Wednesday 23 July 2003

Hati yang Tak Mau Memberi

Ini hari ketujuh ia tidak ada di sini. Di kamar ini. Kamar miliknya yang entah oleh sebab apa tidak lagi menjadi otoritas miliknya sendiri lagi. Aku telah ada cukup empat bulan lamanya. Tak mampu beri warna yang lain hanya menambah pengap saja. Setidaknya keringat-keringatku telah meracuni kasur kapuknya. Dan di langit-langit masih ada sisa-sisa asap rokok, sementara laba-laba tak mampu rajut waktu.

Ini hari ketujuh pula tak kutemukan suaranya berkata-kata panjang. Yang berteriak mengalahkan suara ceret air kutanak. Nafas harumnya keluar meracuni asap tembakauku. Terlebih ketika asbak ditemukan puntung yang kesekian belas sementara di bibirku yang kian menghitam ada nyala yang lain. Ia katakan, ini sebuah pembunuhan. Lalu pintu terbuka. Entah mengusir asap atau aku. Ia hanya diam di depan pintu. Dan nyala puntung yang manja ikut-ikutan diam.

Ahh…. tentangnya aku menjadi gila. Ini rindu atau entah apa. Aku tak bisa mengeja. Satu persatu aku membalik cerita, menenun tingkah yang berarak menuju apa. Tertampung setetes demi setetes mimpinya yang tiap malam kuperas mencari alas. Logikanya dan logikaku bagai petak-petak di papan catur. Ada saat kuda harus berjingkat maju atau mundur. Tetapi hitam tetap hitam. Dan saat putih harus tersudut, ia hanya bergumam bahwa aku curang. Tak mungkin ada kekalahan di sebuah permainan, karena semua ada jalan keluar. Mungkin bukan saat ini, manusia boleh lupa katanya.

Yang kusuka adalah matanya. Membelalak saat melihat aku lupa membuka sepatu. Ia akan berkacak pinggang, mengukur batas tepi pinggul yang kian menebal. Tak perlu lama untuk menghentikan omelannya, cukup aku katakan, ia terlihat kian gemuk. Ia akan gelisah memegang perut. Mengangkat garis bawah kaosnya yang longgar menampakkan lingkaran kecil di perut. Ia akan meminta pendapatku. Aku tak perlu serius tentang itu, cukup aku tunjuk sampah-sampah yang masih hangat malas tergeletak. Di atasnya terlihat muka-muka kapitalis menghitung rejeki.

Siapa sangka dendam yang mempertemukanku dengannya. Ketika kudapatkan sebuah buku yang kupinjamkan pada Pandit terlihat tak karuan. Sampul yang kumuh di tepi-tepinya. Ada banyak halaman terlihat pernah dilipat, mungkin pertanda batas halaman yang terakhir dibaca. Mungkin ada ratusan tetes air liur yang menempel saat jemari membolak-balik halaman. Aku jijik. Aku geram. Ini bentuk penghinaan atas sebuah karya cipta seseorang. Tak menghargai otak mereka yang kian tua dan kusut.

Namun aku tak bisa memberinya maki atau sekedar ucapan ketus saat ia ada di kamarku. Di kamar Pandit pula. Manusia yang langka ini bercerita apa yang ia baca. Tentang perlawanan Soe Hok-gie terhadap tirani hingga akhir hayatnya. Kematian yang suci setelah melewati hutan di lereng-lereng rendah hingga melewati pasir dan butiran-butiran larva yang menutupi lereng bagianatas dengan kemiringan enam puluh derajat menuju puncak semeru. Dan tulisan yang memikat di sebuah batu nisan, “Nobody knows the trouble I see, nobody knows my sorrow.”

Aku tak bisa memberi komentar akan kesedihannya melihat nasib asmara sang demonstran yang kesepian itu. Hanya bila ada sedikit keberanian, mungkin aku cukup berkomentar, wajahnya terlihat lucu saat berpikir serius. Pipi yang kian membulat dengan sebuah guratan di kening. Mungkin ini yang membuat di esok hari dan esok harinya adalah pertemuan. Bukan karena janji atau rindu yng naïf, tetapi ada detik yang menghantar langkah begitu ringan untuk sebuah kebetulan.

Bukan kebetulan pula hatiku kian melunak saat niat bacanya yang begitu besar memperkosa buku-bukuku satu persatu. Satu persatu buku dipinjam dan selanjutnya ada perdebatan. Tentang penulis yang terlalu berhayal melangkahi logika dan tak berpijak di bumi. Atau suasana batin apa yang kira-kira merangsang penulis hingga orgasme dan menetes mani-maninya menjadi kata-kata indah. Kumpulan halaman yang nikmat untuk digerayangi.

Ya, semuanya kini kami lakukan di atas kasur kapuk ini. Sekali lagi di atas kasur, karena ruang tamu hanyalah seperangkat kasur dan televisi yang menganga dikelilingi rak-rak buku dan sebuah lemari. Entah apa yang menghantarkanku ke sini, meninggalkan tempat semediku dan nyamuk nakal bernama Pandit. Mungkin karena keteledorannya yang lupa mengembalikan semua buku yang dipinjam. Hingga aku merasa seorang pencuri telah membawa lari harta karunku. Rak bukuku ompong. Dan lemari bajuku kedinginan, menggigil ketakutan ketika aku menyeringai sangar mendapatinya kosong. Tapi ini juga ulahku membiarkan ia bebas menilai penampilanku saat ditemukannya daki tidak jatuh setelah kucuci. Ada banyak komentar disusupi niat baiknya untuk mencuci kembali dan memberi garis-garis licin di setiap lipatan.

Mau tak mau aku kerap mendatanginya. Di sebuah kamar di sebuah rumah susun. Walau dengkul terasa mau copot ketika anak-anak tangga tersenyum manis minta diinjak. Berpakaian dan sekedar bersapa. Namun terkadang tertahan oleh sebuah percakapan. Kemudian sebuah percakapan lagi. Dan percakapan lain yang tak kunjung putus untuk akhirnya menutup malam. Karena esok juga ada percakapan lain. Hingga kami lupa akan detik yang masih setia berjalan dan tak terasa genap sudah empat bulan aku tinggal bersamanya.

Tujuh hari bukan waktu yang lama tapi ada rasa yang terus menghitungnya. Mungkin juga mengukur besarnya. Entah besaran apa yang kupakai, nalar lupa akan dimensi-dimensi. Sementara ruang berbicara lain, aku tak bisa menampik. Inikah rindu? Ah…. jangan pernah ada. Aku rindu untuk apa? Hmm…. mungkin rindu pada percakapan. Tapi aku merasa percakapan adalah angin. Tak kuundang tapi datang menghidupi. Ada bersin? Hahaha… itu mungkin hanya tawa panjang ketika sadar pada sebuah diskusi yang memperlebar kebohohan kami.

Kalau itu benar rindu, apa benar aku dikatakan telah jatuh cinta? Cinta? Waduh, setan apa yang memperanakkan logika berketurunan jadah. Cinta itu sampah. Seperti kasih yang menjadi bahasa klasik dan usang. Bukankah Adam dan Hawa telah mempertontonkannya secara bugil. Tak ada dikatakan cinta saat Adam bersetubuh dengan Hawa. Namun mereka tinggal bersama dan bercakap-cakap. Tentang taman dan penghuninya. Dan Adam tak punya pilihan teman hidup selain Hawa.

Jangan-jangan aku kena kutuknya? Aku bersumpah malam itu saat kami berdebat tentang kata cinta. Aku katakan untuk seumur hidupku aku tak pernah jatuh cinta, namun aku telah berpacaran untuk keenambelas kalinya. Tapi bukan berarti pula aku tak punya kesetiaan, aku akan setia untuk sebuah komitmen. Teman hidup yang padanya kuberikan segala kejujuran sikap dan perbuatan.

Lalu ia berteori tentang pendapat seorang filsuf kelahiran. Wina Ludwig Wittgenstein ada berkata bahwa semua penggunaan bahasa, arti dari kata dan kalimat tergantung pada pemakaiannya. Kata yang sama tidak sama artinya bila dipakai dalam lingkungan yang lain serta diucapkan oleh orang lain pula. Kata cinta seorang kaya akan hartanya beda dengan cinta seorang ibu pada anaknya. Kata cinta seorang kekasih memang ada yang murni dan tulus. Cinta yang tulus mungkin dapat berwujud banyak hal, perhatian yang besar, kerinduan, kesetiaan, takut kehilangan. Dan ia memaksa aku mengamini semua itu sebagai cinta. Aku terpana, mengangkat bahu.

Ia diam. Menutup mata. Mungkin menenangkan diri. Saat hening berbicara, aku kian gelisah. Aku mencoba memecah kegalauan. Aku katakan, janganlah terlalu percaya pada cinta, bila cinta itu ada. Bila dikatakan ada cinta pada anak dan orang tua, mengapa ada pembunuhan dan perkosaan di antaranya. Bila ada cinta pada Tuhan, mengapa kaum pengusung cinta mengkotak-kotakkan diri pada Tuhannya, saling bersikutan. Dan sudut-sudutnya yang tajam menikam mati. Bila benar cinta itu ada, mengapa ada kesedihan di saat sepasang kekasih harus berpisah. Bukankah ada luka di setiap ada kata cinta?

Bukan hal yang aneh pula, pada saat berikutnya ia beringas. Ia menamparku dengan sebuah bantal. Di atas kasur ini. Dan menangis di tepinya. Begitu berartikah kata cinta hingga ia meraung-raung?

Walau berjuta kali ia bertanya di setiap menit-menit berikutnya apakah aku telah merasa jatuh cinta, aku hanya menggeleng. Selanjutnya bisa ditebak, mukanya akan tampak begitu jelek dengan bibir yang manyun sambil ngedumel. Tapi itu tak melarutkan seleraku untuk menciumnya, melumatnya. Walau dari bibir ini tak pernah terucap kata yang diinginkannya. Lamat-lamat ia pasrah, seperti mlam yang rela pergi disetiap kabut menuju pagi.

Tujuh hari yang lalu sebelum keberangkatnnya menuju kota kelahirannya, ia masih bertanya untuk terakhir kalinya. Apakah aku mencintainya? Aku tak bergeming. Tak mau beri nada sendu di detik perpisahan. Dan ia hanya menghela nafas mengusir kebebalanku. Namun aku tahu, ia percaya pada kesetiaanku. Percaya pada kedunguanku yang tak mampu mengartikan lukisan abstrak bergambar cinta. Ia memberi kecup, kecupan yang sangat berbeda di saat-saat lalu. Seakan kecup itu akan menjadi prasasti yang terkubur di suatu masa kelak. Dan di ujungnya ada sebuah detik-detik yang latah menjadi dingin. Sunyi.

Aku mengemasi pakaianku. Membiarkan buku-buku menganga di peraduannya. Mengunci rapat pintu kesunyian dan bergegas turun, melangkah di anak-anak tangga yang masih saja tersenyum minta diinjak. Di persimpangan jalan, aku mematung mengalahi tegarnya lampu traffic light yang menyala bergantian. Aku berdiri bersisian. Untuk kesekian lamanya aku mengalahkan kalut.

Akankah aku menyusulnya? Bersanding dengan dirinya di sebuah pernikahan. Namun ia tak mau menikah tanpa kata cinta. Apa yang akan diucapkan saat bersumpah di depan pendeta? Atau membiarkan ia mengakhiri kesetiaanku dengan lelaki pilihan orangtuanya. Dan aku harus berlari mencari sepi lagi.

Di persimpangan aku masih termangu saat traffic light bukan lagi dewa. Ketika jalanan begitu padat dan merangkak. Dari sebuah jendela bis kota aku mendengar suara serak membaca sajak :

.......................
udah itu kita sama termangu
Saling bertanya : Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri
Ah! hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi
(Sia-sia oleh Chairil Anwar)

No comments: