Tuesday 5 October 2010

Jenderal, turunkan tanganmu…



Jenderal, turunkan tanganmu…
apa yang kau hormati siang dan malam itu?
apa karena mereka yang di depanmu itu memakai roda empat?



Bah!!!

Tidak semua dari mereka pantas kau hormati !
turunkan tangan mu Jenderal… “

Lalu Nagabonar pun maju ke depan dan mulai memanjat patung Jenderal Sudirman di Jalan Sudirman, Jakarta. Di kaki patung Jendral Sudirman, dia melihat ada seutas tali menggelantung dari tangan kanan sang Jendral yang sedang memberi hormat. Ia menarik tali itu dan memanjatnya.

Nagabonar menengadah sambil menangis, dari mulutnya terucap pinta :
“turunkan tanganmu, Jenderal !
turunkan tanganmu, Jenderal !
turunkan tanganmu, Jenderal !
turunkan tanganmu, Jenderal !”

Patung Jendral Sudirman berdiri sepi di antara riuhnya kehidupan belantara hutan beton. Ia berdiri menghadap ke arah istana Presiden. Tangannya dalam sikap hormat, menghormati keputusan Soekarno sebagai pemimpin negeri ini saat itu walau dalam beberapa hal mereka berbeda pandangan menyikapi kelicikan diplomasi Belanda.

“…kalau Belanda menyakiti Soekarno, bagi mereka tak ada ampun lagi. Belanda akan mengalami pembunuhan besar-besaran”, janji Soedirman di hadapan Soekarno. Saat itu Soedirman berusia 32 tahun dan Soekarno lebih tua 15 tahun darinya. Hubungan mereka berdua baik, seperti kakak dan adik. Dalam sebuah suratnya sebulan sebelum Soedirman wafat, Soekarno ada menulis : "Nanda doakan kepada Tuhan, moga-moga Dinda segera sembuh....."

Kini penjajah Belanda sudah tak ada lagi. Nagabonar pun sudah ke kota. Jendral Sudirman juga tak lagi ditandu. Ia bisa berdiri gagah berani bersama Indonesia merdeka. Kalau dulu di belantara hutan dan sepi, kini beliaupun masih berada di antara belantara keterasingan. Indonesia kini yang mungkin tak akan dikenalinya lagi.

Modrenitas membuat penduduk negeri ini, pelan-pelan mengucilkan diri dari nilai-nilai sejarah. Patung dan taman makam pahlawan hanya menjadi sejarah dingin, sehening tunduk sujud mereka diharibaan ibu pertiwi. "Panggilan ibu pertiwi" (seperti yang diucapkan Nagabonar) menjadi igauan di siang hari. Kata "mengisi kemerdekaan” menjadi hilang makna. Bangga hanya mampu memegang teguh Pancasila tapi tak dijalanlan apalagi dengan didasari keikhlasan.

Melihatnya, patutlah kita pun ramai-ramai meminta :
Turunkan tanganmu, Jendral !
Mereka tak patut kau hormati.
Mereka telah lama menggadaikan negeri ini.
Mewariskan utang pada anak cucu kami.
Meninggalkan bara panas di kegelisahan antara sesama anak negeri, saling tindas menindas, saling curiga mencurigai.
Menyumbang kebobrokan moral dengan menyuburkan mental korupsi di tubuh birokrat.
Menebar kantong-kantong kemiskinan yang mendulang penyakit-penyakit sosial.
Menjerat kami pada sistem politik dan hukum yang tak berpihak, daulat rakyat telah dikebiri.

Kami minta :
turunkanlah tanganmu, Jendral.
Kau tak perlu beri hormat. Biarkanlah kami yang memberi hormat kepadamu, bukan kepada Dia.

Kepada pemimpin yang takut dengan Belanda yang telah kau TUNDUKKAN dan USIR dari negeri ini.

(ketika negeri ini merayakan HUT TNI hari ini, bersama itu pula kita menyaksikan ketakutan pemimpin kita pada sekelompok orang di Belanda, hingga tiba-tiba SBY membatalkan kunjungannya ke Belanda. Dulu Soedirman berkata : "...kalau Belanda menyakiti Soekarno, bagi mereka tak ada ampun lagi. Belanda akan mengalami pembunuhan besar-besaran." Mengapa SBY takut bahwa TNI akan tak bersikap sama seperti Soedirman?)

No comments: