Tuesday 5 October 2010

Sudjinah, Ingatan Memecah Gelombang

Di sebuah panti jompo yang diresmikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Taufik Kiemas pada 8 Februari 2004 terdapat sejumlah anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) menghabiskan masa tua di tempat itu. Di antaranya terlihat seorang ibu tua bernama Sudjinah.

Ia lahir di Solo pada 27 Juli1928, ayahnya, seorang pegawai Keraton Surakarta. Ia sulung dari empat bersaudara. Menyelesaikan HIS di zaman Belanda dan sempat mencecap pendidikan MULO selama setahun, sebelum kemudian Jepang datang.

Saat perang merebut kemerdekaan, remaja Sudjinah turut aktif di garis depan depan pertempuran. Ia menjadi anggota Mobile Pelajar, juga Pemuda Putri Indonesia. Pada tahun 1949, ia menjadi kurir Batalyon Bramasta di selatan Bengawan Solo.

Tahun 1950, Sudjinah kembali ke Solo, melanjutkan sekolah dan kemudian ke Yogyakarta untuk menyelesaikan SMA.

Lulus SMA pada tahun 1952, Sudjinah mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada (UGM). Sayang, ia tak menyelesaikan pendidikan sarjananya karena beasiswanya terhenti di tengah jalan. Namun di kampus biru inilah, Sudjinah semakin aktif terlibat di Pemuda Rakyat (PR) yang merupakan kelanjutan dari Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan juga berkecimpung di Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) yang merupakan cikal bakal Gerwani.

Dalam kongres I Gerwis yang digelar di Surabaya pada tahun 1951, Sudjinah juga hadir sebagai peserta. Ia terdaftar di Gerwis cabang Yogya dan menjadi anggota yang sangat aktif.

Tahun 1955, seiring dengan berhentinya aktivitas kuliah di UGM karena tak ada lagi kucuran beasiswa, Sudjinah dipercaya oleh Pemuda Rakyat untuk menjadi wakil mereka dalam Festival Pemuda Sedunia ke-5 yang digelar di Warsawa, Polandia.

Usai menghadiri Festival tersebut, Sudjinah dapat tugas baru. Ia diminta Gerwani untuk bekerja di Sekretariat Gabungan Wanita Demokratis Sedunia (GWDS) yang berkantor di Berlin Timur. Dalam Kongres II yang digelar di Jakarta, Gerwis sepakat untuk mengubah nama menjadi Gerwani.

Menurut keterangan Umi Sardjono, Ketua Gerwani yang dipilih dalam Kongres II, perubahan nama itu dilakukan setelah banyak kritik yang muncul dari anggota. Perubahan nama itu juga menjadikan keanggotaan Gerwani lebih longgar. Organisasi perempuan yang awalnya merupakan fusi dari tujuh organisasi perempuan lainnya itu, kini menjadi organisasi berbasis massa, terbuka untuk semua perempuan yang berusia di atas 18 tahun atau yang telah menikah.

Sementara sebelumnya, ketika masih bernama Gerwis, organisasi ini hanya menerima keanggotaan dari perempuan yang “sedar” atau memiliki kesadaran jelas soal sosialisme, sebuah organisasi yang berbasis pada kader.

Dalam ingatan Umi, Gerwis cabang Surabaya adalah kelompok yang paling keras mengkritik syarat keanggotaan. Menurut kelompok Surabaya, target perluasan anggota tidak akan tercapai dua kali lipat setiap tahun jika syarat keanggotaan hanya ditujukan bagi mereka yang “sedar”. Mereka juga mengkritik bahwa jika program-program yang dilancarkan Gerwani terlalu radikal, maka tidak akan “laku” di pasaran. “Mereka mengatakan Gerwis terlalu sektaris,” ujar Umi.

Kritik inilah yang kemudian membuat Gerwis memperlonggar syarat keanggotaan dan mengganti nama organisasi menjadi Gerwani.

Di bawah panji Gerwani inilah, Sudjinah bekerja di Sekretariat GWDS yang berkantor di sebuah apartemen yang terletak di ruas Oranke Strass.

Pulang ke Indonesia di tahun 1957, Sudjinah tak lagi cuma dikenal sebagai aktivis Gerwani, tapi juga seorang jurnalis. Tulisan-tulisan rutin yang ia kirim saat berada di Berlin, terpampang di Harian Rakyat, koran milik Partai Komunis Indonesia (PKI). Ini membuatnya terpacu untuk menekuni dunia jurnalistik sekembalinya dari Berlin. Ia menjadi jurnalis freelance di sejumlah surat kabar dan penerjemah untuk kantor berita Pravda (milik Uni Soviet). Ia juga menulis sejumlah cerita pendek.

Seolah aktivitas tersebut belum membuatnya sibuk, Sudjinah masih menyediakan diri sebagai penerjemah di kantor DPP Gerwani.

Tahun 1963, ia diminta membantu sebagai penerjemah bagi delegasi buruh perempuan Indonesia yang akan menghadiri pertemuan di Bukarest, Rumania. Ketua delegasinya adalah Sri Ambar Rukmiati yang memimpin seksi wanita Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).

Sri Ambar ini pula yang pasca peristiwa Gerakan 30 September (G30S)/1965 diseret ke depan pengadilan bersama Sudjinah dan dua perempuan lainnya, yakni Sulami (Sekretaris Jenderal II Gerwani) dan Suharti Harsono (kader Barisan Tani Indonesia).

Dalam catatan sejarah, dari ribuan perempuan yang ditangkap pasca G30S/1965, hanya empat perempuan itulah yang dibawa ke meja hijau. Sudjinah dijatuhi hukuman 18 tahun penjara, Sulami 20 tahun penjara dan Sri Ambar serta Suharti Harsono masing-masing 15 tahun penjara.

Perjuangan membela Soekarno

Dalam situs http://www.frsusanti.multiply.com/ Sudjinah berkisah tentang nama yang berubah-ubah, juga gaya rambut dan potongan baju. Ia melakukan itu saat peristiwa subuh 1 Oktober 1965 di Lubang Buaya telah meletus.

“Aku menerbitkan bulletin unruk membela Bung Karno,” ungkapnya bersemangat. Nama bulletin tersebut Pendukung Komando Presiden Soekarno (PKPS).

Sudjinah, bersama Sulami, menyebarkannya secara sembunyi-sembunyi saat tembok-tembok kota di Jakarta sudah dipenuhi dengan cacian dan umpatan bahwa Gerwani adalah pemotong pelir para jenderal.

Sudjinah mengenang bahwa ia pergi ke sejumlah kedutaan untuk memasukkan buletin tersebut, bahkan ia sempat bersembunyi di dalam selokan untuk menghindari kejaran militer yang telah berpindah haluan ke Soeharto.

“Aku pernah pakai wig warna-warni,” ujarnya geli sambil mengangkat kedua tangannya ke udara, menggambarkan model wig yang ia pakai.


Namun seluruh perjuangannya membela Soekarno mesti berakhir tragis. Bersama Sulami, Sri Ambar, dan Suharti Harsono, ia dijebloskan ke Bukit Duri dan masuk dalam sel isolasi. Namun sebelum itu, mereka mengalami penyiksaan fisik yang luar biasa. Padahal sejumlah pimpinan tertinggi Gerwani, termasuk Ketua Umum Umi Sardjono dan Sekjen Kartinah Kurdi, yang ditangkap pada tahun 1965 tak mendapatkan penyiksaaan fisik.

Menurut Umi Sardjono, pembedaan perlakuan itu disebabkan karena militer melihat aktivitas yang dilakukan setelah PKI dan organisasi yang dianggap berafiliasi dengannya dinyatakan sebagai terlarang, masuk dalam golongan aktivis masa epilog. “Orang-orang yang tertangkap dengan tudingan ini biasanya mendapatkan siksaan sangat kejam,” ungkap Umi.

Dalam bukunya “Terempas Gelombang Pasang” yang diterbitkan Pustaka Utan Kayu tahun 2003, Sudjinah berkisah tentang “rumah setan”. Ini adalah sebuah bekas sekolah Tionghoa di ruas Jalan Gunung Sahari yang dipakai sebagai tempat penyiksaan para korban yang ditangkap karena keterkaitan mereka dengan G30S/1965. Penyiksaan luar biasa yang terjadi di rumah itu membuatnya layak disebut demikian.

Di rumah ini, Sudjinah bersama Sulami ditempatkan di sel sempit yang penuh dengan bercak darah di tembok. Hampir tiap hari mereka mendengar jerit kesakitan dari ruang yang dipakai untuk tempat interogasi.

Dalam interogasi, Sudjinah dipaksa mengakui kerja-kerja bawah tanahnya. Namun ia bungkam. Pukulan rotan dari delapan interogator di tubuh telanjangnya tetap tak mampu membuatnya bicara. Juga intimidasi psikologis saat ia dipaksa menyaksikan penyiksaan seorang kawan yang digigit telinganya hingga putus.

Alih-alih bicara, Sudjinah justru muntah di wajah interogatornya karena tak tahan menahan muak. Ia muntah persis saat wajah interogator tersebut mendekat dan nyaris menyentuh pipinya. Akibatnya, ia kembali dipukuli dengan rotan hingga pingsan.

Sudjinah mulai ditangkap pada 17 Februari 1967. Di bulan Juni 1967, Sudjinah bersama Sulami dipindahkan ke kamp tahanan lain yang membuat mereka kemudian bertemu dengan Sri Ambar dan Suharti Harsono yang ditangkap lebih dulu pada September 1966.

Sudjinah dijatuhi hukuman penjara selama 18 tahun, mula-mula dibui di Tangerang, kemudian pada 1976 dipindahkan ke Plantungan, Kendal. Pada 17 Agustus 1983, Sudjinah dibebaskan secara bersyarat dengan pengawasan ketat selama 2 tahun.

Beberapa buku berhasil ditulisnya selama di dalam kurungan. Setelah bebas, Sudjinah bekerja sebagai interpreter dan guru bahasa Inggris. Malang bagi Sudjinah, ia ditolak oleh keluarganya di Solo dan kemudian hidup dengan teman-temannya di panti jompo di Jakarta. Sudjinah menutup mata di Jakarta pada 6 September 2007

sumber gambar : http://putradaerah.wordpress.com/2007/07/03/terbelenggu-komunisme/
bersambung ke bagian 2

No comments: