Monday 7 October 2002

Quo Vadis

Aku pernah menikmati ini, wajah manis yang kecerdasannya jujur melekat tak bercelah. Ketermanguanku bukan ilusi atau mimpi yang mencari peri. Aiihhh...... otakku tak usil bersiul nakal, belalak mataku tak rakus, pandanganku tak mampu menyapa. Bukan tak sudi, tapi kilaumu tak sanggup kulewati.

Aku pernah merasakan ini, sebuah kerinduan menanti pagi. Kehangatan Timur memangkas kebekuan, gelombangnya mengalir deras di kaki bukit penantian. Pagi menawarkan harapan, embunnya membasuh jiwa yang kerontang. Sabdamu adalah nafas yang menebas pertapaan. Saat ini kerinduan akanmu adalah penantian pada setiap pagi.

Di titik nol, ratusan kata merangkai puisi, jemari menari melukis bait-bait gundah gulana. Seperti dulu, kinipun berulang. Syair itu sungguh klise, semoga tak ada kata yang tergambar, tapi perulangan mencibirkan harapan. Sungguh kecut yang sakit memecut.

Dan kakiku hanya menari di titik nadir, menatap di balik keraguan.

Seperti dulu, kini pun aku merasakan.
Bayangan yang sama,
wajah yang berulang......

Quo Vadis Cintaku?

No comments: