Thursday 24 April 2003

Sebuah Kesetiaan

.....masa berkabung, saat ku berduka menuju sukacita,
menatap jejak-jejakMu yang tertatih menuju bukit tengkorak....
secarik catatan di bulan ini:


Sebuah Kesetiaan
: menjelang hari keempat puluh

Pada masa perang Utara dan Selatan di Amerika pada tahun 1861-1865 seorang serdadu Amerika ditangkap dengan tuduhan membelot. Karena tidak bisa membuktikan bahwa dia tidak bersalah, ia divonis dan dijatuhi hukuman mati sebagai pembelot. Seruannya untuk naik banding sampai ke meja Abraham Lincoln. Dan Presiden Lincoln berbelas kasihan kepada serdadu tersebut dan setuju untuk memberi pengampunan.

Serdadu tersebut kembali ke angkatannya dan ikut berperang sampai perang tersebut usai. Namun ia terbunuh di medan pertempuran yang terakhir. Ketika teman-temannya mengangkat tubuh dari serdadu itu, di kantung bajunya ditemukan surat pengampunan yang ditandatangani oleh Presiden. Kata-kata PENGAMPUNAN pemimpinnya begitu DEKAT dengan HATINYA.

Demikian juga seharusnya kita semua sudah mati, namun pengampunan itulah yang telah membawaNya ke kayu salib. Seandainya tentara Romawi tidak ada di sana, seandainya tidak ada pengadilan, seandainya tidak ada Pilatus waktu itu dan tidak ada kerumunan orang banyak, penyaliban yang sama akan tetap terjadi. Seandainya Yesus harus memaku diriNya sendiri ke kayu salib, Ia akan melakukanNya.Karena bukan tentara Romawi yang membunuhNya, bukan juga jeritan orang banyak, melainkan kesetiaanNya kepada kita.

Terima kasih buat kesetiaanMu. Bahkan kesetiaanMu ketika Engkau tergantung di kayu salib. Seharusnya Engkau sanggup untuk turun dari kayu salib itu, namun kesetiaanMu membuat Engkau memilih untuk tetap tinggal di sana. Sampai Engkau berkata “sudah selesai.”

Itu sebabnya kayu salib bukan kebetulan. Engkau menjadi miskin supaya kami menikmati kelimpahan. Engkau disakiti supaya kami disembuhkan. Engkau menanggung rasa malu supaya kami menerima kemuliaan. Engkau dihukum supaya kami menerima pengampunanMu. Engkau dijadikan dosa oleh dosa kami supaya kami dibenarkan oleh kebenaranMu. Engkau menjalani kematian supaya kami menerima kehidupan.

Atas dasar apa ya Tuhan sehingga Kau mengasihi kami, adakah sesuatu dalam diri kami yang begitu berharga, sehingga Kau rela memberikan hidupMu untuk menebus setiap kami?

Begitu berharganya hidup kami di mataMu, ya TUHAN.


taken from : Jeffry S Tjandra, Live Worship Recording

Tuesday 8 April 2003

Mari Tertawa

Tertawa! Tertawalah!
Walau entah bagaimana jenis tawanya, mungkin bergantung besar rongga mulut, bentuk bibir atau jenis makanan yang melaluinya atau siapa yang tertawa. Maklum, derajat kehidupan kadang membuat pakem cara tertawa sendiri-sendiri. Tapi yang pasti intinya sebuah kelucuan. Walau itu hanya melahirkan senyum simpul atau malu-malu.

Itulah yang diajarkan sahabatku, Gabe, dalam menjalani hidup. Menyikapi segala persoalan dengan tertawa.

“Itu obat stress, melenturkan penat. Kesadaran akan kesalahan membuat kita menertawai kebodohan itu. Dan setidaknya kita pintar menemukan jawaban. Ya, kita harus berpikir merdeka. Jangan pernah dijajah oleh kesalahan. Kita bebas menemukan jawaban. Tidak menjadi budak pemikiran orang lain, karena kadang itu menjadi begitu menindas………”

“Menindas? Merdeka?” Aku bingung oleh segala ucapan-ucapannya.

“Bangun bung! Kalau kamu tak mampu memerdekakan diri sendiri, jangan pernah berpikir untuk memerdekakan orang lain. Hidup menjadi bagian dari masyarakat sosial adalah suatu kodrat. Tapi sistem di masyarakat, terlalu mematok-matok wilayah yang membangun berbagai larangan. Tak ubahnya dengan ayam potong, dikandangkan, semua diatur entah itu persoalan waktu atau makan ditempatnya, minum ditempatnya……”

“Tapi berak bebas kan bung.”

“Tetap tak bebas. Kotorannya tetap harus jatuh ke bawah bukan bisa terbang ke atas……..”

“Wah itu melanggar kodrat alam.”

“Bukan sesimpel itu. Aku hanya ingin membenturkan antara kodrat ciptaan manusia dan kodrat oleh alam. Taik jatuh ke tanah itu kodrat alam, sama seperti kematian yang suatu saat dihadapi semua manusia. Kita tidak bisa merdeka atas kematian. Tapi untuk urusan lainnya seperti keturunan, baik dan buruk, boleh dan tidak, sopan dan amoral mempunyai standar-standar tertentu yang berbeda-beda dalam masyarakat……”

“Maksudnya?”

“Misal manusia dikatakan harus berketurunan. Banyak yang stress dikejar oleh usia untuk urusan ini. Menjadi lajang tua atau perawan tua itu aib, apalagi tidak menikah untuk seumur hidup. Pandangan masyarakat membuat kita tak merdeka untuk memilih jalan hidup. Anak-anak dihasut untuk bercita-cita jadi orang kaya. Tak ada yang bangga jadi orang miskin, atau menjadi diri sendiri.”

“Hmmmm…. hubungannya dengan tertawa tadi?”

“Ya itu, pertama kita tak boleh terjebak oleh lingkar penyesalan. Kita harus tertawa ketika menemukan jawaban. Dan kedua kita tertawa ketika kita telah berhasil melawan aturan-aturan atau dogma-dogma usang. Karena kita telah menemukan kelucuan yang dikemas rapi oleh sekelompok manusia yang menepuk-nepuk dada sendiri. Kita merdeka atas kebodohan mereka!”

* * * *

Seperti biasa, aku duduk tak jauh dari sekelompok orang yang ada. Mengamati untuk berberapa waktu lamanya. Ya, itu pekerjaan yang mengasikkan. Aku akan menemukan berbagai gerak-gerik. Bahasa tubuh. Itu bahasa yang tak tercatat, karena udara tak memberi kesempatan menunjukkan salinannya, selanjutnya hilang tak tereja dibawa pergi.

Tak jarang aku akan tertawa sendiri menyadari tingkah-tingkah mereka yang terkesan bodoh, kamuflase, atau mungkin munafik. Seperti cowok itu yang berpura-pura berlaku mesra dengan gadisnya. Memeluknya erat dari belakang sambil menunggu bis kota. Sementara saat itu juga matanya tak lepas dari dada-dada bengkak milik perempuan-perempuan yang melintas. Atau si necis yang tak hanya pintar bersilat lidah, tanganyapun lihai merogoh kantong-kantong yang dimangsa.

Kebiasaan mengamati itu aku jalani semenjak di kota ini. Menyadari kamar sepetakku bisa mematikan di saat aku lengah. Di dalamnya akalku terhadang penat oleh persoalan-persoalan hidup. Akan gaji yang tiada pernah cukup-cukupnya untuk hidup. Atau persoalan keinginan untuk mengucap cinta pada seorang gadis, sementara untuk menerima penolakkan adalah sebuah kiamat. Ahh…. itu hanya sekelumit kecil, banyak hal yang terkadang membuatku mati kutu. Dan bila tak tertahan, aku biasanya lari ke luar kamar. Menuju jalan dan mengamati yang ada.

Objek yang bisa kuamati adalah pengemis-pengemis yang duduk di pinggir jalan atau di jembatan penyeberangan. Aku menemukan obat penawar keserakahan hidup. Dan aku menertawai kebodohanku. Berucap syukur, aku masih bisa makan dari keringat sendiri. Mengamati pencopet, pengamen atau gelandangan di jalanan. Ternyata aku masih bisa hidup sewajarnya.

Namun terkadang timbul persoalan baru, misalkan memandang iri pada mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Kemewahan dan kenyamanan ada di dalamnya. Tapi itu bisa kusingkirkan, sekali lagi dengan tertawa. Mentertawakan mereka yang hidup di dalam utang dan penjara uang.

Atau saat memandang sepasang kekasih yang berjalan bersama. Ada rasa iri menikmati iklim asmara yang tersembul di langkah-langkah mereka. Tapi biasanya aku akan berlari menuju tukang koran, mencari pandang dan mencuri berita. Tak harus membeli koran kriminal itu. Di tumpukkan atau yang tergantung, aku bisa melahap beritanya. Sebuah headline : “Seorang Pemuda Tega Membunuh Pacarnya yang Selingkuh.” Isinya gampang ditebak. Dan aku selanjutnya akan tertawa menemukan segala kebodohan. Setidaknya walau tak berpacaran, aku pasti takkan pernah ditipu apalagi disakiti. Dan kemungkinan untuk menjadi pembunuh tak akan ada. Mereka tega membunuh atau menyakiti lawan jenisnya oleh kedunguan akan cinta.

Kuakui, obat mujarab bernama tertawa sangat manjur. Andai itu dipakai semua orang dalam menghadapi hidup dan persoalan, mungkin tak ada berita-berita kriminal di koran-koran. Atau penuhnya orang-orang kalap dan hilang akal di penjara. Penuhnya mayat-mayat di kamar mayat rumah sakit yang tak jelas identitas dirinya. Dan kuburan tak akan menjadi begitu angker dengan arwah-arwah penasaran dan malah imbasnya kini banyak orang suka akan cerita-cerita mistis mengalahi magisnya ajaran agama.

Semakin jauh ku berjalan, terkuak semua tabir hidup. Tak lagi sembunyi-sembunyi, vulgar menyeruak dari bahasa-bahasa waktu. Di semua titik-titik ku dapatkan kata-kata sandi, menjejakinya sebagai langkah menghantarkan jawaban. Tidak usah berlama-lama melukiskan kerutan di kening, semua akan terbeberkan dengan pasti. Hidup tidak untuk dipersulit, sama mudahnya ketika menghirup dan menghembuskan nafas. Semua mengalir apa adanya selama bernafas bukan perkara yang susah untuk dilakukan.

Sampai ketika kakiku letih dan nafas tersenggal satu-satu, tubuhku membenamkan diri pada penat malam. Di sebuah taman dengan nyala lampu yang teduh. Mencoba untuk menyejukkan pandangan pada mahluk-mahluk indah yang menetek pada bumi. Akar-akarnya meremas penuh kasih pada kulit-kulit bumi. Seperti pelukan yang hangat diberikan pada bayi itu. Di dadanya mahhluk kecil itu membenamkan diri pada penciptanya dan menyusu dengan tenang. Kali ini tak mungkin ku salah melukis, ditengahnya ku dapatkan sebuah mahluk seperti diriku. Duduk di tamannya dengan nyanyian buat buah hatinya.

Pelan-pelan ku menghampiri. Mencoba tak mengganggu dan tak mengusik pagutan buat hatinya. Ia memandang pada langkahku, menatap dan tersenyum. Di depannya aku duduk bagai patung telanjang di sebuah taman. Ya hanya diam, menghantar nyanyian malam tak menjadi sumbang. Kami menikmati deru angin yang menjilati kuping-kuping dengan binalnya dan bintang-bintang begitu berahi dengan nyala yang redup menahan nikmat. Ohh…. waktu menjadi peraduan hangat tempat merebahkan detik-detik yang bersimpul menahan beban tubuh-tubuh yang bergelut dengan penatnya. Sebelum embun lahir di hangatnya hening malam dan menetes membayangi lekuk tubuh, ia ajak aku menjilati jejaknya menuju langkahnya terhenti.

Di depan kediamannya, tangannya melambai mesra, ajak aku masuk. Aku tak mampu berpikir panjang karena dadaku telah tertambat pada pesonanya. Dia letakkan bayinya di sebuah peraduan kecil dan kami menjauh tak mau meninggalkan keributan kecil yang mampu mengusiknya. Menatap punggungnya yang indah berjalan di depan menuju sebuah kolam kecil. Menghempaskan tubuh di tepiannya.

Aku kagum pada suasana kediamannya yang indah. Pada pandangan yang ditimbulkan oleh matanya yang bagus. Dan ia hanya tersenyum ketika aku ucap puja dan puji itu. Hanya menggerakkan hidungnya ketika pujianku kian bertambah rakus. Aku baru tersadar, sedari tadi aku yang terus mengusir hening melahirkan percakapan-percakapan. Dan aku mencoba diam bagai lampu dengan sorot yang menyeringai.

Dia tertawa ketika aku baru menyadari kebodohanku. Dan aku pun tak mampu hanya menahan senyum, tawa kecilku pun menyertai. Mulailah ia bercerita akan hidup dan waktu-waktu miliknya. Akan kebebasan saat-saat yang tersedia untuk mencipta sejarah, mengukir dinding batu hidup dengan tetes-tetes akal karena takdir bukanlah mata ukir yang tajam untuk menulis kata nasib. Dan masa bukanlah teman yang baik untuk diajak menanti akan datangnya burung bagau membawa bayi-bayi perubahan.

Pada setiap percakapan terkadang di antarai tawa. Aku suka caranya tertawa dan segala leluconnya. Memang hidup ini bagai parodi-parodi, dagelan yang abadi walau tersadar akan segala kesalahan di waktu yang dikemudiannya. Aku menemukan kemerdekaan pada dirinya, jiwa yang tak terjamah oleh pikiran-pikran yang menindas. Semakin lama aku kian memerdekakan nilai-nilai, bebas dari segala nilai yang mengikat erat. Seperti peluknya tak mau melepaskan degup jantung di dadaku, berbaring di pelukkan hangatku. Selanjutnya naluri kami berbicara begitu lancar dalam bahasa-bahasa gerak yang tak berkesudahan. Hingga pagi menghantarkan embun yang tawar di bulir-bulir keringat kami.

* * * * *


Sebuah tendangan terhantar ke hulu hatiku, aku tercampak bersama kesadaran membentur sebuah dinding tinggi. Belasan pasang mata menatap buas, ludah mereka tercecer bersama maki dan umpatan. Aku mundur dan tertahan di dinding tinggi ini, mataku mencari wanita dengan anaknya. Ohh..… di sana, wanita itu terduduk di tanah mencoba meronta-ronta ketika ada beberapa tangan kasar menjambak rambutnya. Dan belasan pasang mata itu melahap keindahan tubuh moleknya. Ocehan usil begitu tajam merobek ketelanjangannya.

Aku berlari ke arahnya, tak sudi bagiku memperlama penderitaannya. Mereka telah merajam sungguh laknat sebuah nilai yang diyakini wanita itu. Hanya beberapa langkah aku telah kembali terjungkal kebelakang. Kemaluanku yang menjuntai menjadi sasaran tendangan lelaki kekar itu. Dadaku begitu sesak ketika kaki itu pula yang menendang kepalaku saat aku roboh di tanah. Untunglah hal itu tak berlangsung lama, ketika empat orang berbaju putih menyelamatkanku. Seperti malaikat yang menuntunku ke sebuah surga.

Tapi kurasakan ini bukan sebuah kematian, karena aku masih bisa merasakan dinginnya dinding kabin mobil ini. Dan wanita itu pun dituntun masuk ke dalam kabin tempatku berada. Ia menangis keras ketika sadar bayinya tertinggal, ia menyebut nama bayinya. Dari kerumunan orang yang masih menatap kami di dalam kabin mobil putih ini, ada yang melempar sebuah mahluk. Ya, bayi wanita itu dan terbentur di lantai tak jauh dari pahaku. Aku memungutnya dan menyerahkannya dengan lembut pada wanita itu. Ia tersenyum senang, dan mencoba menenangkan tangis bayinya sambil memberi ujung putingnya untuk diisap.

Dan lagi-lagi mulut mereka masih berbusa, tawanya bukan lagi tawa milik kami. Tawa mereka sungguh merampas kemerdekaan kami. Tawa mereka tak membebaskan. Mereka sungguh tak paham pada arti tawa itu sendiri. Mereka seperti orang gila yang menertawakan segala kemapanan, orang-orang kalah yang kalap pada kegagalan hidup. Amarahku kian memuncak ketika mulut-mulut mereka meludahi tubuh-tubuh kami dan memaki sejuta bahasa.

“Dasar orang gila. Enyah kau dari sini, merusak pemandangan saja.”

“Iya, malah kemarin mereka bersenggama di kolong jembatan layang ini. Di tepi kali.”

“Tak bermoral. Duniamu tak di sini. Rumah sakit jiwa itu istanamu.”

“Hehhe…. para pemimpi yang gelisah. Tertawalah kau di keterasingan diri. Di kerdilnya jiwa. Meranggas menanti ajal. Jelas mimpimu tak bisa bersanding bersama kerasnya hidup yang berjalan. Manjalah kau pada dewa mimpimu. Terkuburlah kau bersama mimpi dan belatung-belatung pemberontakan.”

“Ehh… tahu enggak gara-gara dia orang pada takut membeli koranku. Orang gila itu sok pintar membaca koran, hahhaa……..”

Dan untunglah tawa-tawa yang gila itu tak berlangsung lama. Ketika sedetik kemudian pintu mulai tertutup. Namun perutku kian mual berputar-putar secepat putaran sirene bersama mobil yang berjalan menjauhi mereka. Aku jijik pada ketidakwarasan dunia.
Grogol, 5april2003

Malaikat Yang Menangis Di Tepi Jalan

....ada banyak jiwa-jiwa yang rapuh. Sekeras mentari yang menggiring waktu, tiap detik berucap doa dan pinta. Ucap syukur hanya titik dan koma. Itupun ketika kesadaran timbul oleh pencobaan. Sedikit yang berjaga-jaga pada kesalahan lalu, lumpur dosa berulang ada jelas tertinggal pada jejak-jejak hidup yang melangkah. Dan setan menjadi anjing-anjing dengan hidung kembang kempis membaui jejak-jejak, liurnya menetes hangat. Dirinya, wujud suci tiada kenistaan, kian menangis mencari jalan. Bukan untuk merubah alur, itu permainan Tuhan. Hanya ingin memberikan keteduhan, sayapnya akan mendamaikan jiwa-jiwa rapuh. Sungguh manusia punya banyak keterbatasan seperti dirinya hanya menjadi mahluk benar. Ia tak punya kesempatan untuk melakukan dosa.(sebuah catatan kecil)

Jakarta sekali lagi menjadi indah di malam hari setelah siang melukiskan keanggunan gedung-gedung yang berlomba mencakar awan biru. Di langit yang bermahkotakan bintang-bintang, Jakarta meninggalkan kerlap-kerlip pada lampu-lampu neonnya. Cahaya warna-warni menulis malam dalam bahasa tiada hening. Manusia-manusianya berjalan pada gorong-gorong hidup menjadi jiwa-jiwa yang mencari mimpi di balik alur rutinitas yang dijalani.

Di tepi jalan itu, sebuah wujud menatap segala pesona. Akan hidup yang tiada lelah pada lalu lalang kenderaan. Pada manusia-manusia yang hilir mudik, pada mimpi-mimpi yang berjalan sejajar dengan pemiliknya. Ucapnya membatin mencari bentuk. Ada sebuah pencarian akan niatan sucinya. Tapi ia belum melihat wujud itu pada bau malam yang meniupkan penat matahari di siang tadi.

Sebuah nafas rapuh duduk tak jauh darinya. Sepertinya ia baru saja turun dari sebuah bis angkutan umum yang dijejali penumpangnya. Di tangannya ada keeping-keping. Tak banyak, hanya sekepal tangan tapi telapaknya seungguh kecil. Hembusan nafasnya meniupkan resah. Bocah itu menelan ludah yang kini tiada banyak. Mulutnya kering bersama belasan lagu-lagu yang ditawarkan di anatara pinggang-pinggang berjejal di tengah bis kota. Ia teringat keriput ibunya yang kian sayu terbaring di ranjang.

Di tepi jalan itu, sebuah wujud masih menatap terpesona. Ia kagum akan jiwa yang dimilikinya. Kasih milik si bocah kecil menyentak niatan sucinya. Wujud suci yang bernama malaikat bersorak girang. Ia menemukan sebuah pencarian. Ia ingin hadir pada jiwa-jiwa rapuh. Kelak bersamanya, jiwa itu tak lagi meranggas di musim kemarau tiada ujung. Ia beranjak menghampiri bocah kecil yang terduduk di tepi trotoar jalan. Memasuki jiwanya dan menjadi sama.

Kaki kecil itu berlari, mengejar bis kota yang memperlambat diri. Rodanya masih tetap berputar namun tak bergegas. Dan beberapa kaki turun tapi ada pula yang naik. Selanjutnya asap hitam mengepul meninggalkan debu yang tertinggal.

Kembali di antara tubuh-tubuh yang bergelantungan nyanyian kecil mengisi ruang yang sesak. Nada-nada itu melantun bersama aroma-aroma keringat beraneka macam. Kali ini lagunya sungguh merdu. Dari tubuh kecil nan hitam berserak syair-syair yang menyejukkan jiwa. Terkuasai galau menuju tepi, ada damai padanya. Seperti jauh di atas sana, bintang-bintang hanya beri sinar-sinar kecil, tapi padanya ada damai nan luas, seluas jagat tak berkesudahan. Dan mengalirlah recehan-recehan kecil memenuhi kantong miliknya.

Si bocah tertegun di tepi jalan setelah bis kembali melambatkan diri di perhentian berikutnya. Bibirnya tak mampu ucap sykur. Ada keheranan pada dirinya. Tapi ia harus beranjak sebelum malam kian pekat melaburi diri dengan jelaga surya.


* * * * *

Suara batuk di ranjang terhenti saatmatanya menyentuh tubuh kecil yang berlari ke dekapannya. Oh, boneka hitamnya telah pulang.

“Mak, aku bawa makanan untuk emak. Ada obat yang aku beli di warung di ujung jalan dekat jembatan bamboo. Semoga manjur,” ucap bocah itu sambil menunjuk bawaannya.

“Kau bawa apa? Kau tidak nyopetkan?” Tanya perempuan kurus itu. Ada keheranan pada matanya.

“Walah, emak ini gimana. Ya, dari ngamen. Entah mengapa malam ini aku banyak mendapat recehan. Mungkin laguku makin merdu kali,” katanya tak mengerti.

Sang ibu bangkit dari tidurnya. Di ranjang kayu yang tak jelas bentuknya menikmatio sebungkus nasi dengan lauknya. Bergantian ia menyulangkan nasi, ke mulutnya dan ke mulut si bocah. Meneguk air putih sambil menelan obat. Si bocah menatap harap, semoga obat itu dapat menyembuhkan.

Ia tak tahu apa penyakit ibunya. Hanya ia katakan ibunya telah terbaring seminggu diselimuti kain tipis bekas gendongannya dulu tujuh tahun yang lalu. Dan penjual warung di ujung jalan dekat jembatan tak mau ambil pusing. Sebuah obat murah peringan panas diberikan.

Malaikat kecil yang ada di dirinya sedikitpun tak bergeming. Ia mendesisi ucap haru. Dirinya hadir pada jiwa sang bocah, awalnya untuk membantunya. Ternyata bocah itu bernyanyi demi ibunya. Secepatnya ia berpindah ke dalam diri perempuan sayu itu. Ia ingin memberikan kesembuhan padanya. Untuk itulah ia lari dari semayam agung kumpulan orang suci. Baginya menatap saja dari surga bukanlah sebuah kenikmatan. Atau datang saat ajal harus dicabut.

* * * *

Pagi itu bukan lagi pagi yang hening. Suara gaduh di balik bilik bambu di belakang rumah tepis lelap mereka yang terbaring di dipan bamboo. Suara air yang ditimba mengguyur mimpi berkubang dengan akal. Dan terhenti saat kaki kecil menghampiri.

“Emak sudah sehat?” tanyanya tercengang. Ia takjub pada suasana yang didapatinya.

“Jangan banyak Tanya. Cepat buka baju dan mandi,”kata ibunya tak coba berpaling. Si bocah tertawa girang. Sudah lama ia tak diperlakukan seperti itu. Bibirnya menyimpan segudang senyum, dalam hati ada sebuah takjub untuk sebutir obat yang dibelinya malam tadi. Seakan ia menemukan wajah Tuhan di mikik penjaga warung.

* * * *

Dan seprti biasa lelaki tua itu pulang bersama bajai milik majikannya. Ia masih menyempatkan diri untuk mandi dan makan malam. Untunglah sang istri telah sembuh, bila tidak ia akan melanjutkan makan terbangnya di warung-warung kecil.

Di kamar di dapatinya sang istri sedang menyusun baju-baju. Tak ada lipatan halus dan licin. Mereka tak punya setrika arang apalagi listrik. Cukup tangan –tangan kasarnya merapikan setiap lipatan.

“Sudah pulang pak? Gimana hari ini?” tanya sang istri.

“Apes. Seperti kemarin. Setroran masih kurang kudapat. Entah mengapa penumpang makin sedikit. Kamu jangan boros-boros membelanjakannya,” kata suaminya sambil mengambil pakaian dan handuk.

“Boro-boro boros. Belanja aja kagak cukup. Entah mau jadi apa anak kita kelak, tubuhnya kering tak bergizi. Tapi pak, dia harus bayar SPP. Udah nunggak 4 bulan,” kata perempuan itus memelas.

Lelaki itu hanya bisa menghela napas dan pelan beranjak menuju kamar mandi. Mengguyur diri demi meringankan otaknya yang berkontraksi kencang. Persoalan bagi air yang terus menetes, menjadi orang susah saja ia tak sanggup, batinnya. Apalagi bila sebelanga air penuh rejeki tumpah di setiap detiknya, mungkin ia akan mati berdiri. Aku tak ingin kaya, ya Tuhan. Cukup kau beri kami kemampuan mensyukuri hidup tanpa sirik dan dengki. Tak perlu lagi ada gelisah dan resah.

* * * *

Ada banyak jiwa-jiwa yang rapuh. Sekeras mentari yang menggiring waktu, tiap detik berucap doa dan pinta. Ucap syukur hanya titik dan koma. Itupun ketika kesadaran timbul oleh pencobaan. Sedikit yang berjaga-jaga pada kesalahan lalu, Lumpur dosa berulang ada jelas tertinggal pada jejak-jejak hidup yang melangkah. Dan setan menjadi anjing-anjing dengan hidung kembang kempis membaui jejak-jejak, liurnya menetes hangat.

Dirinya, wujud suci tiada kenistaan, kian menangis mencari jalan. Bukan untuk merubah alur, itu permainan Tuhan. Hanya ingin memberikan keteduhan, sayapnya akan mendamaikan jiwa-jiwa rapuh. Sungguh manusia punya banyak keterbatasan seprti dirinya hanya menjadi mahluk benar. Ia tak punya kesempatan untuk melakukan dosa.

Ia telah ada pada diri lelaki tua itu saat telanjang di tepi sumur. Dan saat ini kembali mengitari kota menuju suatu tempat. Tumpukan kamar-kamar di sebuah rumah susun. Wajah manis dengan pakaian indah membuka pintu bajai setelah beberapa kali klakson bajainya berteriak nyaring.
“Ke tempat seperti biasa pak. Semoga malam kian merasuki mereka-mereka yang kesepian. Aku ada janji malam ini.”

“Langganan atau yang baru?” Tanya lelaki itu mencoba berbasa-basi. Otaknya masih menari entah di mana.

“Yang baru. Ada teman yang nyodorin dan tadi udah janjian. Biasa, lelaki muda kaya yang haus selangkangan, hahaha……..Tapi muka bapak kok suntuk banget. Sekali-kali cari yang happy-happy, jangan kerja melulu. Entar, akalu aku ada waktu yang kosong, kita bsia bersenang-senang bersama. Gratis, nggak usah bayar. Kalau dengan istri, sama aja makan dengans yur asem. Itu-itu melulu, kan bosan. Sekali-kali coba mencicipo sajian baru, hahaha……..” kata wanita itu emnggoda. Paras tubuhnya yang banal melekat pada aroma parfum yang terhantar memenuhi rongga dada lelaki itu. Menyesakkan lipatan pahanya yang tersentuh janji menggoda. Ia menelan ludah.

“Ah mbak bias aja. Keringat saya bau dan itu milik istri di rumah. Saya tak ingin nikmat, hanya hidup bias membahagiakan mereka yang di rmah. Nah,….sudah samapi, di sinikan?” Mahluk beroda tiga itu mulai menepi dan berhenti.

* * * *

Matanya terus mencari, menyusuri setiap jengkal tepi. Bersama asap knalpot dan bising yang terus meraung-raung membelah malam. Ada beberapa lamabaian tangan, mungkin juga lamabaian helaian uang-uang. Matanya buta meninggalkan rupiah-rupiah. Ini bukan lagi persoalan perut tapi nasib seseorang. Mungkin wanita itu sangat memerlukannya, di kota Jakarta yang ganas, apa saja bias terjadi. Apalagi untuk mahluk lemah yang bernama wanita, walau kadang justru lelaki terseret dengan bandul-bandul harap dan ingin oleh pesona daging tersulam wanita.

Kian roda berputar berjuta kali, jelaga malam jatuh membawa embun. Banyak nafas-nafas telah membaui malam di peraduan-peraduan. Rehat sejenak sebelum pagi memecut robot-robot berjalan. Jakarta sedikit hening di jalanan ini hanya sesekali beberapa kenderaan melaluinya. Dan di jalan ini pula, lelaki itu menyusuri tepian. Telah berulangkali ia kitari, jalan-jalan yang biasa ia lalui membawa wanita itu. Tempat-tempat biasa yang dikunjungi wanita itu.

Walau penat telah menyarungi tubuhnya yang ringih, ia masih punya satu tekad. Mencariw anita itu dan mengembalikan tas kecilnya. Yang tadi tertinggal di kursi belakang. Ia tak berani memeriksa isinya, hanya batinnya sadar wanita itu sangat memerlukannya. Cukuplah sepercik karunia surga yang diberikannya tadi. Toh dengan selembar uang lima puluh ribu rupiah itu, ia telah sangat tertolong. Membayangkan anaknya terus sekolah untuk mengeja hidup dan hari.

“Ahh…. itu dia,” bisiknya lirih. Secepatnya ia berhenti dan menyeruak keluar dari mahluk berbangun segitiga. Kakinya berlari kecil dan menghampiri. Menatap tak percaya pada malaikat malam berbaju ketat. Senyumnya tak lagi merah, tak lagi beraroma banal. Matanya berkubang tangis, membelah pipinya yang mulus dan jatuh setelah berjuntai sebagai titik-titik air mata. Yang ada hanya nada-nada perih bukan rintih-rintih nikmat yang pernah dibayangkannya di mulut-mulut pria yang jatuh dalam cengkaramannya, bersama cakar-cakar yang menanam benih nikmat yang menagihkan.

“Ada apa mbak? Kok bsisa begini? Mbak diapain?” tanyanya kalap.

Tubuh wanita itu menghambur ke pelukan tubuh lelaki itu. Terisak menangis. Membekas bayangan jilatan api neraka di dinding waktu beberapa jam yang lalu.

“Aku diperkosa mereka. Di sebuah kamar hotel dengan empat bajingan yang telah menanti. Dan kelimanya menggiliriku,” kata wanita itu sambil terisak-isak. Dirinya masih tak percaya sakan kejadi yang telah berlalu.

Lelaki itu memapahnya ke dalam bajai. Sepertinya ia harus membalas budi. Menyelamatkan seonggok tubuh lunglai yang duduk mengangkang menahan perih yang bias membangkitkan liur-liur anjing-anjing malam. Bersama malam yang masih berajalan lamabt, roda-roda itu berlari kencang. Membawa pergi isak tangis yangs elalu dating terlambat.

Tapi tangis itu tak sepenuhnya hilang di tepi jalan ini. Masih mengalir menggenangi hati sucinya. Terbayang raut ketidakpercayaan di wajah lelaki itu saat wanita itu memberi selembar uang. Ketika itu ia telah pindah ke tubuh wanita itu dan mngetuk hatinya untuk menyelamatkan jiwa rapuh di supir bajai langganannya. Dan selanjutnya ia masih tertanam di tubuh wanita itu, saat senyum-senyum binal wanita itu menggiring teman kencannya untuk berfantasi lebih jauh menuju sebuah hotel. Ia dan wanita itu terjebal di lingkaran nafus lima pria yang menatap rakus. Malaikat itu ingin menyelamatkan sang wanita , tubuhnya berlari ke jiwa-jiwa yang terbakar. Tapi setan-setan di diri mereka telah lama memenjarakan iman-iman di kandang keduniawian. Dan kuncinya telah dicampakkan di lautan neraka. Pergolakkkan tak mampu mengetuk nurani-nurani mereka, justru api dosa kian mereah bergolak marak dan kayu-kayu bakar yang bernam nikmat dan emosi menjadi kian kering,.

Malaikat itu lalu kembali ke tubuh wanita itu. Mencoba menyelamatkan jiwanya. Rontaan mahluk lemah itu kian menikmatkan mereka. Tak ada celah waktu tersisa untuk menghentikan p[ersetubuhan. Kian lama kian menghantarkan laknat. Dan mencampakkan sesal di tepi jalan ini.

Di tepi jalan ini, malaikat meratapi diri. Terperkosalah naiatan sucinya. Andai saat itu ia mengurungkan niat wanita itu, bukan berkeinginan lebih jauh untuk membuat tobat lelaki itu, mungkin tak akan terjadi seperti ini. Sayap-sayapnya patah tak mampu beri dekap yang damai. Mungkin ia tak bisa terbang kembqli ke atas menuju tahta agung keabadian. Noda-noda itu memercik di tubuhnya. Titiktitik kegalauan milik sang penyelamat jiwa-jiwa rapun. Ataukah malaikat itu telah diperkosa setan?

10maret2003