Wednesday 23 July 2003

Ratu Babi

Negeri subur ini penuh lumpur. Tak lagi musim kering mampu tiupkan kegersangan. Menjadi permainan yang indah saat udara panas datang. Lumpur-lumpur adalah tempat berkubang. Suaranya menikmatkan, kecipak kesuburan meninabobokkan impian untuk hidup tanpa perlu khawatir akan esok.

Negeri subur ini penuh babi. Entah kapan bermula ternuzum begitu. Saat berjuta-juta leher tergorok di tahun-tahun yang lama lalu, mahluk-mahluk yang katanya paling mulia ini menikmati kutukan darah yang menangis. Dan bersama terperkosanya udara, air dan tanah kian tersihirlah ratusan juta penghuninya menjadi babi-babi korban pembangunan. Terpasung di atas empat kaki.

Mereka berjalan menunduk bukan malu pada diri-dirinya. Menatap ampas-ampas hidup penuh kerakusan. Hidungnya kembang kempis menetes liur. Tapi mereka tetap bisa gemuk. Penuh lemak-lemak yang mematikan. Tubuh bagai timbunan mental-mental jahat dan bilamana terbakar nanti, suaranya memercik damai, menetes minyak-minyak kerakusan yang kian mengotori tanah. Sudah terkabar di neraka akan banyak tarian. Menggeliat, menggerang, menjerit. Tak ada tangis, toh neraka bumi lebih kejam. Dan setelah kematian hanya perulangan.

Warna kulitnya seragam. Ya putih. Sejak ditunggalkannya pandangan hidup, keseragaman adalah mutlak. Atau akan dibuang pada tepi-tepi jurang kematian. Polesan lumpur hanya menutupi kepura-puraan. Putih ya tetap putih. Mungkin hanya bisul yang menitip merah, namun setelahnya pecah dan kembali putih. Isinya tak jauh lebih putih. Walau ada panu atau kurap itu tetap sewarna. Perbedaan hanya tipuan. Siapa yang menyangkal panu tidak putih. Borok samar-samar, putih menjadi angka-angka keberhasilan. Ekor-ekor adalah angka hidup.

Di dongeng malam, induk-induk babi ada bercerita saat semua puting telah penuh oleh mulut-mulut yang rakus. Katanya, dulu ada nabi yang mengusir setan dan memberinya istana baru di tubuh ratusan babi-babi. Namun sungguh malang, mereka mati di jurang dalam. Entah oleh sebab apa. Entah oleh apa pula otak-otak mereka tak mencari jawab. Hanya berkubang di atas lumpur kesuburan negeri dan mengunyah ampas-ampas yang tak perlu diperebutkan.

Kini ada yang menjerit-jerit di antara mereka. Berlari dan melingkari. Suaranya menggema mengusir kantuk dan lamunan. Dengus-dengus yang terkepal meninju rakus. Dan taring-taringnya mengancam setajam ucap dan maki.
“Bangunlah kaumku! Saatnya kita berontak dari kutuk zaman. Kita telah gemuk oleh derita-derita. Kita menjadi pemalas di lumpur subur. Pemimpi di saat siang. Tak cukup hanya ampas. Sebab berharap pada esok adalah kesia-siaan. Mari kita rebut negeri. Lari dari petak-petak logika mereka. Tempat kita ada di belantara pikiran bukan di sini, di pasung kebodohan!”

Mereka berteriak, “revolusi atau menjadi babi panggang kelak!”
Semua tersentak. Bangkit mencari kabar-kabar, sumber-sumber berita. Pada dinding-dinding pagar tertoreh baris-baris huruf. Beredar kitab-kitab yang dulu haram. Ada cerita yang bukan lagi dongeng. Di antara mereka ada setan-setan yang menjelma menjadi babi. Mungkin pula setan yang merasuki. Katanya ada babi ngepet. Babi ngepet?

Kali ini bukan barisan mahluk kesakitan. Semua menoleh ke kanan, ke kiri. Mencari-cari mahluk yang katanya jejadian. Ada yang merapat di barisan induknya. Ada yang merapat di barisan kakeknya. Ada yang merapat di barisan moyangnya. Tapi…. tak ada yang terpisah, tak ada yang berbeda. Semua sama. Semua merapat.

Atas nama kesadaran, mereka simpan semua kabar lama. Berkubang bukan lagi takdir dan tak ada ketakutan menerobos belantara pikiran. Dan kian muncullah babi-babi liar yang turun dari pingitan zaman. Keluar dari belantara hutan di batas-batas arena kubangan. Mereka hitam dan bertaring. Katanya ini adalah warna perlawanan. Dan taringnya lebih tajam dari kutuk-kutuk yang tertoreh di kitab zaman.

Kini ada pemimpin di negeri ini. Ada yang memikirkan mereka. Setelah sebelumnyapun mereka sebenarnya juga punya pemimpin. Namun hingga di detik ini, mereka tak mampu menunjukkannya. Sebab kebodohan yang memimpin dan samar-samar jikalau memang ada yang katanya babi ngepet, mungkin dialah sang pemimpin rezim dulu. Namun tak terjamah. Karena sama dengan yang lainnya putih dan tetap babi.

Namun riak angin perubahan tak bertahan lama. Cuaca kian tak jelas. Kadang mendung berkepanjangan hingga berkubang menjadi tak nikmat lagi. Semua penuh oleh lautan air dibumbui liur-liur ocehan. Semua panik. Belum lagi di lain hari kering berkepanjangan membuat lumpur-lumpur kian langka. Terlihat otot-otot saling beradu. Menggertak dan berkelahi. Ada kaum-kaum tersingkir. Ada yang kembali terpinggirkan.

Sementara mereka yang katanya datang dari belantara pikiran, kian rakus mencari bentuk. Entah perdebatan apa yang diucapkan pada setiap percakapan. Mereka telah diberi simbol-simbol dan kalung-kalung kebesaran menari-nari di leher mereka. Berdentang di setiap detik dan langkah. Suaranya seakan kabar yang tak pasti, terus berubah wujud. Sungguh menakutkan. Dari padanya akan ada sihir-sihir entah apa lagi.

Di sudut sebuah kubangan yang terindah, ada persetubuhan. Percakapan malam diantarai bintang-bintang, sesamar kabut menutupi. Putih turun mencium tanah. Di saat erangan kian laknat, puluhan lilin dijaga nyalanya. Ritual membisu di empat mata angin. Menatap harap, tersembunyi di tabir mulut malam.

Setelah itu, kelak tak ada lagi warna yang berbeda di antara mereka. Semua sama menjadi putih. Gemuk dan pemimpi. Tapi tak ada yang teringat pada perubahan itu. Tak ada yang sadar kaum pingitan zaman itu dulu berwarna hitam. Kesadaran yang ada di diri mereka kini adalah mereka memang babi.

Tapi jati diri sebagai babi mengecutkan nyalinya. Setelah sekian lama dari detik persetubuhan, lahirlah sebuah keturunannya. Ia terkejut sebagai induk babi. Bayinya bukan dirinya. Bayinya berkaki dua. Mirip nenek moyang akal budi di sebuah masa pingitan. Ia pernah melihatnya di belantara pikiran. Walau yang terlahir bukanlah berwarna hitam dan berbulu seperti yang dilihatnya. Cepat-cepat dilarikannya sang keturunan menuju hutan. Pada belantara ia titipkan sang anak untuk sebuah pingitan. Kelak di suatu saat ia akan kembali dan membawanya, memperkenalkannya sebagai keturunannya.

* * * * *

Entah siapa yang mendahuluinya, kepulan debu terlihat menari-nari di angkasa. Awan-awan seakan rebah di daratan. Jutaan babi berlari kencang. Terlihat pemandangan yang binal menerjang. Menerobos akal sehat, terbang bagai panah-panah yang tak sesat arah angin. Derap-derap serempak menitip harap. Membaui udara dengan dengus-dengus nafas, membayang mimpi di mata yang menatap ke depan. Katanya ada sejuta mimpi di balik kabut sana, kini saatnya memilih atau akan tersingkir selamanya oleh permainan jari-jari musim. Di depan, sang pemimpin menarik kendali. Menenung semua logika menuju istana bayang. Dari sebuah janji yang telah diucapkannya.

* * * * *

Sepasang kaki melangkah satu-satu. Menatap hamparan bangkai di bawah sana. Sementara ribuan burung nazar telah berhenti makan. Perut-perut mereka hampir pecah. Liur mereka tak mampu santap semua bangkai.
“Kakek, mengapa mereka menjatuhkan dirinya?”
“Mereka terbuai sebuah janji. Kemakmuran di balik kabut yang menutupi. Oleh sebuah janji dari setan-setan yang merasuki. Suatu saat kelak kau akan mengerti, asal kamu mau belajar pada waktu, bukan pada angin yang membawa kabar sesat.”
“Mereka telah ditipu siapa?”
“Tak ada yang menipu. Angin barat membawa dongeng kebebasaan, angin selatan membaui malam dengan globalisasi. Angin utara mengejek kesederhanaan mereka. Sementara angin timur menawarkan surga yang hanya sepetak. Dan dari surga itu pulalah turun ribuan burung nazar menyantap kepasrahan mereka.”
“Mengapa aku tak sama dengan mereka?”
“Dengankupun kau tak sama. Aku berdiri di atas dua kaki tapi tanganku hampir menyentuh bumi. Ibumu, sang ratu, telah bersetubuh dengan suatu malam. Yang menaungi dan menatap kaummu penuh kerakusan. Negeri ini telah digadaikan pada lalu, dan mereka ingin merampas paksa. Menggiring para pemimpi ke ambang kejatuhan. Sebentar lagi mereka akan datang. Burung-burung nazar pasti akan lari ketakutan menggali lubang-lubang kubur mereka sendiri. Kepulan asap akan membentang negeri, percikan lemak-lemak menari mengiringi mereka yang bernyanyi. Dari mulut sang koboi yang barbar akan bersenandung kata, “gone with the wind blows.”

jakarta,juli2003

No comments: