Tuesday 19 October 2010

Penggali Kubur

Penggali Kubur (sumber image : http://ratihkumala.com/)
Sementara mereka berkata tidak, aku berkata ia. Karena aku yakin, kubur yang merekah itu adalah milik orang-orang kalah. Tersebab kemarin malam, aku bertemu sang penggali kubur tepat saat bulan berada di atas ubun-ubunku. Kalau kau tak percaya, ikuti saja bekas jejak-jejaknya. Tak pincang dan tetap seperti sepasang kaki melangkah.

Ia pulang ke balik bukit, menuju rumah tersamar dalam malam. Menutup pintu yang dari dalamnya tak ada cahaya menyapa. Lalu dari kejauhan, ia terlihat menyalakan lilin besar. Duduk di dekat jendela sambil membuka sesuatu. Berlembar-lembar kertas lusuh dari sebuah buku. Mungkin nama-nama kita. Esok siapa?

Aku bertanya dan gemetar sambil berpegangan pada malam. Maka terlihatlah olehnya rona merah kegelisahan di bawah rerimbunan ini. Tatapnya menghentikan nalarku, hingga tak sadar segelas teh telah terhidang di depanku. Meja tua berbunyi kasar.

Esok siapa? Kalimat itu terucap berulang-ulang di otakku. Bibirku tanpa sadar terbuka, dari dalamnya keluar gema pertanyaan yang berulang. Hingga kelelawar-kelelawar di luar sana panik menyelamatkan diri, terlukis bulan tertusuk ribuan benda-benda hitam yang melayang.

Usah kau pusing, aku hanya diberi pekerjaan untuk membuat kubur orang-orang yang mati dalam kegelisahan. Mati dalam ketidak wajaran. Entah mengapa nama-nama itu semakin bertambah di buku tebal ini. Setiap jam tertulis nama-nama baru, mereka memang malas memutar otaknya, ucapnya.

Tertuliskah namaku?

Aku tak bisa memberi tahu. Tapi nasehatku berjaga-jagalah. Menarilah dalam waktu hingga tak terasa semua berjalan indah. Karena semua sudah dipersiapkan sang Tuan dengan sangat baik. Masing-masing punya kehidupan, masing-masing punya kematian. Dan tahukah kau, bahwa semua orang masing-masing juga punya penggali kuburnya.

Menatapnya, aku menemukan waktu berpuluh tahun yang mengecil di titik hitam mataku.
 Edi Sembiring

No comments: