Wednesday 22 June 2011

Puisi-puisi Joko Pinurbo tentang Yesus

Marcus Cornish, "Jesus in Jeans," 2009


Kredo Celana

Yesus yang seksi dan baik hati,
kutemukan celana jeans-mu yang koyak
disebuah pasar loak.
Dengan uang yang tersisa dalam dompetku
kusambar ia jadi milikku.


Ada noda darah pada dengkulnya.
Dan aku ingat sabdamu:
“Siapa berani mengenakan celanaku
akan mencecap getir darahku.”
Mencecap darahmu? Siapa takut!
Sudah sering aku berdarah,
walau darahku tak segarang darahmu.

Siapa gerangan telah melego celanamu?
Pencuri yang kelaparan,
pak guru yang dihajar hutang,
atau pengarang yang dianiaya kemiskinan?
Entahlah. Yang pasti celanamu
pernah dipakai bermacam-macam orang.

Yesus yang seksi dan murah hati,
Malam ini aku akan baca puisi
Di sebuah gedung pertunjukan
Dan akan kupakai celanamu
Yang sudah agak pudar warnanya.
Boleh dong sekali-sekali aku tampil gaya.
(2007)



Celana Ibu

Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri.
“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
(2004)



Diperjamuan

Aku tak akan minta anggur darahMu lagi.
Yang tahun lalu saja belum habis,
masih tersimpan di kulkas.
Maaf, aku sering lupa meminumnya,
kadang bahkan lupa rasanya.
Aku belum bisa menjadi pemabuk
yang baik dan benar, Sayang.
(2006)



Di Kalvari

Salibmu tinggi sekali.
Ya, lebih baik kaupanjat tubuhmu sendiri.
(2007)





Mandi

Mereka tiba di kamar mandi menjelang tengah malam ketika langit terang dan bulan sedang cemerlang. Pemimpin rombongan segera angkat bicara: “Hadirin sekalian, malam ini kita berkumpul di sini untuk mengantar mandi salah seorang saudara kita. Mari kita sakiti dia agar sempurnalah mandinya.”

Korban segera diseret ke kamar mandi dan diperintahkan berdiri di depan. Wajahnya tertunduk pucat, tubuhnya gemetar, dan matanya seperti kenangan yang redup perlahan. Belum sempat pemimpin rombongan menanyakan tanggal lahir dan asal-usul korban, orang-orang yang sudah tak sabar menyaksikan sekaratnya berseru nyaring: “Mandikan dia! Mandikan dia!”

Tubuh tak bernama yang terlampau tabah menerima cambukan waktu yang gagah perkasa. Mandikanlah dia.

Mulut tanpa kata yang tak perlu lagi mengucap segala
yang tak terucapkan kata. Mandikanlah dia.

Hati paling rasa yang tak pernah usai memburu cinta
di rimba raga. Mandikanlah dia.

Mandikanlah dia hingga tak tersisa lagi luka.

Pembantaian sebentar lagi dimulai. Hadirin segera pergi setelah masing-masing menghunjamkan nyeri ke ulu hati. Korban dibiarkan terkapar di kamar mandi.

Sepi yang tinggi besar melangkah masuk sambil terbahak-bahak. Korban diperintahkan berdiri. Mandi!” bentaknya. Dengan geram diterkamnya tubuh korban dan kemudian dikuliti. Lihatlah, korban sedang mandi. Mandi dengan tubuh berdarah-darah.

Bahkan bulan tak berani bicara; dengan takut-takut ia melongok lewat genting kaca. Sepi makin beringas. Ia cengkeram tubuh kurus korban, ia serahkan lehernya kepada yang terhormat tali gantungan. Krrrkk! Sepi melenggang pergi sambil terbahak-bahak, meninggalkan korban berkelejatan sendirian. Lalu, di hening malam itu, tiba-tiba terdengar seorang bocah menjerit pilu: “Ibu, tolong lepaskan aku, Ibu!”
(2003) 

sumber gambar : Jesus in Jeans

No comments: