manakala kisah S. Djin sampai pada segmen keprihatinan Onah kepada gadis-gadis binaan ibu angkatnya yang terpasung di lembah hitam :

“Onah tahu dengan nyata dari dekat, bahwa Hindun, Romlah, dan lain-lain adalah manusia-manusia yang berjiwa, bukan boneka-boneka yang tak merasa. Ia tahu, bagaimana Hindun, si Manis yang masih muda itu pernah menangis semalam-malaman, karena mencintai Kasim. Kasim pemuda tampan yang pernah datang padanya sekali dua kali, merajuknya dengan kata-kata madu tentang cinta dan perkawinan, tetapi kemudian tak lagi kembali.”

Dari penggalan fragmen di atas terlihat ada dua hal yang hendak dibidik S. Djin terkait dengan perjuangan nasib kaum Hawa. Pertama, bahwa para perempuan yang menjadi korban kehidupan dengan terpaksa menjalani karir sebagai penjaja kenikmatan adalah manusia yang juga harus dihargai harkat dan martabatnya.

Kedua, persoalan klasik ihwal arogansi kaum lelaki, bahwa makhluk berjenis pria seringkali mengibuli perempuan. Hindun, salah seorang penghuni kompleks yang bersahabat dengan Onah, sangat mencintai Kasim, sementara Kasim justru pernah beberapa kali gencar merayu Onah dengan sekantung tebal berisi bualan semanis gula tentang kesakralan cinta dan indahnya perkawinan.

Masih berkutat di ranah masalah yang sama, dibumbui dengan keluh-kesah tentang ketidakadilan kehidupan, simaklah gugatan Onah selanjutnya:

“Ya… Onah kadang-kadang merasa dengan tajam mengiris keinginan-keinginannya untuk hidup sebagai lain-lain manusia di luar tepi Ciliwung. Suami istri dengan anak-anaknya yang tampak bahagia dilihatnya keluar masuk toko. Adakah kasih-mesra hanya untuk sebagian manusia “di atas” nya? Sedangkan baginya… Onah, Romlah, Hasnah dan teman-temannya tak boleh memimpikan hidup berkeluarga yang bahagia? Romlah sangat sayang kepada anak-anak kecil, mungkin akan menjadi ibu yang penuh “sayang” kalau masyarakat tak melemparkannya dalam gang-gang gelap. Adakah manusia-manusia laki-laki yang menganggapnya sebagai boneka permainan nafsu sekejap, pernah memikirkan keinginan-keinginan yang meronta dan mengiris jantung pelacur-pelacur di tepi jalan? Keinginan hidup sebagai manusia, bukan benda pelepas nafsu setiap malam?”

Onah lagi-lagi menginginkan kehidupan yang lebih baik, yang lebih adil, dan yang lebih dihargai sebagai dan oleh sesama manusia. Onah kembali mempertanyakan, adakah lelaki yang tak hanya memperlakukan perempuan sebagai pemuas hasrat setiap saat, namun juga dengan tulus memikirkan bahwa perempuan malam pun punya cita-cita untuk berkehidupan yang lebih wajar dan manusiawi? Sampai akhir cerita, Onah belum mendapatkan jawabannya.

Dalam cerpen ini, muncul tokoh Bang Dul, penjual rokok yang sebelah kakinya lumpuh akibat pukulan tentara Belanda pada zaman perang, seolah menjadi malaikat agung bagi Onah. Bang Dul, pembawa pencerahan atas nama Palu Arit, dikisahkan sebagai sosok yang dianggap paling cerdas karena gemar membaca koran dan berkawan dengan banyak orang dari partai pejuang rakyat jelata. Berikut nasihat Bang Dul kepada Onah :

“Onah, kau lihat itu tanda hitam di pohon asem. Tanda Palu Arit adalah tanda harapan yang akan datang. Kawan-kawan kita banyak yang kini berjuang agar hilang semua penderitaan manusia. Juga penderitaanmu, Onah! Kau tahu, kakiku lumpuh akibat pukulan-pukulan penjajah Belanda pada permulaan revolusi. Tetapi aku tahu juga, bahwa di mana-mana kawan-kawan telah bangun bergerak. Kau tidak dilupakan… Onah! Meskipun mereka tak kenal, karena tugasnya tersebar di mana-mana, tetapi percayalah mereka membanting tulang untuk merubah keadaan yang hampir tak tertahan ini!”

Diceritakan juga bahwa Onah menaruh harapan besar kepada Bang Dul dan kawan-kawan partai Merah-nya. Onah turut bergempita di antara kisah heroik Bang Dul, bagaimana lapangan Merdeka pernah meluap dalam rapat umum di bawah kibaran panji harapan Merah bertanda Palu Arit keemasan di samping Sang Dwiwarna yang megah.

Ingin rasanya Onah ikut bersorak kendati ia tak mengerti apa yang disorakkan dan ia pun tak berani. Onah hanya tahu bahwa tanda Palu Arit adalah tanda harapan kehidupan. Onah tak ingin lagi terbenam dalam pelukan gelombang coklat air Ciliwung yang mengalir deras bersama hujan lebat, selaras dengan asa yang dikobarkan Bang Dul kepadanya.

“Tanda harapan itu kulihat tersebar di kota juga di desa-desa. Dan mereka akan yang jujur akan memihak kita, lihatlah… masa akan berubah!” seru Djin lewat perantara Bang Dul.


Sudjinah juga menulis cerpen-cerpen tentang semangat perjuangan menyingkirkan sisa-sisa kolonialisme-imperialisme Belanda dan Jepang dari pola pikir masyarakat. “Memecah Gelombang” yang dimuat di Harian Rakjat pada tanggal 27 Maret 1961 menyoroti perihal anti kolonialisme-imperialisme Belanda dan anti kolonialisme-fasisme Jepang yang bergantian menggerogoti bumi pertiwi.

Alkisah, setelah para penjajah pergi, banyak kalangan yang meragukan kemampuan bangsa Indonesia dalam mengolah sumber dayanya yang meruah. Manusia Bumiputera, yang selama masa penjajahan hanya diposisikan sebagai buruh-buruh kasar yang bekerja untuk kepentingan kolonial, termasuk yang bekerja di perusahaan-perusahaan pembuatan kapal, dianggap tidak mempunyai keahlian yang cukup untuk mengelola kekayaan negeri yang gemah ripah loh jinawi ini. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, seperti yang dikalamkan Djin dalam nukilan “Memecah Gelombang”:

“Belanda memang pergi. Tetapi bukankah masih ada benang-benang yang tersangkut membelit halus dalam hati sementara mereka yang akan bersorak bila perusahaan tak lagi lancar, ataupun benang-benang itu masih pula meruwet dalam hati mereka yang mendambakan kekayaan dari bagi diri sendiri? Tak mudah menjaga “milik RI” bila RI itu mau dilarikan bermacam-macam. Bukankah rakyat telah memberikan segenap daya dan hidupnya untuk mempertahankan “milik RI” dan bukankah mereka pula yang harus merasakan hasil kerjanya?”

Akhir cerita dari “Memecah Gelombang”, Djin menuturkan bahwa Andi, mantan pekerja kilang minyak dan perusahaan pembuatan kapal –yang menjadi tokoh utama dalam cerpen ini– bertekad untuk meneruskan juang di tengah kawan-kawan buruh kapal yang tak banyak kata, tetapi hari demi hari membangun, mencipta rangka-rangka yang semakin berujud kapal:

“Beribu tangan yang kuat dan cekatan itulah yang memegang palu godam mendering menggema di pelabuhan dan sesuatu saat menghancurkan kapal-kapal ‘buatan Indonesia’ yang segera mengarungi lautan merangkai pulau-pulau dan memecah gelombang.”

Dalam cerpen berikutnya yang berjudul “Kemana Arah” (Harian Rakjat tanggal 23 Agustus 1961) berkisah tentang Saman, bekas komandan pasukan gerilya di era revolusi fisik, yang merasakan gundah luar biasa di alam kemerdekaan. Jiwa Saman masih terkungkung dalam romantisme heroisme perang di masa silam. Saman kini bagaikan sampan yang rapuh tanpa kemudi, ia tak tahu ke mana arah yang mesti dituju. Tiada tempat kerja yang memuaskan, tiada karib yang bisa memahami. Teman-teman yang tak mengerti gejolak di hati Saman menistakannya sebagai orang “aneh”, “berlagak filosof”, bahkan menyebutnya “sinting”.

Sampai akhirnya Saman bersua lagi dengan Jono, teman seregunya di masa perang, yang telah menikah dengan Rani, mantan petugas palang merah yang dulu pernah merawat luka Saman. Kedua bekas karib seperjuangannya itu sekarang bersibuk sebagai aktivis serikat buruh dan penuh harapan akan hari-hari yang lebih baik di masa mendatang. Kepada Saman, Jono bercerita dengan sarat gairah tentang perjuangan mereka di masa kini, tentang kemajuan di serikat buruh.

“Kita harus menyatukan diri dan bersama-sama memikirkan apa yang mesti kita kerjakan,” ajak Saman. Rani pun tak mau kalah dengan tak henti-hentinya melaporkan kepada Saman tentang kemajuan organisasi wanita yang dipimpinnya.

Berkat Jono dan Rani yang aktivis kiri itu, Saman tak lagi kehilangan arah. Benar-benar disadarinya, betapa diam berarti mundur dalam pergolakan zaman yang minta kerja serba cepat dan tepat. Kepastian kini menyegarkan rasa, meringankan langkah dan mengalirkan gairah hidup berjuang untuk cita-cita.

“Saman kini mengetahui di mana ia berdiri dan dengan girang bersama teman-teman ia berdiri meneruskan langkah yang pernah patah, dengan penuh harapan,” demikian S. Djin memungkasi cerita “Kemana Arah”.

Wasiat Sudjinah

Dalam situs http://frsusanti.multiply.com/journal/item/28/Tentang_Sudjinah diceritakan bahwa Haryo Sasongko, mantan wartawan yang juga penulis sejumlah buku tentang tragedi 1965, mengirim “Wasiat Sudjinah” ke sejumlah milis, beberapa hari setelah Sudjinah menutup mata.
Isinya, pesan Sudjinah untuk mengumpulkan dan menerbitkan dokumen yang pernah ia tulis dengan pensil dalam penjara di Tangerang.

Dokumen itu, menurut wawancara Haryo Sasongko dengan Sudjinah di tahun 2000, diserahkan sembunyi-sembunyi oleh Sudjinah kepada seorang wartawan yang berhasil masuk ke penjara dengan menyamar sebagai kuli bangunan.

Sudjinah ingin dokumen itu dibukukan dan mengusulkan judul “Aku Pendukung Bung Karno Sampai Mati.”

Dalam “Terempas Gelombang Pasang”, Sudjinah menyebut nama Doris sebagai “penyelundup” sejumlah tulisannya. Tapi tak jelas apakah Doris yang mengaku sebagai mahasiswa Institut Teknik untuk bisa masuk ke penjara tersebut adalah orang sama yang dikatakan Haryo Sasongko sebagai wartawan yang menyamar sebagai kuli bangunan. Sudjinah sendiri kepada Haryo Sasongko minta agar nama wartawan tersebut dirahasiakan.

Haryo Sasongko memperkirakan wartawan tersebut kini berusia 70-an. Ia tak tahu dimana posisinya sekarang, apakah masih hidup atau sudah meninggal. Ia mengaku merasa berdosa kepada Sudjinah karena belum berhasil menemukan wartawan tersebut.

Sudjinah berhubungan dengan wartawan tersebut saat ia mulai dipindahkan ke Penjara Tangerang pasca vonis 18 tahun penjara yang dijatuhkan pengadilan pada tahun 1980. Di Tangerang inilah, Sudjinah punya kesempatan menulis setelah berhasil “menipu” petugas dengan meminta kertas untuk membuat desain pola sulaman.

Sebagian tulisan ini berhasil diselundupkan Sudjinah keluar oleh seseorang yang ia sebut bernama Doris. Saat Sudjinah keluar dari penjara, Doris memberikan kembali tulisan-tulisan tersebut sehingga kemudian bisa diterbitkan dalam bentuk buku.

Sudjinah menghirup udara bebas pada 17 Agustus 1983 setelah 16 tahun meringkuk dalam penjara. Namun ia masih berada dalam pengawasan ketat selama dua tahun lagi untuk menggenapi vonis hukumannya selama 18 tahun. Ia diwajibkan lapor ke Kodim setempat sekali dalam sepekan. Jika ia ketahuan melarikan diri dalam rentang waktu dua tahun tersebut, maka keluarga atau kerabat yang ia tinggali harus menjadi gantinya untuk ditahan.

Seorang kerabat jauh bernama Ny. Widodo bersedia menampung Sudjinah begitu keluar dari penjara. Guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, Sudjinah bekerja sebagai penerjemah berbahasa Belanda pada seorang dosen yang mengajar di Universitas Indonesia. Pekerjaan ini ia peroleh lewat seorang guru yang mengajar bahasa Belanda di Erasmus Huis. Sudjinah memang memutuskan untuk mengasah bahasa Belandanya dengan kursus di Erasmus Huis. Ia lulus ujian dengan nilai cum laude.

Selama empat tahun, Sudjinah bekerja sebagai penerjemah dosen UI yang kemudian hari dia tahu bahwa aktivitas dosen itu juga berhubungan dengan Amnesty Internasional.

Ketika keluarga dosen tersebut dipaksa meninggalkan Indonesia karena ketahuan berhubungan dengan Amnesty Internasional, pekerjaan Sudjinah pun berakhir.

Oleh mereka, Sudjinah disarankan untuk menguasai bahasa Inggris dengan sempurna. Dengan saran ini, Sudjinah mendaftar kursus di Lembaga Indonesia Amerika (LIA). Saat itu, menurutnya, apapun yang berkaitan dengan Amerika dianggap baik.

Sertifikat dari LIA ini yang membuatnya kemudian bisa berhubungan dengan sejumlah organisasi nonpemerintah (ornop), setelah sebelumnya ia juga berhubungan dengan sejumlah intelektual Australia yang menaruh perhatian pada nasib eks tapol dan napol 1965.

Di kalangan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Sudjinah dikenang sebagai sosok perempuan pemberani. Rumah kontrakannya di Jakarta Selatan, tempat ia tinggal sebelum memutuskan bergabung di Panti Jompo, menjadi saksi keberanian dia untuk menampung para aktivis PRD saat jadi buronan aparat pasca peristiwa 27 Juli 1997.

Stigma tentang Gerwani yang dipasokkan Orde Baru selama puluhan tahun ternyata gagal membunuh semangat Sudjinah, juga keberanian dan keyakinannya. Dia selalu percaya pada api dari generasi yang lahir setelah masa porak-poranda itu.


Referensi:

Anderson, Benedict (2000), “Petrus Jadi Ratu”, dalam Abdul Latief, Pledoi Kol. Abdul Latief: Soeharto Terlibat G-30-S, Jakarta: ISAI, 2000, hlm. xv.


Emmy Kuswandari (18 Februari 2002), ”Sulami: Saya Hanya Ingin Tentara Memperbaiki Diri”, dalam www.sinarharapan.co.id., data diakses pada 27 Maret 2009.


Green, Marshall, Dari Sukarno ke Soeharto: G-30-S dari Kacamata Seorang Duta Besar, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993.


Hajar NS (ed.), Seabad Pers Perempuan: Bahasa Ibu, Bahasa Bangsa, Jakarta: Iboekoe, 2008, hlm. 20.


Ibarruri Putri Alam, Roman Biografis Anak Sulung D.N. Aidit, Jakarta: Hasta Mitra, 2006.


Iswara N. Raditya, “Njoto: Kalau sport sudah politik, apalagi sastra dan seni!”, dalam An Ismanto (ed.), Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta: Iboekoe, 2007, hlm. 226-228.


Maria Hartiningsih (2009), “Narasi Masa Lalu”, dalam www.kompas.com, data diunduh pada 27 Maret 2009.


Rhoma Aria Dwi Yuliantri & Muhidin M Dahlan (eds.), Laporan dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1955, Yogyakarta: Merakesumba, 2008, hlm. 5-6.


Rhoma Aria Dwi Yuliantri, “Harian Rakjat: Di Bawah Pukulan dan Sabetan Palu Arit”, dalam Muhidin M Dahlan (ed.), Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa, Jakarta: Iboekoe, 2008, hlm. 699.


Sudjinah S. Djin (1961), ”Memecah Gelombang”, cerita pendek dalam Harian Rakjat, 27 Maret 1961.


Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang : Riwayat Wartawati dalam Penjara Orde Baru, Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2003.


Syamdani (ed.), Kontroversi Sejarah di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001, hlm. 105-170.

Bahan bacaan :
http://frsusanti.multiply.com/journal/item/28/Tentang_Sudjinah
http://pincurantujuah.wordpress.com/2009/11/07/parade-kisah-srikandi-merah/#more-441

No comments: