Wednesday 15 June 2011

Yabu no Naka, Di Dalam Belukar (Ryunosuke Akutagawa)

PEMBENARAN DI DALAM BELUKAR


Sampai di mana tingkat subjektivitas manusia dalam menyampaikan kebenaran lewat pembenarannya?

Terlepas dari skizofrenia yang diderita serta gaya cerita yang berbeda setiap kali menulis, Ryunosuke Akutagawa mempertanyakan kemampuan atau keinginan manusia untuk menanggapi dan menyampaikan kenyataan yang objektif tersebut lewat cerita pendek karyanya, Yabu no Naka, Di Dalam Belukar.



Cerita pendek Akutagawa ini berisi tujuh kesaksian yang berbeda mengenai kasus pembunuhan seorang samurai, Kanazawa no Takehiro, yang jasadnya ditemukan di hutan bambu pinggiran kota Kyoto. Tiap kesaksian mengklarifikasi namun juga mengaburkan apa yang diketahui pembaca tentang peristiwa pembunuhan tersebut, hingga pada akhirnya menciptakan sebuah gambaran yang rumit dan penuh kontradiksi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi.



Kisah ini bermula dengan empat laporan dan kesaksian minor dari seorang penebang kayu, rahib Buddha, agen polisi, dan wanita tua. Lalu menyusul kesaksian seorang bandit, pengakuan istri dari samurai yang terbunuh, hingga arwah sang samurai yang berbicara melalui perantara seorang dukun.


Si penebang kayu yang menemukan mayat seorang lelaki di hutan menyatakan bahwa lelaki tersebut kelihatannya meninggal karena satu sabetan pedang di dada. Keadaan di tempat kejadian perkara antara lain dedaunan yang terinjak di sekitar mayat menunjukkan bahwa telah terjadi sebuah perkelahian yang sengit. Yang ia temukan selain mayat hanya seuntai tali, suatu sisir, dan banyak darah.


Kesaksian selanjutnya diberikan oleh seorang rahib Buddha yang mengaku pernah bertemu dengan lelaki itu–yang sedang bersama seorang wanita yang menunggang kuda palomino–di jalan besar pada tengah hari sehari sebelum pembunuhan. Lelaki itu membawa sebilah pedang dan sebuah busur, serta tabung panah berwarna hitam. Semua ini tidak ada di lokasi ketika sang penebang kayu menemukan lelaki tersebut.


Seorang agen polisi yang menangkap seorang penjahat terkenal bernama Tajoumaru maju bersaksi. Ia menangkapnya ketika Tajoumaru terluka setelah terlempar dari punggung seekor kuda palomino, dan dia membawa sebuah busur dan tabung panah hitam. Senjata yang tidak biasanya dibawa oleh Tajoumaru. Ujarnya ini membuktikan bahwa Tajoumaru adalah pelakunya. Namun Tajoumaru tidak membawa pedang lelaki itu, yang juga hilang dari lokasi pembunuhan.


Sebuah laporan datang dari seorang wanita tua, yang menyatakan dirinya sebagai ibu dari wanita yang belum ditemukan itu. Putrinya adalah seorang wanita berusia sembilan belas tahun yang bernama Masago, dan menikah dengan Kanazawa no Takehiro, seorang samurai berusia dua puluh enam tahun dari Wakasa. Putrinya yang bertekad kuat itu, ujarnya, tidak pernah dekat atau bersama lelaki selain Takehiro. Dia memohon kepada polisi untuk menemukan Masago.


Setelah penyidikan keempat laporan minor tersebut, Tajoumaru akhirnya mengakui kesalahannya. Dia mengatakan bahwa dia bertemu dengan dua orang itu di sebuah jalan di luar Kyoto. Ia tertarik pada Masago dan ingin memperkosanya. Untuk memperkosa Masago tanpa halangan, ia mencoba memisahkan pasangan itu dengan memancing Takehiro ke dalam hutan dengan iming-iming harta karun. Setelah melumpuhkan Takehiro, ia menyumpal mulut Takehiro dengan dedaunan, mengikatnya di sebuah pohon, dan langsung mencari Masago.


Ketika Masago melihat suaminya terikat pada pohon, ia menarik sebuah belati dari pakaiannya dan mencoba menusuk Tajoumaru. Tajoumaru lebih gesit dan berhasil merebut belati dari tangan Masago, dan dia pun berhasil memperkosanya. Pada awalnya, ia tidak bertujuan membunuh lelaki itu, tegasnya, namun setelah pemerkosaan, Masago memohon padanya untuk membunuh suaminya atau dirinya sendiri, karena dia tidak akan tahan bila dua lelaki mengetahui aibnya itu. Dia akan pergi dengan lelaki terakhir yang hidup. Tajoumaru tidak ingin membunuh Takehiro dengan cara pengecut, jadi ia melepaskannya dan mereka berduel pedang. Pada duel itu, Masago melarikan diri. Tajoumaru berhasil membunuh Takehiro, dan mengambil pedang, busur, serta tabung panahnya, juga kuda Masago. Dia menyatakan bahwa dia telah menjual pedangnya sebelum dia tertangkap oleh sang agen polisi.


Sementara di Kuil Shimizu, seorang wanita melakukan pengakuan dosa. Pengakuan yang sama juga dituturkannya ke polisi. Menurutnya, setelah pemerkosaan, Tajoumaru pergi, dan suaminya yang masih terikat di pohon menatapnya hina. Dia merasa malu karena telah diperkosa, dan tidak ingin lagi hidup, namun ia ingin suaminya mati bersamanya. Akhirnya ia menancapkan belati ke dada suaminya. Kemudian ia memotong tali yang mengikat suaminya yang telah tewas, dan lalu berlari ke hutan, dimana ia mencoba membunuh dirinya sendiri beberapa kali. Tetapi terus-menerus gagal, ada suatu hal yang membuatnya tak bisa mati saat itu: ia harus melakukan pengakuan tentang kejadian tersebut lebih dulu. Pada akhir pengakuannya, ia menangis.


Kesaksian terakhir berasal dari arwah Takehiro, yang melalui perantara seorang dukun. Dengan penuh emosi–sedih bercampur marah–arwah Takehiro mengatakan bahwa setelah pemerkosaan, Tajoumaru meyakinkan Masago untuk meninggalkan suaminya dan menjadi istri Tajoumaru sendiri, yang akhirnya disetujui Masago dengan satu kondisi: Tajoumaru harus membunuh Takehiro. Entah kenapa Tajoumaru marah mendengar usulan ini, menendangnya ke tanah, dan menanyakan Takehiro apakah dia harus membunuh wanita tanpa harga diri itu. Mendengar ini, Masago berlari ke hutan. Kemudian, Tajoumaru memotong tali yang mengikat Takehiro dan turut melarikan diri. Takehiro mengambil belati Masago yang terjatuh, dan menancapkannya ke dadanya sendiri. Sesaat sebelum kematiannya, dia merasa bahwa seseorang berjalan pelan mendekatinya dan mencabut belati dari dadanya.


Pasti ada kebenaran dari tujuh laporan dan kesaksian dalam cerita pendek tersebut, atau bisa juga kesemuanya berdusta. Dalam naskah cerita pendek aslinya, laporan yang banyak terdapat ketidaksesuaian dengan laporan lainnya adalah dari sang penebang kayu. Namun yang paling menarik dari cerita ini tentu bukanlah itu.


Akutagawa nampaknya sengaja menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar pembunuhan dan investigasi, yaitu ambiguitas manusia. Manusia, menurut Akutagawa, akan melihat pembenaran sebagai kebenaran melalui kaca mata perspektifnya masing-masing. Misalnya, mengambil satu perspektif dan percaya dengan itu. Akutagawa memang tidak berniat menyampaikan perkara siapa membunuh, dibunuh, atau bunuh diri, maupun menemukan kebenaran dalam kasus terbunuhnya sang samurai seperti layaknya cerita misteri dan detektif lainnya. Lebih dari itu, Akutagawa ingin menunjukkan bahwa manusia sangat sulit untuk mengutarakan kebenaran absolut. Yang ada hanya pembenaran.


Selain itu, jika ketiga pengakuan utama–Tajoumaru, Masago, dan Takehiro–terhadap kebohongan, apa faktor yang membuat mereka berbohong. Jika berpatokan pada budaya Jepang, terutama latar waktu peristiwa, yaitu berabad-abad yang lalu, sebuah jawaban bisa disodorkan: kehormatan.

Ketiga pengakuan itu sama sekali tidak bertujuan menghindari hukuman, namun untuk menempatkan diri di tempat yang terhormat. Membunuh lawan dengan berduel bagi Tajoumaru adalah sebuah kehormatan. Bunuh diri bersama suami–namun kemudian ia berpendapat bahwa ia harus memberikan kesaksian dulu sebelum mati–bagi Masago adalah sebuah kehormatan. Dan bunuh diri bagi Takehiro adalah sebuah kehormatan juga. Manusia memang memiliki banyak kelemahan, namun karena ego dan harga diri, kehormatan terkadang dipertahankan dengan pembenaran, atau bisa jadi kebohongan. Inilah salah satu ambiguitas yang dipertanyakannya.


“Hanya kegelisahan yang usulnya tak jelas…” ujar Akutagawa dalam surat kematian sebelum ia bunuh diri.


~ foto diambil dari film Rashomon (1950) karya Akira Kurosawa.

1 comment:

Hanny said...

Bagus sekali, terima kasih!